Thursday 31 December 2015

Urgensi studi sejarah perekonomian Indonesia












Oleh : Hasan Sadeli

Pendahuluan
Studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia dapat dikatakan masih berumur muda dibanding dengan studi sejarah sosial dan politik. Sejarah perekonomian di Indonesia mulai mendapatkan tempatnya pada awal dekade  80an.  Indonesia relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Cina (sekarang Tiongkok) yang tetlebih dahulu memulai studi mengenai perekonomian.
Berbagai kajian tentang sejarah perekonomian Indonesia khususnya pada zaman kolonial mulai dibahas pada tahun 1983, yakni saat konferensi yang mengetengahkan sejarah perkonomian Indonesia pada masa kolonial diselenggarakan oleh Australian National University.  Dalam diskusi tersebut banyak disajikan kondisi perekonomian Indonesia dari pra kolonial sampai pada dampak kolonialisme terhadap perekonomian Indonesia. Dikatakn bahwa, ruang lingkup pembahasan meliputi sejarah perekonomian pra kolonial oleh Anthony Reid, Sistem Tanam Paksa Oleh R.E Elson dan dan Robert Van Neil, Land Reform oleh Jan Breman, Desa sebagai unit adminiistratif oleh Tjondronegoro, penilaian kembali tentang konsep involusi oleh J.A.C Mackie, serta dampak kolonialisme Belanda di Indonesia oleh Anggus Madison dan Douglas Paauw.  Makalah-makalah yang satu sama lain terpisah akhirnya dihimpun dalam buku Indonesian Economic History in The Dutch Colonial Era , buku tersebut diterbitkan oleh Yale University dan disunting oleh Anne Booth, O’Maley dan Anna Weidemann.
Perkembangan studi perekonomian di Indonesia selaras dengan perhatian para sejarawan indonesia yang pada mulanya masih disibukan dengan orientasi untuk mengedepankan penulisan sejarah yang bersifat Indonesiasentris pada tahun 1957 ketika seminar sejarah nasional ke-sati dilakasanakan. Sementara itu, persfektif yang lebih luas tentang penulisan sejarah di Indonesia mulai berkembang saat seminar sejarah nasional ke-dua diselenggarakan pada tahun 1982 dengan melakukan pendekatan-pendekatan ilmu sosial terhadap kajian sejarah (Socio Scientic Aproach) sehingga dapat dikatakan sebagai suatu periode baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Dapat dipahami bahwa era perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia baru dimulai pada sekitar dekade 80an mengingat khasanah tentang penerapan ilmu-ilmu sosial terhadap kajian ilmu sejarah baru dimulai pada tahun 1982. Pada tahun-tahun berikutnya, studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya menggali sebab-sebab, proses serta dampak yang ditimbulkan pasca aea kolonialisme di Indonesia.
Faktor-faktor pendukung yang melatarbelakangi perkembangan studi sejarah perekonomian di Indonesia ialah dibukanya arsip tentang adiministrasi pemerintah kolonial di Belanda dan Indonesia untuk umum. Hal tersebut memicu para sejarwan untuk lebih jauh meneliti tentang aspek-aspek perekonomian di Indonesia pada masa kolonial terutama saat sistem tanam paksa diterapkan di Indonesia, dengan begitu para sejarawan mampu mengungkap fakta-fakta tentang berlangsungnya sistem tersebut dan meletakannya dalam posisi penting sebab tanam paksa dianggap sebagai suatu kebijakan yang menimbulkan dampak mendasar dalam kondisi sosial serta ekonomi masyarakat Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Data-data statistik yang menghinpun gambaran perekonomian di Indonesia sebenarnya mulai dinisiasi oleh mantan kepala Biro Pusat Statistik (Central Kantoor voor de Statistiek) Hindia Belanda P. Creutzberg dalam usaha untuk melakukan kompilasi data statistik tentang sejarah perekonomian di Indonesia. Urgensi studi mengenai sejarah perekonomian sampai-sampai membuat India menjadikan studi tentang sejarah perekonomian mereka sebagai rujukan dalam membangun ekonomi dinegara tersebut. Namun demikian, karya mengenai studi sejarah perekonomian tidak sebanyak sejarah yang mengetengahkan persoalan politik sosial, hal ini karena kapasitas sejarawan yang kurang menguasai/mengolah penggunaan data statistik sebagai data yang penting dalam mengkaji sejarah perekonomian.

Telaah kondisi ekonomi petani pada masa Tanam Paksa di Jawa.
Sistem Tanam Paksa (Cultur Stelsel) yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 mengakibatkan kemiskinan struktural terutama bagi kalangan petani dipulau Jawa oleh sebab tuntutan memenuhi kas pemerintah Belanda. hasilnya ialah datangnyab kemakmuran bagi pemerintahan belanda dari ekspor hasil bumi di hindia belanda sejak Tanam Paksa diterapkan. Meskipun sumber-sumber mengenai periode tanam paksa dianggap kurang lengkap, seperti terbatasnya informasi yang mengulas secara utuh mengenai kondisi ekonomi masyarakat Jawa terutama yang terdapat dalam arsip yang umumnya merupakan kumpulan laporan pertanggungjawaban. Selain itu subjektifitas dari sumber-sumber yang memuat informasi periode tersebut tidak bisa dihindari mengingat adanya tarik-menarik kepentingan dalam membentengi program tersebut dari kritik yang dilancarkan oleh kaum liberalis.

Kemiskinan dan kemakmuran pada masa Tanam Paksa
Apa yang tersisa dari pelaksanaan sistem tersebut segera akan diketahui akibatnya. Para penduduk dipedesaan melakukan perpindahan besar-besaran untuk menghindari kerja keras menjadi salah satu sebab umum yang diderita kaum petani pedesaan pada periode tersebut. Keutungan yang dirasakan terbatas pada golongan bangsawan dari Cina, India, atau Arab, sementara golongan pribumi ialah mereka yang memiliki status sosial sebagai pejabat ditingkat desa hingga residen. Perpindahan penduduk membuat tanah-tanah kosong sehingga membuat kaya para warga yang tidak meninggalkan desa. Namun sekali lagi, keuntungan tersebut bersifat terbatas. Betapapun sumber yang menerangkan kondisi ekonomi petani dianggap samar, namun apa yang mendorong mereka (para petani) meninggalkan desa menjadi alasan mendasar untuk mengungkap betapa golongan yang melakukan perpindahan tersebut tidak mendapatkan kelayakan didesanya, seperti konsep “hijrah” sebagai jalan yang ditempuh untuk memperbaiki hidup.
Meningkatnya produksi dan laba yang menopang kerajaan belanda seluruhnya bersumber dari hasil Tanam Paksa. Komoditas yang dihasilkan seperti Kopi, Tebu, Lada, Teh dan lain-lain memperlihatkan adanya kebutuhan sepihak pemerintah kolonial saja. Kopi sebagai komoditas yang mendatangkan keutungan siginfikan, sementara tanaman tersebut hanya hidup disekitar daerah dengan suhu rendah yakni daerah dataran tinggi. Padahal umumnya masyarakatIndonesia saat itu tinggal didataran rendah sebagai petani. Jarak yang ditempuh tentu cukup jauh, dimadiun misalnya, para petani harus berjalan sejauh 7 km, itu yang terendah apabila dibandingkan dengan cirebon yang sampai menempuh 12 km. Kondisi memaksa petani untuk tinggal digubuk-gubuk darurat mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh apabila harus pulang-pergi. Kemudian komoditas penting lainnya ialah Tebu dan nila yang membuat petani harus membuka irigasi untuk lahan yang sebetulnya ditanami padi sebagai kebutuhan pokok.
Kendala-kendala yang banyak dialami oleh para petani Jawa memperlihatkan suatu kegetiran luar biasa pada masa Tanam Paksa. Belum lagi durasi jam kerja pada masa itu 4 atau 5 kali lebih lama dari jam kerja biasanya, atau sebelum tahun 1830 para petani tidak pernah bekerja selama itu. Hal ini bukan saja membuat petani teralienasi dari aktifitas sosial, namun lebih memperihatinkan ialah stamina mereka yang harus terkuras tanpa mendapatkan hasil yang sepadan. adanya musim tanam yang tidak seperti biasa sebagai akibat dari tanamn-tanaman yang menjadi prioritas tanam paksa telah menggeser posisi padi, sayuran, atau jagung sebagai bahan-bahan yang kebutuhannya bersifat mendasar.
Disisi lain, akibat yang ditimbulkan oleh tanam paksa membuat pendapatan masyarakat Jawa meningkat, beberapa contoh peningkatan tersebut terdapat di Pasuruan dan Surabaya tempat dimana tumbuhnya sektor ekonomi lokal berupa para pedagang swasta, bahkan didaerah kedu, kediri, dan pekalongan (Jawa Tengah) terjadi taraf kesejahteraan masyarakat, seperti pembayaran pajak yang bahkan sebelum waktunya. Semarang sebagai salah satu residen yang mengalami kehancuran ekonomi dengan cepat memulihkan perekonomian bahkan dengan salah satu yang termakmur di Jawa. Dikatakan bahwa telah terdapat pemerataan dalam peningkatan taraf  perekonomian dipulau Jawa pada tahun 1858-1868.   Angka-angka statistik yang memperlihatkan peningkatan pajak, pembayaran panen, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Secara umum dianggap suatu peningkatan kesejahteraan yang dialami para petani.

Konklusi 
Apa yang terjadi di Jawa pada masa berlangsungnya sistem Tanam Paksa mengakibatkan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat petani Jawa. Kemakmuran hanyalah dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat saja, adapun data yang menunjukan telah terjadinya kemakmuran sangat meragukan. Karena peningkatan taraf  perekonomian hanya didasarkan pada aspek perdagangan yang semakin tumbuh, sektor swasta tersebut tentu bukan proyeksi yang jelas untuk mengasosiasikan kemajuan perdagangan sebagai ekses dari sistem Tanam Paksa. Selain itu, bisa saja mereka yang tidak tahan dengan kondisi di pedesaan yang mengadu nasib dan menghindari kerasnya hidup sebagai petani yang imbalannya jauh dari nilai kerja itu sendiri.
Artinya, ada yang tersisa di desa. Mereka yang tinggal disana tetap mengalami har-i-hari yang berat, kelompok petani yang mau tidak mau, sadar atau tidak telah memberikan daya upayanya hanya untuk kepentingan golongan elite saja. Sementara jangankan upah yang sepadan, mereka bahkan harus kehilangan kemakmuran dari sektor petanian seperti padi, jagung sebagai bahan kebutuhan pokok.  
Itikad baik pemerintah kolonial misalnya dalam memberi suntikan modal sangatlah sedikit bahkan tidak efektif. Sudah pasti keberhasilan yang dirasakan oleh pemerintah Kolonial pada masa Tanam Paksa tidak berbanding lurus dengan kondisi ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Karena betapapun banyaknya mereka yang hijrah kedaerah-daerah ramai seperti karesidenan, semata-mata hanya untuk menghindari kerja paksa saat itu. Selain itu, kemiskinan struktural yang terjadi diperkotaan dewasa ini tidak lain adanya eksodus dari warga dipedesaan yang datang kedaerah kota yang umumnya merupakan daerah karesidenan. Karena kota pada prinsipnya ditegakan oleh pemerintah kolonial didesain untuk kelas menengah keatas. Sementara para petani dipedesaan sekali lagi, menjalani hari-hari yang kelam mungkin terkelam selama masa hidupnya.   

  

Episteme Foucalt; Hubungan antara Pengetahuan, Kuasa dan Kebenaran.


Oleh : Hasan Sadeli
Michael foucalt ialah seorang ilmuwan postmodern  tersohor sama dengan tokoh postmodern lainnya seperti Derrida, Lyotard, Lacan yang mencurahkan perhatian terhadap pengisian ruang-ruang kosong yang tidak terjamah oleh modernism. foucalt  menemukan episteme dan menyamakannya dengan system pemikiran. Ia berusaha mengklasifikasikannya dalam beberapa kurun waktu tertentu. Foucalt memiliki asumsi dasar mengenai episteme dengan defines-definisi mendasar serta satu sama lain memiliki korelasi (terhubung).
Pembagian  episteme, dalam pandangan foucalt terdiri atas tiga bagian yaitu:  episteme Abad Tengah, episteme Klasik dan episteme Modern. Ia mendefinisikan bahwa arkeologi pengetahuan berfungsi mengungkap makna terdalam atau bahkan tersembunyi dari realitas. Ia menegaskan bahwa episteme memiliki peran sebagai mekanisme dan substansi yang lahir dari pikiran dan tindakan manusia sebagai arus yang dapat mengarah pada kemajuan peradaban atau bahkan pada perang. Ia mengatakan bahwa setiap episteme berbeda tergantung pada periodenya masing-masing.
Arkeologi pengetahuan mendapat posisi penting dalam kajian foucalt dalam menggali makna terdalam atau bahkan tersembunyi dalam realitas. Karna episteme sendiri berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk "menempatkan sesuatu dalam kedudukannya. Episteme tidak saja bersifat kritis, namun juga evaluatif dalam memberikan gambaran tentang unsur-unsur yang berada dibelakang/mewakili realitas. Dalam memberikan sebuah wacana,manusia membutuhkan metode-metode guna mendukung diterapkannya teks dalam masyarakat. Teks sendiri dalam pandangan tokoh postmodern merupakan realitas yang diketahui dan disepakati bersama. Jadi teks tidak saja sebatas apa yag tertulis, karena wacana memegang kunci yang hanya bisa diungkap melalui pengamatan episteme.
Pengetahuan pada gilirannya membuat manusia memperoleh kekuasaan. Kekuasaan dapat mendelegasikan kebenaran dalam masyarakat yang terdpat didalamnya. Foucalt meyakini bahwa relasi antara pengetahuan dan kuasa tidaklah dapat diabaikan. Wacana kebenaran pada dasarnya menurut pandangan foucalt dibidani oleh mekanisme kuasa. Objektifitas kebenaran ersifat jamak, ia bukannya berdiri sendiri, ia lahir dari sebuah proses.
Rumus internal yang berkaitan satu sama lain memunculkan pandangan foucalt tentang wacana yang sebenarnya. Diskursus yang mengetengahkan wacana yang dalam definisi luas dapat berarti aturan yang direpresentasikan lewat tanda-tanda. Dari relasi pengetahuan-kuasa serta ditopang dengan wacana tertentu sehingga melahirkan kebenaran. Foucalt tidak memposisikan kebenaran dalam pengertiannya ini sebagai kebenaran yang dating dari tuhan, namun kebenaran yang didahului oleh proses pengetahuan-kuasa. Pendek kata kebenaran disini ialah hasil produksi manusia.
Pengetahuan ialah daya pikir seseorang yang memunculkan ide, system, idiom budaya, yang semuanya didorong atas kehendak kuasa. Disis lain, kekuasaan dapat menciptakan perkembangan tentang pengetahuan yang betumpu pada kebenaran. Ketiganya akan disepakati dalam masyarakat kemudian melembaga dengan system-sistem tersendiri. Dari sinilah kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang telah disebarkan oleh wacana.










Wednesday 9 December 2015

Party and Society



PARTY and Society

Dalam suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi, rakyat memiliki fungsi sebagai subjek yang menentukan, misalnya dalam proses pemilihan umum, rakyat punya hak untuk menentukan siapa menurutnya yang pantas untuk dipilih; tentu yang dipilih disini ialah mereka yang sudah disiapkan dan disahkan oleh suatu sistem yang penyelenggaraannya dilakukan oleh komisi pemilihan umum. Dalam tataran teknis, sistem ini menjamin rakyat mempunyai legitimasi dalam menentukan aspirasi kepemimpinan yang dicita-citakannya. Tidak hanya itu, diantara mereka bahkan terlibat aktif menjaring dukungan untuk calonnya, saya termasuk beberapa kali menjadi simpatisan salah satu calon, kadang kita tidak melihat partainya, itu kurang penting, meskipun ada-lah satu atau dua partai yang secara pribadi kurang sreg, entah karena ideology atau slogan-slogannya, ataupun karena partai bersangkutan punya sejarah yang kurang baik, tapi toh secara umum mereka sama-sama partai.
Setidaknya untuk kasus Indonesia, secara umum partai tetaplah partai, no ideology, no regeneration, and no function, hehe. Maafkan, yang terakhir itu bohong, partai di Indonesia tentu saja memiliki fungsi yang vital sangat, sebab partai kan pilar demokrasi, dan karena itu keberadaanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan suatu negara, bahkan dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Dalam teori fungsionalisme-nya Durkheim, dijelaskan sistem dan sub sistem, bahwa masyarakat disatukan dalam suatu struktur dengan turunan yang tiap-tiapnya memiliki fungsi. Seperti tubuh manusia yang terdiri dari macam-macam organ yang satu sama lain saling berhubungan erat, jika salah satu kehilangan fungsinya, maka akan memiliki dampak pada sub sitem atau organ lainnya, nah partai disini kira-kira jantungya-lah, kebayang-kan kalau sampai mengalami disfungsi? Hehe.
Ini musim pilkada, tingkat kabupaten dan provinsi yang secara serentak dilakukan dihampir seluruh wilayah Republik Indonesia Tercinta (RCT) without I. saya sendiri tinggal di Banten, kabupaten Serang tepatnya, alamat yang sebenarnya tidak spesifik untuk ukuran saya sebagai orang kampung yang kampungan, ya namanya juga kampungan, bukan bagian dari proses globalisasi jadi tidak terbiasa menjelaskan secara runtut, detail, sistematis, atau apalah itu, saya juga kurang faham. Dan lagi, tulisan ini juga tidak punya tujuan yang jelas, kebiasaan saya begitu.  Saya hanya turut berpartisipasi berbagi kegembiraan berdemokrasi, ini momen yang tepat untuk bersuka cita, sebab pada hari inilah rakyat Indonesia benar-benar menjadi subjek untuk sekali lagi menentukan siapa dan apa saja yang dikehendaki dalam konteks wacana kepemipinan daerah, walah barusan saya ngomong apa ya.  
Kata “benar-benar menjadi subjek” diatas kok seperti diletakan dalam posisi yang sangat-sangat istimewa? Iya saya juga kurang tau kenapa ybs menulis begitu, mungkin karena ini benar-benar istimewa, menyangkut momen yang langka, sebagaimana halnya hari raya yang hanya satu tahun sekali, kalau parameternya waktu, ini (pilkada) bahkan lebih dahsyat keistimewaanya, karena hanya ketemu sekali dalam lima tahun. kiranya pantaslah kalau perasaan rakyat saat ini tengah berbunga-bunga, tapi sayang kok dari semalam tidak terdengar suara-suara petasan yang biasa membahana pada momen-momen istimewa, oh iya mungkin demikian sakralnya sehingga butuh kekhusyukan.
Fungsi simbolik
Judul diatas ialah pantulan dari nilai penting partai dalam konsep negara. Saya suka nyinyir dengan pendapat orang yang mendiskreditkan partai, sebab orang seperti itu tidak mengerti partai, jangankan mengerti, mengenal saja tidak, itu sebabnya orang yang merendahkan partai sama dengan tidak mengenalnya, tidak memahaminya, dan tentu tidak mencintainya. Jadi tolonglah luangkan kelonggran waktu dinegara yang serba longgar ini untuk mengenal partai lebih jauh, sebab tak kenal tak kenyang, hemm, maksudnya tak sayang.  Partai merupakan satu-satunya kebenaran dalam demokrasi, ini jangan ditolak, ini adagium. Partai sebagai wadah lahirnya kepemimpinan disemua leve patut dihormati keberadaanya. sebab fungsi mereka mendistribusikan tugas kepada kader-kadernya sangat jelas, meskipun kebanyakan bersifat deterministik.  
Pada saat pilkada, meskipun kebanyakan orang melihat orangnya atau calonnya, tapi tidak akan ada calon tanpa partai, meskipun ada juga yang independen, tapi kebanyakan mereka diusung partai. Rakyat tidak begitu peduli dengan partainya, yang ia lihat melulu soal calonnya. Padahal dalam konteks politik rahim sicalon ialah partai. Karena partai yang melakukan seleksi, sebelum menentukan, dan partai mengatur proses sedemikian rupa bagaimana menyiapkan kader sebagai pemimpin disemua level seperti disebutkan tadi. Saya kira ke-alpa-an rakyat yang mengesampingkan partai dan lebih melihat figur bukan merupakan konsekuensi dunia demokrasi, ini tidak lain karena sifat kepahlawanan partai yang rela kepopulerannya diambil alih oleh individu. Tadi itu, mereka capek-capek memproduksi individu, malah individu yang dicintai juga terkenal dan bukan sebaliknya.
Adakalanya pahlawan memang benar-benar tersembunyi, ia rela tidak disanjung, tugasnya hanyalah ada ketika dibutuhkan, dan berlalu tanpa pamrih apapun. Demikian juga dengan partai, apabila ada seorang bupati maupun presiden yang sangat dicintai rakyatnya, mereka lupa dari partai mana ia berasal. Dalam konteks kepemimpinan ini bisa dibenarkan, karena setelah mereka jadi gubernur, bupati maupun presiden mereka harus melepaskan atribut partainya, mereka miliki rakyat sepenuhnya. Baru ketika ybs purna tugas, ia kembali menjadi milik partai.  Yang jadi pertanyaan apakah partai-partai di Indonesai sudah sedemikian mencerna dan mempraktekan hakikat keberadaanya? Atau justru partai di Indonesia sama sekali tidak memiliki konsep dan tujuan sebagaimana melakukan reproduksi nilai-nilai dasar kebangsaan dan memproduksi nilai baru yang terbukti berguna?
Kita mesti sadar bahwa apapun selain tuhan semua adalah alat, apakah itu partai, negara, bahkan surga skalipun. Namun sarana untuk membangun konsep diri sudah ada, sarana untuk membangun partai juga ada, demikian untuk membangun negara-pun sudah ada, sebab sistem apapun namanya yang mengisinya itu manusia, negara tidak begitu penting ketika yang mengisinya hewan, sistem sebaik apapun sama sekali tidak berguna jika si-kerbau yang menjalankannya. Orang kita ini untuk memperbaiki negara sulitnya bukan main, beberapa kali melakukan pemilihan umum tapi begitu-begitu saja, yang diributkan sistem-sistem dan sistem, yang miskin mereproduksi kemiskinannya, yang kaya mereproduksi kekayaannya, demikian juga yang bodoh. Dalam bahasa sederhana, kita ini untuk maju satu langkah saja susah sekali.
Kedataran berfikir
Negara kita ini sudah mendewakan sistem sedemikian rupa, dan lupa meletakan pada tempat yang seharusnya, pemikiran kita sumbangkan pada sistem dan membiarkannya bekerja, dari situ kita merasa tidak usah berfikir lagi. Disini saya tidak menekankan pada uapaya-upaya bersifat metodologis, atau yang dipahami sebagai buku petunjuk dalam praktik bernegara yang tepat. Sebaliknya, seharusnya kita mencurahkan pada rasionalitas terhadap upaya ilmiah, sebuah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang berfikir bahwa realitas adalah lebih dinamis ketimbang sistem, maka penekanannya terletak pada sejauhmana jangkauan pemikiran manusia untuk mengatasinya bukan pada sejauhmana sistem mengatasinya. Emha ainun najib pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Indonesia kontemporer ialah itu-itu saja!   
Ini bukan soal partai, juga bukan soal negara semata, tapi human being   ialah kata kuncinya. Kitalah yang harus memacu perbaikan lewat pikiran dan tindakan-tindakan yang mengarah pada skala kolektiv. Pemilihan umum seagung apapun konsepnya tetap melahirkan kepemipinan yang begitu-begitu saja, partai sekuat apapun memegang ideology akan tidak berguna jika kadernya mengarahkan tindakan hanya pada benda mati. Hampir tidak ditemukan individu didalam partai yang katanya sangat penting dalam konsep bernegara ini memiliki tindakan sosial yang mengarah pada kepentingan orang banyak. Semua harus ditopang dengan cara sederhana tanpa hentinya melakukan ilmu pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi administrasi yang mencakup keluasan konsep penyelenggaraan pemerintahan, dan menyingkirkan keserakahan personal dalam membangun kesejahteraan umum. Penggalan kalimat belakangan demikian klise, saya juga malas mencantutnya, tapi tuntutan ilmu pengetahuan yang itu-itu saja ya memang begitu.
Kaitanya dengan pemilihan, saya tergolong orang yang optimis bahwa semakin kedepan pagelaran hajat demokrasi akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, rakyat sudah sedemikian jenuh. Jika bukan karena kerja keras media dalam memanas-manasi atau lebih tepatnya mengangkangi publik dengan slogan seolah-olah rakyat benar-benar butuh pemimpin baru-lah apalah, toh di Indonesia yang ada hanya merah ketika pagi tapi jadi putih saat siang, lalu jadi hitam jelang sore, malamnya jadi kelabu, Its “branding” guys. Branding? Berarti monyet juga bisa dijadikan manusia dong? Ya bisa, tapi tidak se ekstrim itulah.
Pencitraan sedang marak-maraknya, media jadi pelopor desain tersebut, outputnya rakyat akan secara berangsur-angsur kehilangan selera memilih calon pemimpin yang ideal, ini sangat disayangkan tapi alat ukur mengantarkannya pada situasi tersebut. Memang selain rasulullah tidak ada lagi sosok pemimpin yang azzijun alaihi ma anitum haritsum alaikum bil mu'minina roufur rohim, yakni yang hatinya penuh kasih sayang, dan berat terhadap penderitaan rakyat dan umatnya.  Pada akhirnya tidak ada lagi yang penting selain terus menerus berhubungan dengan tuhan dan meneladani rasulullah sebagai mahluk mutiara terbaik ciptaannya, diluar itu, semuanya harus disikapi biasa-biasa saja. Jangan risau bupati berganti, gubernur ganti, presiden ganti, atau negara sekalipun, karena kita bukan menggantungkan diri kepada semua itu, sekaya dan seberpengaruh apapun kapasitasnya. Ok lah keep calm.