Wednesday 23 September 2015

Review Buku Wiliam Ebenstein “Isme Isme Dewasa Ini” Bagian Fasisme Totaliter

Oleh : Hasan Sadeli 
 


Latar belakang Sosial Fasisme

Fasisme adalah pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”. Fasisme pertama kali berkembang di eropa, Italia adalah negara pelopor praktek ini pada tahun 1922, kemudian Jerman pada tahun 1933,  Spanyol (1939) dan Jepang di Asia pada 1930an. Dibelahan bumi bagian barat tepatnya di Argentina, kelahiran fasisme didahului oleh suatu pemberontakan opsir-opsir yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok kecil tuan-tuan tanah pada 1943 sehingga pemberontakan itu melahirkan kediktatoran fasis dibawah Jendral Peron. Hal- hal yang penting dalam penbentukan suatu karakter negara fasis adalah militer, birokrasi, prestise individu sang diktator dan yang  terpenting yakni dukungan massa. Semakin keras pola kepemimpinan suatu negara fasis, semakin besar pula dukungan yang didapatnya.

Munculnya fasisme dan komunisme disuatu negara disebabkan karena latar belakang sosial yang berbeda. Apabila komunisme adalah suatu sistem totaliter yang secara khas ada hubungannya dengan bangsa-bangsa yang melarat dan terbelakang, seperti Rusia di eropa dan Tiongkok di Asia, dengan struktur sosial feodalistik aristokratik dan semi agraris. Dalam masyarakat demikian, komunisme memiliki daya pikat terhadap kelas-kelas tertindas yang menganggap komunisme sebagai ideologi pemberi harapan akan masa depan yang lebih baik. Lain halnya dengan komunisme, fasisme adalah bentuk sistem totaliter yang secara khas tumbuh dikalangan bangsa-bangsa yang lebih berada dan secara teknologi lebih maju, seperti Jerman di eropa dan Jepang di asia. Dikatakan bahwa fasisme juga lahir dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi.

Kegagalan demokrasi disuatu negara dapat memberikan lahan subur bagi lahir dan berkembangnya fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbetuknya monopoli dibidang ekonomi, besarnya pengangguran baik dikalangan bawah seperti buruh, petani, atau kelas menengah cendikiawan, dan industrialis. Masyarakat luas menilai bahwa demokrasi hanyalah ilusi keadilan politik yang tidak dapat dijadikan standar nilai pada sistem ekonomi-politik yang lebih baik. kekecewaan itulah yang menyebabkan fasisme memperoleh basis legitimasi dan dukungan luas masa berbagai kalangan, seperti industrialis, buruh, petani, cendikiawan, dan perwira militer. Perkembangan industri yang cukup maju menjadi sarat lain perkembangan fasisme. Propaganda dan teror fasis memerlukan pengetahuan teknologi dan sekaligus sebagai suatu sistem mobilisasi permanen untuk perang.

Karenanya, Fasisme tidak akan mencapai keberhasilan tanpa modal industrialisasi dan kemajuan teknologi. Dilain sisi, masalah yang ditimbulkan dari industrialisasi ialah ketegangan-ketegangan sosial dan ekonomi. jika masyarakat liberal mengakui adanya keseragaman kepentingan ekonomi serta dampak yang ditimbulkannya, sehingga cara penyelesaiannya berangsur-angsur dengan cara damai. Sedangkan fasis menyangkal adanya diferensiasi dari kepentingan-kepentingan sosial, dan kalaupun ada maka penyelesaiannyapun dengan cara kekerasan dalam melenyapkannya. Itu sebabnya, fasisme adalah cara totaliter untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam suatu masyarakat yang telah maju industrinya. Dalam hubungan latarbelakang sosialnya, dinegara dengan tradisi demokrasi yang lemah fasisme memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan industrialis, dan tuan-tuan tanah, yang bersedia menyokong dana bagi gerakan fasis agar kepentingannya tidak terganggu oleh serikat-serikat buruh bebas yang dianggapnya menghambat proses produksi dalam industri. Sementara itu, bagi negara dengan konsep liberal, adalah perbuatan tidak bijak apabila membiayai kegiatan fasis. 

Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan karena merasa diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah. Dengan demikian, fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Itu sebabnya fasisme menembus semua kelompok sosial seperti kalangan industrialis, tuan-tuan tanah, kalangan menengah, pengangguran, dan lain-lain. Semua kalangan yang menganggap fasis sebuah harapan agar kepentingannya terjaga memiliki alasan masing-masing, itu merupakan ekses langsung dari prinsip propaganda fasis seperti yang terjadi di Jerman. Partai Nazi misalnya, dalam waktu kurang dari 15 tahun menjadi kekuatan monor satu di Jerman yang terdiri dari banyak golongan.

Dasar-dasar Psikologi Sistem Totaliter

Fasisme dapat ditelusuri sebagai sebuah konsep yang erat kaitannya dengan tradisi-tradisi sosial di suatu bangsa. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan “munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi”. Mengingat dinegara-negara tersebut yang berpengaruh adalah tradisi otoriter, sedangkan demokrasi masih merupakan tanaman yang mudah patah.

Pertautan antara seorang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat. Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah tipikal negara demikian. Karena adanya gerakan masa otoriter seperti fasisme adalah justru tergantung dari keinginan mayoritas untuk patuh dan menerima. Hal ini tentunya tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Dinegara liberal akan menganggap bahwa hal itu bukan sikap dewasa, karena lebih menuruti perintah dari pada harus bertanggungjawab mengambil keputusan-keputusan sendiri. Fasisme diibaratkan hubungan psikologis anak dan orangtuanya, anak yang patuh akan merasa terlindungi karena adanya tempat bernaung.

Karakteristik fasisme yang mampu menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada menjadi nilai lebih bagi ideologi ini untuk menegaskan hegemoni. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya. Fasisme memiliki strategi tersendiri dalam upaya mempertahankan sistem kesatuannya, salah satunya menciptakan musuh-musuh dengan sengaja baik yang nyata maupun imajiner. Mereka mengkambinghitamkan pihak-pihak yang dianggapnya suatu ancaman yang harus dienyahkan. Sekali lagi, praktek-praktek tersebut nampak di Jerman sebagai negara pemimpin fasis pada saat itu. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman.

            Sifat imperialis tidak lain ialah penegasan terhadap apa saja yang memusuhi gerakan fasis atau strategi bagi kediktatoran. Meskipun seorang diktator sering mengucapkan bahwa ia dicintai oleh mayoritas rakyatnya, tapi ia juga menyadari bahwa ada saja pihak-pihak terutama dari dalam yang membenci dan memusuhi secara diam-diam. Cara yang dilakukan oleh diktator dalam mengatasinya ialah dengan menunjukan agresi terhadap musuh-musuhnya baik yang imajiner maupun yang nyata seperti pembersihan yahudi, invasi kenegara-negara di eropa dan seterusnya. Dengan begitu, elemen dari rakyat yang menyimpan rasa dendamnya akan berfikir duakali untuk menentang rezim yang dibencinya itu, bahkan akhirnya kediktatoran menyeretnya kedalam permasalahan saat terdesak oleh musuh-musuh baru seperti saat AS, Inggris dan lainnya menyerang, maka rakyat baik yang suka maupun tidak akan ikut hancur.

Doktrin Politik Fasisme

 Berbeda dengan komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal. Meski demikian, tidak berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampf, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat.  Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, tidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatik adalah suatu hal yang benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran terhadap derajat kemanusiaan.  Bagi fasisme manusia tidaklah sama, hal itu menjadi dasar idealisme mereka. Lebih lanjut fasisme memandang, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dibasmi. Dalam pendidikan mental, mereka melakukan indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Tiap individu akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih mengetahui keinginan seluruh anggota masyarakatnya.  Kalaupun ada perbedaan pendapat sudah pasti yang berlaku ialah pendapat kelompok elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam menepikan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada 3 urusan mendasar seperti mengurus anak-anak, bekerja didapur dan beribadah kegereja. Fasisme menerapkan peraturan dengan ketat. Apabila ada sipenentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Semangat imperialisme akan lahir dengan sendirinya.
Ketujuh, fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Kontradiksi mengenai ketertiban dan kesejajaran dunia Internsional dengan fasisme yang mengingkari persamaan. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia.

Ekonomi Fasis

Ebenstein menjelaskan praktek dari ekonomi fasis memiliki ciri negara korporasi. Dalam pemahaman ini, negara berkuasa untuk menata dan mengawasi sistem perekonomian yang terdiri dari asosiasi-asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja diawasi dan asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi sebagai kelompok penengah. Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporasi. Pertama, masyarakat biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, golongan elitlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat.
Namun demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu tidaklah mungkin para penguasa menggantikan “perasaan’ masyarakat yang dikuasai, lebih-lebih adanya prinsip kelas unggul di dalam masyarakat. Bagi kaum fasis sendiri, Italia misalnya, negara  korporasi bukanlah suatu respons atas kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi kreatif dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian, bagaimanapun fasisme yang totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan bebas. Negara harus menunjukkan kuasanya diatas kepentingan atau unsur apapun. Pada akhirnya, negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, maka kepercayaan terhadap Il Duce juga memudar. Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri. Sistem yang demikian dipraktekan dinegara fasis cenderung dipaksakan, karena bagaimana mungkin pandangan kaum elite yang berbeda pengalaman dan realitas dapat merasakan apa yang dialami oleh yang dikuasainya.  

Kesimpulan

Fasisme lahir dari situasi politik dan ekonomi yang rapuh terutama pasca perang Dunia I. Negara-negara pemimpin ideologi demokrasi macam Inggris sebelum dipimpin Churcil tidak reaktif terhadap tindakan brutal fasis Jerman. Fasisme tumbuh seiring dengan kuatnya keinginan individu-individu untuk keluar dari krisis serta menyalahkan sistem terdahulu yang dianggap gagal. Jerman adalah model totaliter fasis yang kerap dijadikan contoh mengingat besarnya pengaruh serta efek yang ditimbulkan oleh fasis di jerman pada saat Hitler memimpin Nazi. Kelahiran fasis sebagai reaksi atas keresahan, kesenjangan dan rasa takut akan tiadanya harapan perbaikan dikemudian hari.

Krisis pada akhirnya melahirkan skeptisme dikalangan bawah terhadap akseptabilitas dan kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi politik Jerman saat itu. Dalam situasi ini, kehidupan sosial menjadi sangat rentan dan fasisme muncul dengan propaganda-propaganda yang menawarkan harapan. Sungguhpun jerman dijadikan contoh petualangan fasisme yang paling populer, namun nasibnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Italia. Harapan yang bersifat mesianistik memudarkan pandangan kelas menengah dan bawah akan pentingnya menggunakan nalar dan mengatasi masa-masa sulit secara berangsur-angsur. Dalam konteks demikian, maka sangat mungkin fasisme mendapatkan medianya untuk tumbuh

No comments:

Post a Comment