Wednesday 21 December 2016

Filsafat Sejarah ; karakteristik dan perkembangan metodologis.

Oleh : Hasan Sadeli

Para pakar dibidang ilmu sejarah atau para sejarawan bertugas menyusun fakta dan data dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah. Berbeda dengan para sejarawan biasa, bidang filsafat sejarah masuk kedalam struktur terdalam yang “dikatakan” tidak bisa diungkap oleh seorang sejarawan biasa. Oleh karena itu, saat sejarawan masuk pada tahap penyelesaian tugas dalam penelitian sejarah, disisi lain hal itu baru merupakan permulaan bagi kajian filsafat sejarah. Model model dalam filsafat sejarah melihat dimensi sejarah bukan hanya sebagai sebuah rangkaian peristiwa masa lalu yang telah direkonstruksi. Bagi filsafat sejarah, model rekonstruksi sejarah dengan metode penelaahan mengenai satu babak dalam peristiwa sejarah, berusaha dikaitkan dengan peristiwa sejarah dimasa lainnya.  Itulah yang kemudian dikenal dengan kajian filsafat sejarah. Suatu kajian yang melihat pola serta koherensi dalam rangkaian peristiwa sejarah dari masa ke masa.Barangkali, buku Refleksi Tentang Sejarah karya F.R Ankersmith layak dijadikan buku babon apabila ingin mendalami aspek-aspek berkenaan dengan filsafat sejarah. Atau mengulas tipologi filsafat sejarah dari berbagai masa serta sajian mengenai modul pendekatan ilum-ilmu sosial terhadap ilmu sejarah.
Secara keseluruhan, bagian-bagian pembahasan mengenai filsafat sejarah memuat pengertian tentang metode fisafat sejarah, fungsi dan relasi filsafat bagi sejarah, serta teori yang merupakan bagian studi pendalaman bidang filsafat sejarah. Misalnya filsafat sejarah spekulatif, kritis, narativ, dialektika, hermeuneutika, Covering Law Model (CLM), dan pendekatan teoretis ilmu-ilmu sosial dalam mempengaruhi perluasan metode historis.  
Filsafat Sejarah Spekulatif
Filsafat sejarah spekulatif seperti yang telah disinggung diatas bertugas mengkaji struktur terdalam sejarah yang kemudian terangkai secara deskriftif menjadi setidaknya tiga model. Tokoh-tokoh seperti Hegel dan Karl Marx, mengemukakan suatu model dalam kajian filsafat sejarah. Sebagaimana diketahui, Hegel terkenal dengan dialektikanya mengasumsikan bahwa setiap dimensi dalam kehidupan saling pantul-memantul, berhubungan satu sama lain, dan karenanya tidak ada satu determinan. Hegel dan Marx melihat koherensi satu masa dengan masa sebelum atau sesudahnya yang saling terkait. Filsafat sejarah spekulatif dan kritis masuk dalam karakteristik filsafat Hegel dan Marx.
Dalam filsafat sejarah spekulatif terlebih dahulu diajukan tiga pertanyaan sebagai berikut :
1.      Irama atau pola semacam apa yang dapat kita amati dalam proses sejarah?
2.      Mana “motor” yang menggerakan proses sejarah?
3.      Apa sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah?
Karl marx demikian ia mengemukakan mengenai fisafat sejarah spekulatif yang ia bedakan kedalam tiga tahap, yakni tahap antik, tahap abad pertengahan, dan dunia borjuis kapitalis. Motornya ialah pertentangan kelas. Sedangkan tujuannya ialah masyarakat tanpa kelas. Sistem-sistem spekulatif terbagi dua, masing-masing saling membuktikan kesahihannya. Dalam sistem spekulatif ada pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan pengamatan (inderawi), sebagai contoh aku melihat, dan mengamati : apabila sebatang besi dipanaskan akan menjadi lebih panjang; sesudah (aposteriori)  berdasarkan persitiwa itu maka aku memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan terhadap kenyataan disebut pengetahuan aposteriori (empirik).
Dilain pihak ada pengetahuan yang diperoleh dengan merenungkan atau mengkombinasikan pengetahuan dan pengertian yang telah tersedia tanpa mengamati kenyataan lagi. Misalnya berdasarkan pernyataan yang benar mengenai (1) pak amir pada hari kerja  jam 10 pagi sudah ada dikantor, dan bahwa ini (2) hari senin pukul 10 pagi, maka dapat disimpulkan bahwa sekarang pak amir sedang ada dikantor. Kita tidak menyaksikan dengan mata kepala bahwa pak amir berada dikantor, tapi pernyataan tadi terkandung kebenaran. Pengetahuan yang langsung tanpa pengalaman atau mendahuluinya dinamakan pengetahuan (apriori) atau mendahului. Dalam ilmu, kita biasanya berurusan dengan pengetahuan aposteriori.
Contoh lainnya mengenai sistem spekulatif kita bisa melihat dari teori evolusi, bila kita secara seksama mempelajari bahan historis, maka secara pukul rata dapat dikatakan bahwa keadaan umat manusia makin baik. Sebaliknya, bagi mazhab sejarah melingkar (siklikal) berpendapat bahwa sejarah selalu terulang kembali dengan urutan bermula dari ketiadaan-lahir-berkembang-hancur/mati. Teori siklikal historis  umumnya dianut pada zaman klasik eropa. Tokoh filsafat siklis diantaranya ialah A. Tonybee, dan Sprengler. Pada praktiknya, sistem spekulatif ini berfungsi sebagai pisau analisa, guna membedah sejarah dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Kelemahan dari filsafat spekulatif ini yakni, spekulasi-spekulasi bukanlah merupakan metode untuk mencapai kata “ilmiah”. Karena spekulasi itu berlainan dengan pernyataan-pernyataan ilmiah, tidak menentu/tidak dapat dipastikan benar tidaknya. Namun para filsuf sejarah spekulatif beranggapan lain, mereka menganggap pendekatan-pendekatan spekulatif terhadap masa silam dianggap cukup ilmiah dari pada apa yang dilakukan oleh sejarawan biasa. Kekurangan-kekurangan tersebut bahkan mereka jadikan sebagai perisai dalam melindungi aliran spekulatif. Satu hal tentang ciri utama sistem spekulatif ini ialah pada kecenderungannya dalam meramal masa depan.
Filsafat Sejarah Kritis
Filsafat sejarah kritis mengkhususkan fokusnya dalam meneliti dan mengarahkan pandangan terhadap diskusi seputar bagaimana masa silam itu dapat dilukiskan, digambarkan, dan direkontruki. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dan ilmu sejarah sama seperti hubungan filsafat ilmu dan ilmu. Keduaanya meneliti secara filosofis bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan dalam arti umum maupun formal. Masalah utama dalam filsafat sejarah adalah sejauh mana dapat diperoleh pengetahuan yang benar mengenai masa silam dan bagaimana sifat pengetahuan mengenai masa silam itu, mengenai mungkin atau tidaknya diusahakannya suatu pengetahuan mengenai masa silam. Sebagaimana tipe filsafat sejarah lainya, filsafat sejarah kritis juga  memahami sejarah sebagai bagian dari tugas berat yang harus dirangkai, akhirnya melahirkan model Skeptisme, Konstrukstivisme, Re-enactmentisisme dan verifikasionisme.

Aliran Skeptisisme menyangsikan secara prinsip akan kesahihan pengetahuan sejarah. Menurut faham spektisme, tidak akan mungkin ditemui pengetahuan masa silam yang terandalkan, karena setiap ahli sejarah mempunyai kebenaran sendiri. Sementara itu, aliran Kontrukstivisme tidak se-ekstrim aliran skeptisisme, mereka berpendapat bahwa pengetahuan mengenai masa silam dapat dimungkinkan dan dibenarkan bila didukung bukti-bukti historis seperti dokumen, prasati dan lainnya. Aliran Re-enachtisisme yang merupakan lawan dari aliran skeptisisme. Re-enachtisisme lebih membela dan menyelamatkan kepastian pengetahuan sejarah. Menurutnya aliran ini, seorang peneliti sejarah dimungkinkan untuk menghayati gagasan, pikiran, dan perbuatan para tokoh  pelaku  sejarah yang  sedang dipelajarinya. Sementara aliran Verifikasionisme memiliki pandangan yang sangat  dekat dengan pandangan konstruksivisme  apabila  tidak boleh dikatakan sama persis. Menurut pandangan verifikasionisme, apabila didapatkan bahan bukti sejarah, maka tidak perlu lagi di sangsikan kehandalannya dalam pengetahuan sejarah masa silam.

Keterangan Historis ; CLM, Hermeneutika, Historisme, dan Narativisme.
Ucapan-ucapan mengenai fakta historis, merupakan deskripsi-deskripsi mengenai masa silam. Namun dijelaskan juga bahwa seorang sejarawan tidak membatasi diri pada usaha melukiskan masa silam saja. Historiografi merupakan titik pangkal untuk merekonstruksi kembali struktur yang sama-sama dimiliki oleh keterangan historis. Menurut pendukung Covering Law Model (CLM) sebuah model yang dirumuskan oleh David Hume (1712-1776) seorang filsuf asas skotlandia, sebuah keterangan historis baru dapat diterima bila didukung oleh salah satu atau beberapa hukum umum seperti ilmu alam karena berbagai pertimbangan yang menurut model CLM ini satu sama lain memiliki peranan dalam peristiwa yang terjadi dalam masyarakat manusia.
Auguste Comte (1798-1857) seorang filsuf kelahiran Perancis, berpendapat bahwa cara kerja seorang peleliti sejarah harus sama dengan kerja seorang peneliti alam raya, itulah yang dimaksud Comte dengan “Positivisme”. Meskipun CLM dijadikan hukum secara umum dalam menerangkan suatu kajian mengenai peristiwa sejarah, namun dalam model ini tidak lepas dari kritik. Seperti  W.H. Dray yang  mengkritik CLM, dengan menyatakan kekurangan dari model ini antara lain : jarak antara eksplanans dan ekplanandumnya, keberatan terhadap pola hukum probabilitas, dan sifat formal dari CLM.

Berbicara mengenai hermeneutika, tidak akan lepas dari seorang teologia jerman yakni Fredeirch Schleiremacher. Ia berusaha menafsirkan kitab-kitab dalam cara pandangnya yang didasari empirisme. Melalui percakapan dengan lawan diskusinya, ia mampu menangkap apa yang terbesit dalam karakter lawan bicaranya, lalu berusaha masuk kedalam kulit lawan bicaranya tersebut yang dianggap sesuai kapasitasnya dalam memahami kitab yang dibahas. Hermeneutika sendiri berasal dari bahsa yunani “hermeneus” artinya penerjemah.
Hermeneutika memiliki dua arti sebagai berikut ;
1.      Menafsirkan teks-teks dari masa silam
2.      Menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah.     
Hermeneutika mendapat pengaruh besar dalam perhatiannya terhadap penafsiran sejarah. Mengenai hermeneutika dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap ahli sejarah atau siapapun yang hendak mengemukakan suatu pernyataan tentang sesuatu gagasan, konsep, ide yang berkaitan dengan sebuah peristiwa sejarah, harus benar-benar mampu dan menguasai penggunaan  hermeneutik, karena tanpa menggunakan hermeneutik, apalagi tidak didukung dengan data yang valid, tentu saja akan melahirkan pernyataan yang tidak mendasar alias ngawur.
Sedangkan historisme berkembang dan dipengaruhi oleh dua arus perkembangan yang pantas diperhatikan. Yang pertama ialah cakrawala penelitian sejarah yang pada abad ke-18 mulai menjadi lebih luas. Lalu kedua, beberapa sifat khas didalam teori tentang hukum alam di Jerman pada abad ke-18. Keduanya turut memainkan peran dalam model historisme.
Simpulan : Seorang pendukung hermeneutika mengatakan bahwa seorang peneliti sejarah menerangkan masa silam dengan menghayati atau menempatkan diri dalam batin para pelaku sejarah dahulu. Dari sinilah narativisme menawarakan jasanya; pendekatan ini meneruskan tradisi historisisme-seorang peneliti sejarah dalam menerangkan masa silam, lalu menyusunnya menurut suatu struktur dan mengembangkan suatu penafsiran. Sedangkan CLM serasi dengan pendekatan formal terhadap keterangan historis, dilain sisi, hermeneutika dan narativisme berusaha mengadakan suatu rekonstruksi rasional.  
Ilmu Sejarah dan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial

Sejarah sebagai ilmu, tidak dapat berdiri sendiri secara angkuh terutama ketika dunia memasuki abad 18. Saat itu lonjakan dari ilmu-ilmu sosial mulai memiliki karakteristik tersendiri, sehingga membuat ilmu sosial dapat secara tajam menganalisis dan memperlihatkan kegunaannya dalam perfektif ilmu bantu. Pada awalnya, ilmu sejarah lebih sering memuat peristiwa-peristiwa politik. Sebelum akhirnya perkembangan ilmu-ilmu sosial membuka cakrawala baru tentang berbagai determinan yang mempengaruhi perubahan sosial di masyarakat. Ilmu ekonomi misalnya menjadi amat vital perannya sejak revolusi industri yang pada gilirannya mengubah struktur masyarakat secara global dari masyarakat agraris ke industri. Sadar akan hal itu, maka sejarah bertransformasi menjadi ilmu interdispliner dengan mempergunakan ilmu-ilmu sosial bahkan alam.
Dalam pengertian sederhana, karakteristik inklusif dari ilmu sejarah ini membuat khasanah penelitian dalam merekosntruksi kejadian di masa lalu menjadi lebih beragam. Pola dan perubahan pada suatu kurun waktu tertentu, terlihat lebih mendekati kenyataan jika menggunakan ilmu sosial, karena memperoleh pemahaman dan kemampuan mendalami sebab-sebab kejadian dan dampak yang ditimbulkan dari suatu peristiwa sejarah. Sebagai contoh, jika seorang ahli sejarah ingin mengtahui peristiwa di amerika serikat pada dasawarsa kedua awal abad 20 dalam hal ini peristiwa great depresion berkenaan dengan bursa Wallstret yang bangkrut sehingga menyebabkan pengagguran dalam skala besar. Maka ilmu seorang sejarwan dapat menggunakan ilmu ekonomi untuk dijadikan ilmu bantu. Meski tentu saja perbedaan sejarah yang lebih memanjang secara temporal tapi sempit secara spasial (diakronis) dengan ilmu sosial yang lebih memanjang diwilayah spasial tapi pendek diwilayah temporal (sinkronis) terkadang menjadi masalah tersendiri terutama dalam menentukan batas-batasnya yang samar.  
Sejarawan terkemuka yakni March bloch dan Lucian Febrve pelopor mazhab anales yang pro integrasi ilmu sejarah bersifat multideimensional memberi dampak bagi penelitian sejarah modern. Namun kajian sejarah yang interdisipliner ternyata mendapat kritik dari mereka yang tidak pro kajian sejarah interdisipliner. Lagi pula sejarah tidak akan lepas dari dari unsur-unsur kebudayaan. Sebagai contoh mudahnya dapat kita ambil dari 7 unsur kebudayaan yang universal, terdiri dari: Sistem Kepercayaan dan religi , sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan, sistem ekonomi dan mata pencaharian, sistem teknologi atau peralatan, sistem pengetahuan,  kesenian,  bahasa. Jadi integrasi ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial dengan metode yang tepat, akan memberikan nilai positif terhadap perkembangan kajian ilmu sejarah.













No comments:

Post a Comment