Oleh : Hasan Sadeli
Latar belakang Sosial
Fasisme
Fasisme
adalah pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh suatu
kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan
imperialis. Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan
pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”. Fasisme
pertama kali berkembang di eropa, Italia adalah negara pelopor praktek ini pada
tahun 1922, kemudian Jerman pada tahun 1933,
Spanyol (1939) dan Jepang di Asia pada 1930an. Dibelahan bumi bagian
barat tepatnya di Argentina, kelahiran fasisme didahului oleh suatu
pemberontakan opsir-opsir yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan yang
dipimpin oleh sekelompok kecil tuan-tuan tanah pada 1943 sehingga pemberontakan
itu melahirkan kediktatoran fasis dibawah Jendral Peron. Hal- hal yang penting
dalam penbentukan suatu karakter negara fasis adalah militer, birokrasi,
prestise individu sang diktator dan yang
terpenting yakni dukungan massa. Semakin keras pola kepemimpinan suatu
negara fasis, semakin besar pula dukungan yang didapatnya.
Munculnya
fasisme dan komunisme disuatu negara disebabkan karena latar belakang sosial
yang berbeda. Apabila komunisme adalah suatu sistem totaliter yang secara khas
ada hubungannya dengan bangsa-bangsa yang melarat dan terbelakang, seperti
Rusia di eropa dan Tiongkok di Asia, dengan struktur sosial feodalistik
aristokratik dan semi agraris. Dalam masyarakat demikian, komunisme memiliki
daya pikat terhadap kelas-kelas tertindas yang menganggap komunisme sebagai
ideologi pemberi harapan akan masa depan yang lebih baik. Lain halnya dengan
komunisme, fasisme adalah bentuk sistem totaliter yang secara khas tumbuh
dikalangan bangsa-bangsa yang lebih berada dan secara teknologi lebih maju,
seperti Jerman di eropa dan Jepang di asia. Dikatakan bahwa fasisme juga lahir
dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi.
Kegagalan
demokrasi disuatu negara dapat memberikan lahan subur bagi lahir dan
berkembangnya fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi
kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbetuknya monopoli dibidang ekonomi,
besarnya pengangguran baik dikalangan bawah seperti buruh, petani, atau kelas
menengah cendikiawan, dan industrialis. Masyarakat luas menilai bahwa demokrasi
hanyalah ilusi keadilan politik yang tidak dapat dijadikan standar nilai pada
sistem ekonomi-politik yang lebih baik. kekecewaan itulah yang menyebabkan
fasisme memperoleh basis legitimasi dan dukungan luas masa berbagai kalangan,
seperti industrialis, buruh, petani, cendikiawan, dan perwira militer. Perkembangan
industri yang cukup maju menjadi sarat lain perkembangan fasisme. Propaganda
dan teror fasis memerlukan pengetahuan teknologi dan sekaligus sebagai suatu sistem
mobilisasi permanen untuk perang.
Karenanya,
Fasisme tidak akan mencapai keberhasilan tanpa modal industrialisasi dan
kemajuan teknologi. Dilain sisi, masalah yang ditimbulkan dari industrialisasi
ialah ketegangan-ketegangan sosial dan ekonomi. jika masyarakat liberal
mengakui adanya keseragaman kepentingan ekonomi serta dampak yang
ditimbulkannya, sehingga cara penyelesaiannya berangsur-angsur dengan cara
damai. Sedangkan fasis menyangkal adanya diferensiasi dari
kepentingan-kepentingan sosial, dan kalaupun ada maka penyelesaiannyapun dengan
cara kekerasan dalam melenyapkannya. Itu sebabnya, fasisme adalah cara totaliter
untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam suatu masyarakat yang telah maju
industrinya. Dalam hubungan latarbelakang sosialnya, dinegara dengan tradisi
demokrasi yang lemah fasisme memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan
industrialis, dan tuan-tuan tanah, yang bersedia menyokong dana bagi gerakan
fasis agar kepentingannya tidak terganggu oleh serikat-serikat buruh bebas yang
dianggapnya menghambat proses produksi dalam industri. Sementara itu, bagi
negara dengan konsep liberal, adalah perbuatan tidak bijak apabila membiayai
kegiatan fasis.
Meskipun
fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori
marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka
pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis
menganggap dirinya tidak berguna dan karena merasa diabaikan. Saat hal ini
terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, menunjukkan
bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal
inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah. Dengan
demikian, fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan
secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi, kemarahan
dan perasaan tak aman. Itu sebabnya fasisme menembus semua kelompok sosial
seperti kalangan industrialis, tuan-tuan tanah, kalangan menengah,
pengangguran, dan lain-lain. Semua kalangan yang menganggap fasis sebuah
harapan agar kepentingannya terjaga memiliki alasan masing-masing, itu
merupakan ekses langsung dari prinsip propaganda fasis seperti yang terjadi di
Jerman. Partai Nazi misalnya, dalam waktu kurang dari 15 tahun menjadi kekuatan
monor satu di Jerman yang terdiri dari banyak golongan.
Dasar-dasar Psikologi
Sistem Totaliter
Fasisme
dapat ditelusuri sebagai sebuah konsep yang erat kaitannya dengan
tradisi-tradisi sosial di suatu bangsa. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi
otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya
rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan
menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara
politik, ditandai dengan “munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih
kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi”. Mengingat
dinegara-negara tersebut yang berpengaruh adalah tradisi otoriter, sedangkan
demokrasi masih merupakan tanaman yang mudah patah.
Pertautan
antara seorang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat.
Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran dibandingkan
dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah tipikal negara
demikian. Karena adanya gerakan masa otoriter seperti fasisme adalah justru
tergantung dari keinginan mayoritas untuk patuh dan menerima. Hal ini tentunya
tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Dinegara liberal akan
menganggap bahwa hal itu bukan sikap dewasa, karena lebih menuruti perintah
dari pada harus bertanggungjawab mengambil keputusan-keputusan sendiri. Fasisme
diibaratkan hubungan psikologis anak dan orangtuanya, anak yang patuh akan
merasa terlindungi karena adanya tempat bernaung.
Karakteristik
fasisme yang mampu menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada menjadi
nilai lebih bagi ideologi ini untuk menegaskan hegemoni. Mementingkan status
dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang
membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai
suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan
apa dan bagaimananya. Fasisme memiliki strategi tersendiri dalam upaya
mempertahankan sistem kesatuannya, salah satunya menciptakan musuh-musuh dengan
sengaja baik yang nyata maupun imajiner. Mereka mengkambinghitamkan pihak-pihak
yang dianggapnya suatu ancaman yang harus dienyahkan. Sekali lagi,
praktek-praktek tersebut nampak di Jerman sebagai negara pemimpin fasis pada
saat itu. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang
senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun
liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman.
Sifat imperialis tidak
lain ialah penegasan terhadap apa saja yang memusuhi gerakan fasis atau
strategi bagi kediktatoran. Meskipun seorang diktator sering mengucapkan bahwa
ia dicintai oleh mayoritas rakyatnya, tapi ia juga menyadari bahwa ada saja
pihak-pihak terutama dari dalam yang membenci dan memusuhi secara diam-diam.
Cara yang dilakukan oleh diktator dalam mengatasinya ialah dengan menunjukan
agresi terhadap musuh-musuhnya baik yang imajiner maupun yang nyata seperti pembersihan
yahudi, invasi kenegara-negara di eropa dan seterusnya. Dengan begitu, elemen
dari rakyat yang menyimpan rasa dendamnya akan berfikir duakali untuk menentang
rezim yang dibencinya itu, bahkan akhirnya kediktatoran menyeretnya kedalam
permasalahan saat terdesak oleh musuh-musuh baru seperti saat AS, Inggris dan
lainnya menyerang, maka rakyat baik yang suka maupun tidak akan ikut hancur.
Doktrin Politik Fasisme
Berbeda dengan
komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat
perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak
memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat
universal. Meski demikian, tidak berarti fasisme tidak memiliki ajaran.
Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal
fasisme. Hitler menulis Mein Kampf,
sedangkan Mussolini menulis Doktrine of
Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum
fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme
terdiri dari tujuh unsur:
Pertama,
tidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat
fanatik dan dogmatik adalah suatu hal yang benar dan tidak boleh lagi
didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap
masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua,
pengingkaran terhadap derajat kemanusiaan.
Bagi fasisme manusia tidaklah sama, hal itu menjadi dasar idealisme
mereka. Lebih lanjut fasisme memandang, pria melampaui wanita, militer
melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang
satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi
fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang
berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang
mengedepankan kekuatan.
Ketiga,
Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah
“oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah
musuh yang harus dibasmi. Dalam pendidikan mental, mereka melakukan
indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Tiap individu akan dipaksa dengan
jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah
mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”.
Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat,
pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus
dipimpin oleh segelintir elit yang lebih mengetahui keinginan seluruh anggota
masyarakatnya. Kalaupun ada perbedaan
pendapat sudah pasti yang berlaku ialah pendapat kelompok elit.
Kelima,
totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam menepikan
sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita,
dimana mereka hanya ditempatkan pada 3 urusan mendasar seperti mengurus
anak-anak, bekerja didapur dan beribadah kegereja. Fasisme menerapkan peraturan
dengan ketat. Apabila ada sipenentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan
aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam,
Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum
elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan
kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa
elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga
merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari
pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Semangat
imperialisme akan lahir dengan sendirinya.
Ketujuh,
fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional.
Kontradiksi mengenai ketertiban dan kesejajaran dunia Internsional dengan fasisme
yang mengingkari persamaan. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai
derajat tertinggi bagi peradaban manusia.
Ekonomi Fasis
Ebenstein
menjelaskan praktek dari ekonomi fasis memiliki ciri negara korporasi. Dalam
pemahaman ini, negara berkuasa untuk menata dan mengawasi sistem perekonomian
yang terdiri dari asosiasi-asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja
diawasi dan asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi
sebagai kelompok penengah. Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara
korporasi. Pertama, masyarakat biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang
bersifat politik. Mereka hanya berhak menjalankan tugasnya sendiri-sendiri.
Kedua, golongan elitlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami masalah
seluruh anggota masyarakat.
Namun
demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tak
terpisahkan. Selain itu tidaklah mungkin para penguasa menggantikan “perasaan’
masyarakat yang dikuasai, lebih-lebih adanya prinsip kelas unggul di dalam
masyarakat. Bagi kaum fasis sendiri, Italia misalnya, negara korporasi bukanlah suatu respons atas
kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi kreatif
dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian, bagaimanapun fasisme yang
totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan bebas. Negara harus menunjukkan
kuasanya diatas kepentingan atau unsur apapun. Pada akhirnya, negara korporasi
fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai dikalahkan oleh tentara
sekutu pada Perang Dunia II, maka kepercayaan terhadap Il Duce juga memudar.
Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri. Sistem
yang demikian dipraktekan dinegara fasis cenderung dipaksakan, karena bagaimana
mungkin pandangan kaum elite yang berbeda pengalaman dan realitas dapat
merasakan apa yang dialami oleh yang dikuasainya.
Kesimpulan
Fasisme
lahir dari situasi politik dan ekonomi yang rapuh terutama pasca perang Dunia
I. Negara-negara pemimpin ideologi demokrasi macam Inggris sebelum dipimpin
Churcil tidak reaktif terhadap tindakan brutal fasis Jerman. Fasisme tumbuh
seiring dengan kuatnya keinginan individu-individu untuk keluar dari krisis
serta menyalahkan sistem terdahulu yang dianggap gagal. Jerman adalah model
totaliter fasis yang kerap dijadikan contoh mengingat besarnya pengaruh serta
efek yang ditimbulkan oleh fasis di jerman pada saat Hitler memimpin Nazi.
Kelahiran fasis sebagai reaksi atas keresahan, kesenjangan dan rasa takut akan
tiadanya harapan perbaikan dikemudian hari.
Krisis
pada akhirnya melahirkan skeptisme dikalangan bawah terhadap akseptabilitas dan
kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi politik Jerman saat itu. Dalam
situasi ini, kehidupan sosial menjadi sangat rentan dan fasisme muncul dengan
propaganda-propaganda yang menawarkan harapan. Sungguhpun jerman dijadikan
contoh petualangan fasisme yang paling populer, namun nasibnya tidak jauh
berbeda dengan apa yang dialami oleh Italia. Harapan yang bersifat mesianistik
memudarkan pandangan kelas menengah dan bawah akan pentingnya menggunakan nalar
dan mengatasi masa-masa sulit secara berangsur-angsur. Dalam konteks demikian,
maka sangat mungkin fasisme mendapatkan medianya untuk tumbuh.
No comments:
Post a Comment