Oleh : Hasan Sadeli
Para
pakar dibidang ilmu sejarah atau para sejarawan bertugas menyusun fakta dan
data dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah.
Berbeda dengan para sejarawan biasa, bidang filsafat sejarah masuk kedalam
struktur terdalam yang “dikatakan” tidak
bisa diungkap oleh seorang sejarawan biasa. Oleh karena itu, saat sejarawan masuk pada tahap penyelesaian tugas dalam
penelitian sejarah, disisi lain hal itu baru merupakan permulaan bagi kajian
filsafat sejarah. Model model dalam
filsafat sejarah melihat dimensi sejarah bukan hanya sebagai sebuah rangkaian
peristiwa masa lalu yang telah direkonstruksi. Bagi filsafat sejarah, model
rekonstruksi sejarah dengan metode penelaahan mengenai satu babak dalam peristiwa sejarah, berusaha dikaitkan
dengan peristiwa sejarah dimasa lainnya. Itulah yang kemudian dikenal dengan kajian filsafat sejarah. Suatu kajian yang melihat pola serta koherensi dalam
rangkaian peristiwa sejarah dari masa ke masa.Barangkali, buku
“Refleksi Tentang
Sejarah” karya F.R Ankersmith layak
dijadikan buku babon apabila ingin mendalami aspek-aspek berkenaan dengan
filsafat sejarah. Atau mengulas tipologi filsafat sejarah dari
berbagai masa serta sajian mengenai modul pendekatan ilum-ilmu sosial terhadap
ilmu sejarah.
Secara
keseluruhan, bagian-bagian pembahasan mengenai filsafat sejarah memuat
pengertian tentang metode fisafat sejarah, fungsi dan relasi filsafat bagi
sejarah, serta teori yang merupakan bagian studi pendalaman bidang filsafat sejarah. Misalnya filsafat sejarah
spekulatif, kritis,
narativ, dialektika, hermeuneutika,
Covering Law Model (CLM), dan pendekatan
teoretis ilmu-ilmu sosial dalam mempengaruhi perluasan metode historis.
Filsafat Sejarah
Spekulatif
Filsafat
sejarah spekulatif seperti yang telah disinggung diatas bertugas mengkaji
struktur terdalam sejarah yang kemudian terangkai secara deskriftif menjadi
setidaknya tiga model. Tokoh-tokoh seperti Hegel dan Karl Marx, mengemukakan suatu model dalam kajian
filsafat sejarah. Sebagaimana
diketahui, Hegel terkenal dengan dialektikanya mengasumsikan bahwa setiap
dimensi dalam kehidupan saling pantul-memantul, berhubungan satu sama lain, dan
karenanya tidak ada satu determinan. Hegel dan Marx melihat koherensi satu masa dengan masa
sebelum atau sesudahnya yang saling terkait. Filsafat sejarah spekulatif dan
kritis masuk dalam karakteristik filsafat Hegel dan Marx.
Dalam
filsafat sejarah spekulatif terlebih dahulu diajukan tiga pertanyaan sebagai
berikut :
1. Irama
atau pola semacam apa yang dapat
kita amati dalam proses sejarah?
2. Mana
“motor” yang menggerakan proses sejarah?
3. Apa
sasaran terakhir yang dituju oleh proses sejarah?
Karl
marx demikian ia
mengemukakan mengenai fisafat sejarah spekulatif yang ia bedakan kedalam tiga
tahap, yakni tahap antik,
tahap abad pertengahan,
dan dunia borjuis kapitalis. Motornya ialah pertentangan kelas. Sedangkan
tujuannya ialah masyarakat tanpa kelas. Sistem-sistem spekulatif terbagi dua,
masing-masing saling membuktikan kesahihannya. Dalam sistem spekulatif ada
pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan pengamatan (inderawi), sebagai contoh aku
melihat, dan mengamati :
apabila sebatang besi dipanaskan
akan menjadi lebih panjang; sesudah (aposteriori) berdasarkan
persitiwa itu maka aku memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang berdasarkan
pada pengalaman
dan pengamatan terhadap kenyataan disebut
pengetahuan aposteriori (empirik).
Dilain
pihak ada pengetahuan yang diperoleh dengan merenungkan atau mengkombinasikan
pengetahuan dan pengertian yang telah tersedia tanpa mengamati kenyataan lagi.
Misalnya berdasarkan pernyataan yang benar mengenai (1) pak amir pada hari
kerja jam 10 pagi sudah ada dikantor,
dan bahwa ini (2) hari senin pukul 10 pagi, maka dapat disimpulkan bahwa
sekarang pak amir sedang ada dikantor. Kita tidak menyaksikan dengan mata
kepala bahwa pak amir berada dikantor, tapi pernyataan tadi terkandung
kebenaran. Pengetahuan yang langsung tanpa pengalaman atau mendahuluinya
dinamakan pengetahuan (apriori) atau mendahului. Dalam ilmu, kita biasanya berurusan
dengan pengetahuan aposteriori.
Contoh
lainnya mengenai sistem spekulatif kita bisa melihat dari teori evolusi, bila
kita secara seksama mempelajari bahan historis, maka secara pukul rata dapat
dikatakan bahwa keadaan umat manusia makin baik. Sebaliknya, bagi mazhab sejarah melingkar (siklikal) berpendapat bahwa sejarah
selalu terulang kembali dengan urutan
bermula dari ketiadaan-lahir-berkembang-hancur/mati.
Teori siklikal historis umumnya
dianut pada zaman klasik eropa.
Tokoh filsafat siklis
diantaranya ialah A. Tonybee, dan Sprengler. Pada praktiknya, sistem
spekulatif ini berfungsi sebagai pisau analisa,
guna membedah sejarah dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
Kelemahan
dari filsafat spekulatif ini yakni, spekulasi-spekulasi
bukanlah merupakan metode untuk mencapai kata “ilmiah”. Karena spekulasi itu
berlainan dengan pernyataan-pernyataan ilmiah, tidak menentu/tidak dapat dipastikan benar
tidaknya. Namun para filsuf sejarah spekulatif beranggapan lain, mereka menganggap
pendekatan-pendekatan spekulatif terhadap masa silam dianggap cukup ilmiah dari pada apa yang dilakukan
oleh sejarawan biasa. Kekurangan-kekurangan
tersebut bahkan mereka jadikan sebagai perisai dalam melindungi aliran spekulatif. Satu hal tentang ciri utama sistem spekulatif ini ialah pada kecenderungannya dalam meramal masa depan.
Filsafat
Sejarah Kritis
Filsafat sejarah kritis mengkhususkan fokusnya dalam meneliti dan mengarahkan pandangan terhadap diskusi seputar bagaimana masa silam itu dapat dilukiskan,
digambarkan, dan direkontruki. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dan ilmu sejarah sama seperti hubungan
filsafat ilmu dan ilmu. Keduaanya
meneliti secara filosofis bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan
bagaimana proses itu dapat dibenarkan dalam arti umum maupun formal. Masalah
utama dalam filsafat sejarah adalah sejauh mana dapat diperoleh pengetahuan
yang benar mengenai masa silam dan bagaimana sifat pengetahuan mengenai masa
silam itu, mengenai mungkin atau tidaknya diusahakannya suatu pengetahuan
mengenai masa silam. Sebagaimana tipe filsafat
sejarah lainya, filsafat sejarah kritis juga memahami sejarah
sebagai bagian dari tugas berat yang harus dirangkai, akhirnya melahirkan model Skeptisme, Konstrukstivisme,
Re-enactmentisisme dan verifikasionisme.
Aliran Skeptisisme
menyangsikan secara prinsip akan kesahihan pengetahuan sejarah. Menurut faham spektisme, tidak akan mungkin ditemui pengetahuan masa silam
yang terandalkan, karena setiap ahli sejarah mempunyai kebenaran sendiri.
Sementara itu, aliran Kontrukstivisme tidak se-ekstrim aliran skeptisisme, mereka
berpendapat bahwa pengetahuan mengenai masa silam dapat dimungkinkan dan
dibenarkan bila didukung bukti-bukti
historis seperti dokumen,
prasati dan lainnya. Aliran Re-enachtisisme yang
merupakan lawan dari aliran skeptisisme. Re-enachtisisme lebih membela dan menyelamatkan kepastian pengetahuan
sejarah. Menurutnya aliran ini, seorang
peneliti sejarah dimungkinkan untuk menghayati gagasan, pikiran, dan perbuatan
para tokoh pelaku sejarah yang sedang dipelajarinya. Sementara aliran Verifikasionisme memiliki pandangan yang
sangat dekat dengan pandangan konstruksivisme apabila tidak
boleh dikatakan sama persis. Menurut
pandangan verifikasionisme, apabila
didapatkan bahan bukti sejarah, maka tidak perlu lagi di sangsikan
kehandalannya dalam pengetahuan sejarah masa silam.
Keterangan
Historis ; CLM, Hermeneutika, Historisme, dan Narativisme.
Ucapan-ucapan mengenai fakta
historis, merupakan deskripsi-deskripsi mengenai masa silam. Namun dijelaskan
juga bahwa seorang sejarawan tidak membatasi diri pada usaha melukiskan masa
silam saja. Historiografi merupakan titik pangkal untuk
merekonstruksi kembali struktur yang sama-sama dimiliki
oleh keterangan historis. Menurut pendukung Covering
Law Model (CLM) sebuah model yang dirumuskan oleh David Hume (1712-1776)
seorang filsuf asas skotlandia, sebuah keterangan historis baru dapat diterima
bila didukung oleh salah satu atau beberapa hukum umum seperti ilmu alam karena
berbagai pertimbangan yang menurut model CLM ini satu sama lain memiliki
peranan dalam peristiwa yang terjadi dalam masyarakat manusia.
Auguste Comte (1798-1857) seorang
filsuf kelahiran Perancis, berpendapat bahwa cara kerja seorang
peleliti sejarah harus sama dengan kerja seorang peneliti alam raya, itulah
yang dimaksud Comte dengan “Positivisme”. Meskipun CLM dijadikan hukum secara
umum dalam menerangkan suatu kajian mengenai peristiwa sejarah, namun dalam
model ini tidak lepas dari kritik. Seperti W.H. Dray yang
mengkritik CLM, dengan menyatakan kekurangan dari model ini antara lain : jarak antara
eksplanans dan ekplanandumnya, keberatan terhadap pola hukum probabilitas, dan sifat formal
dari CLM.
Berbicara mengenai hermeneutika, tidak akan lepas dari seorang teologia jerman yakni Fredeirch
Schleiremacher. Ia berusaha menafsirkan kitab-kitab dalam cara pandangnya yang
didasari empirisme. Melalui percakapan dengan lawan diskusinya, ia mampu menangkap apa yang terbesit dalam karakter lawan bicaranya, lalu berusaha masuk kedalam kulit lawan bicaranya tersebut
yang dianggap sesuai kapasitasnya dalam memahami kitab yang dibahas.
Hermeneutika sendiri berasal dari bahsa yunani “hermeneus” artinya penerjemah.
Hermeneutika memiliki dua arti sebagai berikut ;
1. Menafsirkan
teks-teks dari masa silam
2. Menerangkan
perbuatan seorang pelaku
sejarah.
Hermeneutika
mendapat pengaruh besar dalam perhatiannya terhadap penafsiran sejarah. Mengenai hermeneutika dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap ahli sejarah atau siapapun yang hendak
mengemukakan suatu pernyataan tentang sesuatu gagasan, konsep, ide yang
berkaitan dengan sebuah peristiwa sejarah, harus benar-benar mampu dan
menguasai penggunaan hermeneutik, karena tanpa menggunakan hermeneutik,
apalagi tidak didukung dengan data yang valid, tentu saja akan melahirkan
pernyataan yang tidak mendasar alias ngawur.
Sedangkan
historisme berkembang dan dipengaruhi oleh dua arus perkembangan yang pantas
diperhatikan. Yang pertama ialah
cakrawala penelitian sejarah yang pada abad ke-18 mulai menjadi lebih luas.
Lalu kedua, beberapa sifat khas didalam teori tentang hukum alam di Jerman pada abad
ke-18. Keduanya turut memainkan peran dalam model historisme.
Simpulan : Seorang pendukung hermeneutika
mengatakan bahwa seorang peneliti sejarah menerangkan masa silam dengan
menghayati atau menempatkan diri dalam batin para pelaku sejarah dahulu. Dari sinilah narativisme
menawarakan jasanya; pendekatan ini meneruskan tradisi historisisme-seorang peneliti
sejarah dalam
menerangkan masa silam, lalu menyusunnya menurut suatu struktur dan mengembangkan suatu
penafsiran. Sedangkan CLM serasi dengan pendekatan formal terhadap keterangan
historis, dilain sisi, hermeneutika dan narativisme berusaha mengadakan suatu rekonstruksi
rasional.
Ilmu Sejarah
dan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial
Sejarah sebagai ilmu, tidak dapat berdiri sendiri secara angkuh terutama ketika dunia memasuki
abad 18. Saat itu lonjakan dari ilmu-ilmu sosial mulai memiliki
karakteristik tersendiri, sehingga
membuat ilmu sosial dapat secara tajam menganalisis dan memperlihatkan kegunaannya dalam perfektif ilmu bantu. Pada
awalnya, ilmu sejarah lebih sering memuat
peristiwa-peristiwa politik. Sebelum akhirnya perkembangan ilmu-ilmu sosial
membuka cakrawala baru tentang berbagai determinan yang mempengaruhi perubahan
sosial di masyarakat. Ilmu ekonomi
misalnya menjadi amat vital perannya sejak revolusi industri yang pada gilirannya mengubah struktur masyarakat secara global dari masyarakat
agraris ke industri. Sadar akan
hal itu, maka sejarah bertransformasi menjadi ilmu interdispliner dengan mempergunakan
ilmu-ilmu sosial bahkan alam.
Dalam pengertian sederhana, karakteristik inklusif dari ilmu sejarah ini membuat khasanah penelitian
dalam merekosntruksi kejadian di masa lalu menjadi lebih beragam. Pola dan perubahan pada suatu kurun
waktu tertentu, terlihat lebih mendekati kenyataan jika menggunakan
ilmu sosial, karena memperoleh
pemahaman dan kemampuan mendalami sebab-sebab kejadian dan
dampak yang ditimbulkan dari suatu peristiwa sejarah. Sebagai
contoh, jika seorang ahli sejarah ingin mengtahui peristiwa di amerika serikat
pada dasawarsa kedua awal abad 20 dalam hal ini peristiwa great
depresion berkenaan dengan bursa Wallstret yang bangkrut sehingga menyebabkan pengagguran dalam skala besar. Maka ilmu seorang sejarwan dapat menggunakan ilmu ekonomi untuk dijadikan ilmu bantu.
Meski tentu saja perbedaan sejarah yang lebih memanjang secara temporal tapi
sempit secara spasial (diakronis) dengan ilmu sosial yang lebih memanjang
diwilayah spasial tapi pendek diwilayah temporal (sinkronis) terkadang menjadi
masalah tersendiri terutama dalam menentukan batas-batasnya yang samar.
Sejarawan terkemuka
yakni March bloch dan Lucian Febrve pelopor mazhab anales yang pro integrasi ilmu
sejarah bersifat multideimensional memberi dampak bagi penelitian
sejarah modern. Namun kajian sejarah yang interdisipliner ternyata mendapat
kritik dari mereka yang tidak pro kajian sejarah interdisipliner. Lagi
pula sejarah tidak akan lepas dari dari unsur-unsur kebudayaan. Sebagai contoh
mudahnya dapat kita ambil dari 7 unsur kebudayaan yang universal, terdiri dari:
Sistem Kepercayaan dan religi , sistem organisasi sosial dan kemasyarakatan,
sistem ekonomi dan mata pencaharian, sistem teknologi atau peralatan, sistem pengetahuan, kesenian,
bahasa. Jadi integrasi
ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial dengan metode yang tepat, akan memberikan nilai
positif terhadap perkembangan kajian ilmu sejarah.
No comments:
Post a Comment