Thursday 31 December 2015

Urgensi studi sejarah perekonomian Indonesia












Oleh : Hasan Sadeli

Pendahuluan
Studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia dapat dikatakan masih berumur muda dibanding dengan studi sejarah sosial dan politik. Sejarah perekonomian di Indonesia mulai mendapatkan tempatnya pada awal dekade  80an.  Indonesia relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Cina (sekarang Tiongkok) yang tetlebih dahulu memulai studi mengenai perekonomian.
Berbagai kajian tentang sejarah perekonomian Indonesia khususnya pada zaman kolonial mulai dibahas pada tahun 1983, yakni saat konferensi yang mengetengahkan sejarah perkonomian Indonesia pada masa kolonial diselenggarakan oleh Australian National University.  Dalam diskusi tersebut banyak disajikan kondisi perekonomian Indonesia dari pra kolonial sampai pada dampak kolonialisme terhadap perekonomian Indonesia. Dikatakn bahwa, ruang lingkup pembahasan meliputi sejarah perekonomian pra kolonial oleh Anthony Reid, Sistem Tanam Paksa Oleh R.E Elson dan dan Robert Van Neil, Land Reform oleh Jan Breman, Desa sebagai unit adminiistratif oleh Tjondronegoro, penilaian kembali tentang konsep involusi oleh J.A.C Mackie, serta dampak kolonialisme Belanda di Indonesia oleh Anggus Madison dan Douglas Paauw.  Makalah-makalah yang satu sama lain terpisah akhirnya dihimpun dalam buku Indonesian Economic History in The Dutch Colonial Era , buku tersebut diterbitkan oleh Yale University dan disunting oleh Anne Booth, O’Maley dan Anna Weidemann.
Perkembangan studi perekonomian di Indonesia selaras dengan perhatian para sejarawan indonesia yang pada mulanya masih disibukan dengan orientasi untuk mengedepankan penulisan sejarah yang bersifat Indonesiasentris pada tahun 1957 ketika seminar sejarah nasional ke-sati dilakasanakan. Sementara itu, persfektif yang lebih luas tentang penulisan sejarah di Indonesia mulai berkembang saat seminar sejarah nasional ke-dua diselenggarakan pada tahun 1982 dengan melakukan pendekatan-pendekatan ilmu sosial terhadap kajian sejarah (Socio Scientic Aproach) sehingga dapat dikatakan sebagai suatu periode baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Dapat dipahami bahwa era perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia baru dimulai pada sekitar dekade 80an mengingat khasanah tentang penerapan ilmu-ilmu sosial terhadap kajian ilmu sejarah baru dimulai pada tahun 1982. Pada tahun-tahun berikutnya, studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya menggali sebab-sebab, proses serta dampak yang ditimbulkan pasca aea kolonialisme di Indonesia.
Faktor-faktor pendukung yang melatarbelakangi perkembangan studi sejarah perekonomian di Indonesia ialah dibukanya arsip tentang adiministrasi pemerintah kolonial di Belanda dan Indonesia untuk umum. Hal tersebut memicu para sejarwan untuk lebih jauh meneliti tentang aspek-aspek perekonomian di Indonesia pada masa kolonial terutama saat sistem tanam paksa diterapkan di Indonesia, dengan begitu para sejarawan mampu mengungkap fakta-fakta tentang berlangsungnya sistem tersebut dan meletakannya dalam posisi penting sebab tanam paksa dianggap sebagai suatu kebijakan yang menimbulkan dampak mendasar dalam kondisi sosial serta ekonomi masyarakat Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Data-data statistik yang menghinpun gambaran perekonomian di Indonesia sebenarnya mulai dinisiasi oleh mantan kepala Biro Pusat Statistik (Central Kantoor voor de Statistiek) Hindia Belanda P. Creutzberg dalam usaha untuk melakukan kompilasi data statistik tentang sejarah perekonomian di Indonesia. Urgensi studi mengenai sejarah perekonomian sampai-sampai membuat India menjadikan studi tentang sejarah perekonomian mereka sebagai rujukan dalam membangun ekonomi dinegara tersebut. Namun demikian, karya mengenai studi sejarah perekonomian tidak sebanyak sejarah yang mengetengahkan persoalan politik sosial, hal ini karena kapasitas sejarawan yang kurang menguasai/mengolah penggunaan data statistik sebagai data yang penting dalam mengkaji sejarah perekonomian.

Telaah kondisi ekonomi petani pada masa Tanam Paksa di Jawa.
Sistem Tanam Paksa (Cultur Stelsel) yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 mengakibatkan kemiskinan struktural terutama bagi kalangan petani dipulau Jawa oleh sebab tuntutan memenuhi kas pemerintah Belanda. hasilnya ialah datangnyab kemakmuran bagi pemerintahan belanda dari ekspor hasil bumi di hindia belanda sejak Tanam Paksa diterapkan. Meskipun sumber-sumber mengenai periode tanam paksa dianggap kurang lengkap, seperti terbatasnya informasi yang mengulas secara utuh mengenai kondisi ekonomi masyarakat Jawa terutama yang terdapat dalam arsip yang umumnya merupakan kumpulan laporan pertanggungjawaban. Selain itu subjektifitas dari sumber-sumber yang memuat informasi periode tersebut tidak bisa dihindari mengingat adanya tarik-menarik kepentingan dalam membentengi program tersebut dari kritik yang dilancarkan oleh kaum liberalis.

Kemiskinan dan kemakmuran pada masa Tanam Paksa
Apa yang tersisa dari pelaksanaan sistem tersebut segera akan diketahui akibatnya. Para penduduk dipedesaan melakukan perpindahan besar-besaran untuk menghindari kerja keras menjadi salah satu sebab umum yang diderita kaum petani pedesaan pada periode tersebut. Keutungan yang dirasakan terbatas pada golongan bangsawan dari Cina, India, atau Arab, sementara golongan pribumi ialah mereka yang memiliki status sosial sebagai pejabat ditingkat desa hingga residen. Perpindahan penduduk membuat tanah-tanah kosong sehingga membuat kaya para warga yang tidak meninggalkan desa. Namun sekali lagi, keuntungan tersebut bersifat terbatas. Betapapun sumber yang menerangkan kondisi ekonomi petani dianggap samar, namun apa yang mendorong mereka (para petani) meninggalkan desa menjadi alasan mendasar untuk mengungkap betapa golongan yang melakukan perpindahan tersebut tidak mendapatkan kelayakan didesanya, seperti konsep “hijrah” sebagai jalan yang ditempuh untuk memperbaiki hidup.
Meningkatnya produksi dan laba yang menopang kerajaan belanda seluruhnya bersumber dari hasil Tanam Paksa. Komoditas yang dihasilkan seperti Kopi, Tebu, Lada, Teh dan lain-lain memperlihatkan adanya kebutuhan sepihak pemerintah kolonial saja. Kopi sebagai komoditas yang mendatangkan keutungan siginfikan, sementara tanaman tersebut hanya hidup disekitar daerah dengan suhu rendah yakni daerah dataran tinggi. Padahal umumnya masyarakatIndonesia saat itu tinggal didataran rendah sebagai petani. Jarak yang ditempuh tentu cukup jauh, dimadiun misalnya, para petani harus berjalan sejauh 7 km, itu yang terendah apabila dibandingkan dengan cirebon yang sampai menempuh 12 km. Kondisi memaksa petani untuk tinggal digubuk-gubuk darurat mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh apabila harus pulang-pergi. Kemudian komoditas penting lainnya ialah Tebu dan nila yang membuat petani harus membuka irigasi untuk lahan yang sebetulnya ditanami padi sebagai kebutuhan pokok.
Kendala-kendala yang banyak dialami oleh para petani Jawa memperlihatkan suatu kegetiran luar biasa pada masa Tanam Paksa. Belum lagi durasi jam kerja pada masa itu 4 atau 5 kali lebih lama dari jam kerja biasanya, atau sebelum tahun 1830 para petani tidak pernah bekerja selama itu. Hal ini bukan saja membuat petani teralienasi dari aktifitas sosial, namun lebih memperihatinkan ialah stamina mereka yang harus terkuras tanpa mendapatkan hasil yang sepadan. adanya musim tanam yang tidak seperti biasa sebagai akibat dari tanamn-tanaman yang menjadi prioritas tanam paksa telah menggeser posisi padi, sayuran, atau jagung sebagai bahan-bahan yang kebutuhannya bersifat mendasar.
Disisi lain, akibat yang ditimbulkan oleh tanam paksa membuat pendapatan masyarakat Jawa meningkat, beberapa contoh peningkatan tersebut terdapat di Pasuruan dan Surabaya tempat dimana tumbuhnya sektor ekonomi lokal berupa para pedagang swasta, bahkan didaerah kedu, kediri, dan pekalongan (Jawa Tengah) terjadi taraf kesejahteraan masyarakat, seperti pembayaran pajak yang bahkan sebelum waktunya. Semarang sebagai salah satu residen yang mengalami kehancuran ekonomi dengan cepat memulihkan perekonomian bahkan dengan salah satu yang termakmur di Jawa. Dikatakan bahwa telah terdapat pemerataan dalam peningkatan taraf  perekonomian dipulau Jawa pada tahun 1858-1868.   Angka-angka statistik yang memperlihatkan peningkatan pajak, pembayaran panen, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Secara umum dianggap suatu peningkatan kesejahteraan yang dialami para petani.

Konklusi 
Apa yang terjadi di Jawa pada masa berlangsungnya sistem Tanam Paksa mengakibatkan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat petani Jawa. Kemakmuran hanyalah dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat saja, adapun data yang menunjukan telah terjadinya kemakmuran sangat meragukan. Karena peningkatan taraf  perekonomian hanya didasarkan pada aspek perdagangan yang semakin tumbuh, sektor swasta tersebut tentu bukan proyeksi yang jelas untuk mengasosiasikan kemajuan perdagangan sebagai ekses dari sistem Tanam Paksa. Selain itu, bisa saja mereka yang tidak tahan dengan kondisi di pedesaan yang mengadu nasib dan menghindari kerasnya hidup sebagai petani yang imbalannya jauh dari nilai kerja itu sendiri.
Artinya, ada yang tersisa di desa. Mereka yang tinggal disana tetap mengalami har-i-hari yang berat, kelompok petani yang mau tidak mau, sadar atau tidak telah memberikan daya upayanya hanya untuk kepentingan golongan elite saja. Sementara jangankan upah yang sepadan, mereka bahkan harus kehilangan kemakmuran dari sektor petanian seperti padi, jagung sebagai bahan kebutuhan pokok.  
Itikad baik pemerintah kolonial misalnya dalam memberi suntikan modal sangatlah sedikit bahkan tidak efektif. Sudah pasti keberhasilan yang dirasakan oleh pemerintah Kolonial pada masa Tanam Paksa tidak berbanding lurus dengan kondisi ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Karena betapapun banyaknya mereka yang hijrah kedaerah-daerah ramai seperti karesidenan, semata-mata hanya untuk menghindari kerja paksa saat itu. Selain itu, kemiskinan struktural yang terjadi diperkotaan dewasa ini tidak lain adanya eksodus dari warga dipedesaan yang datang kedaerah kota yang umumnya merupakan daerah karesidenan. Karena kota pada prinsipnya ditegakan oleh pemerintah kolonial didesain untuk kelas menengah keatas. Sementara para petani dipedesaan sekali lagi, menjalani hari-hari yang kelam mungkin terkelam selama masa hidupnya.   

  

1 comment:

  1. SALDO DI REKENING MENIPIS? YUK GABUNG SAJA BERSAMA BOLAVITA
    DENGAN 1 USERID UNTUK SEMUA PERMAINAN , MODAL MINIM BISA JACKPOT MAX.

    DEPOSIT MENGGUNAKAN BANK, E-WALLET & PULSA, PROSES MUDAH DAN CEPAT !!

    DAPATKAN JUGA BONUS MENARIK :
    ♥ BONUS NEW MEMBER
    ♥ BONUS EVERYDAY
    ♥ BONUS REFERRAL

    Untuk informasi lebih lanjut bisa hubungi kami via livechat ataupun :
    ✔ WA / TELEGRAM : +6281297392623

    ReplyDelete