Wednesday 23 September 2015

Jalan sunyi demokrasi

oleh : Hasan Sadeli

Manusia dewasa ini jarang memandang hal yang penting sebagai hal utama. Mereka umumnya melihat yang justru tidak penting sebagai hal yang wajib, termasuk dalam menggunakan sudut pandang. kalau sudut pandangnya yang keliru ini masih  dianggap wajar, namun apabila cara pandang yang ia pilih sudah dianggap final dengan terlebih dahulu memverifikasi berbagai sudut pandang, maka ini yang justru luar biasa.  Keluarbiasaan inilah yang sudah dicapai oleh kebanyak orang saat ini, mereka merasa sudah mampu merancang metode verifikasi dengan kekuatan pikiran yang diyakini paling objektif berlandaskan pada budaya formal kunstitusional lewat UUD, PERPRES, PERGUB, PERBUP, PERDA dan Perdes sekalipun.

Sebenarnya semua itu sah-sah saja, menggunakan penilaian tentang realitas melalui pijakan ilmu budaya bisa, sudut pandang hukum bisa, moral bisa, apapun saja bisa. Hanya saja adakah kita tahu bahwa aspek-aspek tadi sudah benar-benar kita fahami, tidak usah secara komprehensif, minimal mengerti batas-batas bahwa ini soal politik, itu soal budaya, lainnya soal hukum. Sebab, ini soal epistemologi yang terus kita abaikan, akhirnya semua jadi campuraduk tidak karuan. Kalau kita meneruskan kebiasaan ini sebagai hal yang wajar atau lebih parah lagi menganggapnya sebagai dinamika kebudayaan masyarakat demokrasi, lantas dimana letak akal dalam ruang demokrasi? Pernahkah kita bertanya tentang bagaimana bisa demokrasi yang dikenal menjunjung keterbukaan dan kebebasan justru pada realitasnya melahirkan pengekangan pikiran? Misalnya gini, sudah tahu pemilu hanya melahirkan yang itu-itu saja, tetap saja kita selenggarakan.

Akan tetapi demokrasi punya teaternya sendiri, entah itu lewat pemilihan umum, kebebasan pers, kebebasan berpendapat, mengupayakan tegaknya supremasi hukum, mengupayakan peningkatkan kesejahteraan dan sekontainer misi mulia lainnya. Demokrasi memang luar biasa hebat, mampu memikul beban itu sendirian. Saya benar-benar salut, sebuah keberanian yang belum tentu mampu diemban oleh siapapun juga, god bless you democracy. Perkenalan pertama yang mengagumkan, setidaknya itulah kesan yang membekas, kini muncul kerinduan, rasanya sudah lama kita meninggalkannya (si demokrasi) dan mempercayakan sepenuhnya urusan bangsa dan negara ini padanya. Saya yang kecil ini merasa rindu untuk bertemu dengannya, mula-mula saya ingin bertanya kabar, apakah ia baik-baik saja atau malah sedang tidak enak badan, apakah masih percaya diri untuk mengurusi negeri ini, atau sudah mulai minder, tapi bodohnya saya ini, demokrasi bukanlah manusia, ia abstraksi pemikiran (sudah pemikiran abstrak lagi).  

Malangnya bangsa ini, menyerahkan begitu banyak urusan yang mestinya diurusi oleh otentisitas keberadaan manusia kepada sesuatu yang abstrak keberadaanya. Lebih malang lagi kalau ternyata disaat yang sama kita terlambat tahu, apakah saat ini si demokrasi sedang meratapi kebodohannya dahulu saat menawarkan kesanggupannya sedemikian rupa untuk mengurus bangsa ini, atau malah dia sedang menertawakan kita. Entahlah, hanya tuhan dan si demokrasi sendiri yang mengetahuinya. Tapi saya enggan untuk membawa-bawa tuhan pada perkara ini, bukan karena saya sekuler atau ateis, tolong  jangan puritan,dulu, sebab ini konsensus antara kita dengan si demokrasi, dan sejauh keyakinan kita (kalau saya terlalu subjektif) saat konsensus itu dilakukan adakah kita melibatkan tuhan? jangankan tuhan, ulama-ulama saja seperti santai-santai begitu (jika tidak ingin mengatakan tidak ngeh).

Awalnya saya tidak ingin begitu banyak membicarakan si demokrasi, namun karena ia bukan manusia, ya to be continue saja. Tentang si demokrasi ini, saya (yang polos) pernah bertanya kepada salah satu katakanlah senior saya di organisasi, apa bedanya demokrasi dengan musyawarah? Senior saya mengumpamakan demokrasi dengan kisah lima orang sahabat yang hendak bepergian ke suatu daerah yang sama, mereka berselisih pendapat, yang dua ingin lewat rute A, yang tiga ingin lewat rute B, dengan asumsi masing-masing, tapi karena yang ingin lewat rute B ini tiga orang, maka yang memilih jalur A mengalah dan ikut jalur B. Lalu musyawarah mufakat diumpamakannya dengan kisah yang sama, tapi saya aransemen sedikit, yang tiga orang ingin lewat rute A, sedangkan yang dua orang ingin lewat rute B, akhirnya diputuskan yang tiga orang tetap melewati rute A, sedang yang dua orang lewat rute B, mereka berlima melalui jalan yang berbeda namun dengan tujuan yang sama.

Demikian perumpamaan singkat mengenai  demokrasi dan musyawarah, semestinya diuraikan diferensiasi antara keduanya, mulai dari etimologi, terminologi, latar historis, sampai aplikasi sosial. Namun karena perumpamaan tadi dirasa mewakili simplifikasi dari keduanya, maka saya tidak merasa perlu untuk mengurainya lebih jauh, selain karena perbedaan keduanya sangatlah sederhana, perumpamaan tadi juga dimaksudkan untuk memperjelas keyakinan tentang kenyataan bahwa kemampuan berfikir pembaca yang budiman jauh diatas saya yang tidak ada apa-apanya ini. Demikianlah perbedaan ditakdirkan ada, sementara praktek demokrasi menjamin persamaan dihampir banyak bidang, demokrasi bahkan menopang kompleksitas ilmu yang cakupannya lebih luas, hal itu tersebut terbukti dengan realitas bahwa demokrasi merupakan pemenang dari semua ideologi yang pernah ada.

Didunia ini terdapat beberapa ideologi yang dalam sejarahnya berbeda satu sama lain dengan demokrasi, seperti sosialisme misalnya dari filsafat ekonomi populer marx dan engels yang kelak menginspirasi kelahiran komunisme sebagai wacana filsafat politik guna mengaplikasikannya kedalam sebuah negara.  Pertentangan dua ideologi besar tersebut mencapai puncaknya saat terjadi perang dingin yang memakan waktu hampir empat dasawarsa. Dalam hal ini, tidak usah dibahas panjang lebar karena semua tahu siapa yang “memimpin” dunia saat ini.  

Demokrasi sendiri memiliki beberapa bentuk, paling tidak itulah yang pernah diterapkan di Indonesia, misalnya demokrasi terpimpin saat era Presiden Soekarno yang meruncingkan perbedaan pendapat dengan Bung Hatta dalam memandang konsep demokrasi. Hatta sepertinya memegang falsafah “lain ufuk lain belalang” , bahwa popularitas demokrasi lahir dan berkembang di barat, namun tidak kemudian diadopsi 100% sebab ada perbedaan budaya yang membatasi. Dalam hal ini pandangan Hatta dapat kita lacak dari karyanya berjudul “demokrasi kita” yang  menunjukan betapa hatta memberi ruang interpretasi sosiologis dalam penterapan sistem demokrasi di Indonesia.  

 Demokrasi sebagai primadona akhirnya jarang dikritisi oleh sebagaian besar manusia, tidak terkecuali masyarakat di Indonesia. Mereka yang tergolong rakyat biasa, pegawai swasta, pejabat pemerintahan, punya teriakan yang sama dalam menjunjung demokrasi. Demokrasi ialah produk kebudayaan, dan setiap kebudayaan mempunyai strukturnya sendiri. Saya melihat bahwa demokrasi memiliki struktur yang mapan sedemikian rupa, orang di semua level menganggap demokrasi sebagai hal yang pantas untuk dipertahankan. Masalahnya ialah demokrasi melahirkan pemikiran yang sangat strukturalis, mulai dari falsafah hingga sistemnya terlihat lebih menitikberatkan pada peran dan berjalannya sistem kebudayaan; bukan pada kesadaran dan kecerdasan manusia sebagai subjeknya. 


            

Nilai Banten dimata penggede dan masyarakatnya

oleh : Hasan Sadeli


Telah begitu banyak karya-karya ilmiah yang mengetengahkan banten sebagai objek kajian dari berbagai disiplin ilmu. Banten dari era kesultanan, kolonialisme, sampai sekarang, rupanya masih menarik minat para akademisi untuk terus mengkaji dinamika diprovinsi yang berdiri pada tahun 2000 ini. Intensitas tulisan yang mengkaji banten pada masa kontemporer tidak kalah ramainya dengan banten dimasalalu. Ini membuktikan bahwa banten selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan, terkait dinamikanya atau lebih spesifik keruwetan problem yang setia membelitnya.

Fakta bahwa Provinsi banten merupakan daerah yang strategis, selain karena dipengaruhi letak geografis sebagai penyangga Ibu Kota negara, banten juga memiliki kekuatan ekonomi industri dimana terdapat perusahaan barang dan jasa masing-masing terkonsentrasi di kabupaten tanggerang, kabupaten serang, serta kota cilegon. Banten memiliki tiga pintu sarana transportasi baik darat, laut dan udara sebagai jalur perekonomian  penting.  pertama, jalur kereta api di kabupaten lebak sebagai  jalur distribusi bahan baku industri  seperti batu bara. kedua, pelabuhan merak dicilegon dan bandara Soekarno Hatta yang terletak di tanggerang sebagai pintu masuk para investor baik domestik maupun mancanegara. Kemudian apakah fakta tentang posisi strategis itu bisa dijawab dengan prestasi nyata daerah? Nyatanya masih belum, seperti apa yang pernah diutarakan dalam Akrobat Pembangunan karya Dahnil Anzar, bahwa kemajuan banten hanyalah efek diaspora pembangunan nasional.  

Ahistoris

Memori yang menghantarkan kita tentang banten dengan formulasi kesultanan yang mencapai masa kejayaanya saat sultan ageng tirtayasa memimpin pada abad ke 17 dan menentang keras penjajahan belanda. Hiruk pikuk ekonomi telah berlangsung sejak lama dibanten, terutama kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh banten dengan daerah-daerah lain membuatnya terkenal sebagai daerah yang maju akan perekonomiannya. Sangatlah wajar apabila ekspektasi dimandatkan terhadap para penggede di banten. Kini banyak orang yang membincang banten dengan nada miring, skeptis, tidak pelak ini membuat bising telinga orang-orang banten, namun apa boleh dikata, orang banten sendiri sadar bahwa itu kenyataan, kasus-kasus yang membelit tidak saja seputar korupsi sebagai mainstrem topic paling aktual, namun lebih dari itu ada nilai yang telah mencair, mulai mengental dalam memori kolektiv masyarakat banten terutama dalam menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah. Tanpa disadari, kekentalan itu akan menggiring pada kebekuan.   

Jikalau banten saat pertama kali terbentuk didasarkan pada fakta historis, barangkali Lampung juga akan menjadi bagian dari banten. Namun saat lampung sudah berdiri sebagai provinsi, pada saat yang bersamaan banten termasuk kedalam provinsi Jawa Barat. Dalam konsep negara maritim, laut tidak dipandang sebagai pemisah, melainkan sebagai penghubung. Dalam hal ini rupanya pemerintah pusat lebih melihat aspek geografis ketimbang aspek historis. Namun demikian bukan itu yang akan kita jadikan permasalahan, lebih-lebih memposisikannya sebagai kambing hitam. Ada hal paling substansial yang harus segera dibenahi yakni membangun kembali memori kolektiv akan kejayaan banten melalui kesadaran akan pentingnya menjaga serta melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah di banten.

Karena begitu banyak hal-hal yang  dilupakan dalam memori kolektiv kita tentang peran kesejarahan.  Seandainya, banyak diantara kita masyarakat banten yang mempelajari peran kesejarahan banten dalam konstelasi etos moral masa kini meski tidak kmoprehensif, setidaknya dapat menghindarkan banten dari stigma daerah yang dikelola secara oligarki dan hanya melahirkan korupsi, bahkan lebih dari itu, banten dekat dengan model state of nature –nya Thomas Hobbes yakni keadaan alamiah yang tidak memiliki pijakan historis sebab konsep-konsep tersebut tidak pernah didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya pernah, sedang atau akan terjadi. Keadaan itupula yang mendominasi manusia untuk selalu mengutamakan hawa nafsu untuk diri dan golongannya dengan merampas sesuatu yang sesungguhnya hak rakyat.

Sebuah model dengan istilah populer Homo Homini Lupus yang berarti manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Kita tentu tidak ingin banten dalam keadaan alamiah versi Hobbes tadi, adanya pemerintahan semestinya membuat banten semakin beradab bukan malah kembali kepada keadaan alamiah sebelum adanya pemerintahan yang didominasi oleh keserakahan tanpa pijakaan apapun. Apakah itu hanya sebuah argumentasi atau memang kenyataan, Gejolak yang membumbui perjalanan provinsi muda ini begitu miris, para penggedenya terlibat skandal yang tidak lain diakibatkan oleh romantisme kepentingannya sendiri. Tak pelak banten hanya menghadirkan kepemimpinan yang jauh dari kiblat masalalunya sebagai banten yang perkasa dan dihormati, sekarang keperkasaan itu berdiri diatas penderitaan rakyatnya. Karena tidaklah benar bahwa banten dekat dengan identifikasi keadaan alamiah seperti gambaran Hobbes, mengingat banten berpijak pada sejarah, karena memang memilikinya, namun sejauh mana menmahaminya? hanya kita (masyarakat banten) yang benar-benar mengetahuinya.

Menghadirkan Kembali Sejarah

Dalam Refleksi Tentang Sejarah Karya F.R Ankersmit dibahas soal mengahdirkan sejarah sebagai suatu refleksi yang menyegarkan memori kolektiv suatu masyarakat akan sejarahnya. Adalah R.G. Coolingwood seorang filsuf sejarah abad 20 melalui re-enactment of the past atau menampilkan kembali sejarah untuk mengetahui masa silam melalui pementasannya dimasa kini. Menampilkan kembali bukan hanya sebatas lisan namun ialah wujud asli dari peninggalan-peninggalan sejarah yang tak luput oleh jaman. Ada banyak hal tentang urgensi berpedoman pada sejarah, disamping menumbuhkan rasa kebantenan kita.

Kita tidak bisa sepenuhnya membebankan kesadaran ini hanya pada golongan akademisi, budayawan, sejarawan dan seterusnya. Akan lebih bijak jika pemerintah pro aktif dalam melakukan tindakan nyata dan tidak hanya sebatas sosialisasi serta kalaupun diperhatikan melalui program perawatan dan semacamnya harus sampai tuntas. Jika kita hendak mempertanyakan tentang apa relevansinya menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah baik yang dari jaman kesultanan maupun saat kolonialisme dalam konteks kekinian? Tentu saja ada, bahkan banyak sekali nilai manfaat yang didapat. Salah satu manfaat terpenting ialah tumbuhnya rasa memiliki sebagai orang banten, menghargai perjuangan para leluhur dengan meneladani perjuangannya dimasa kini.

Yang melegakan ialah upaya dari kalangan sejarawan dan budayawan banten yang tak kenal lelah terus berusaha mengampanyekan pentingnya mengetahui sejarah serta merawat peninggalannya. Beberapa waktu yang lalu pada april 2014 diselenggarakan World Heritage Day (Hari Pusaka Dunia) di Surosowan kota Serang. Dari sana pemerintah provinsi Banten yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Rano Karno (sekarang gubernur resmi) sepakat untuk melestarikan sisa-sisa peninggalan bersejarah dibanten. Mudah-mudahan ini tidak sekedar romantisme sejarah.

Kita ingin memandang setiap usaha, seksecil apapun sebagai ikhtiar untuk kabulnya doa bersama tentang menghidupkan kembali nilai luhur banten secara keseluruhan melalui sejarahnya. Kita tidak ingin menyaksikan masyarakat banten buta terhadap sejarahnya, sehingga mendekatkan pada kebutaan identitasnya. Memberikan senyum ramah kepada para pengunjung yang datang ke situs-situs bersejarah sudah merupakan satu langkah maju dari kepedulian kita terhadap sejarah.  Peran serta seluruh komponen masyarakat banten dalam menjaga, melestarikan dan memahami sejarah sebagai sebuah nilai pada gilirannya membuka cakrawala tentang keaslian diri kita. Seperti yang secara eksplisit dikemukakan oleh mendiang Guru Besar Arkeologi UI Ayatrohaedi, bahwa tujuan utama mempelajari sejarah banten ialah untuk menyadarkan masyarakat banten bahwa mereka mempunyai sejarah yang cukup panjang.


Teori Kekuasaan Machiavelli



Pendahuluan

Machiaveli adalah anak zaman renaisans, ia lahir pada tahun 1467 dan dibesarkan dikota florence, Italia. Florence merupakan kota yang dinamis dari segi ekonomi karena perniagaanya yang  maju serta didukung sumber daya manusia yang banyak diantaranya para pengusaha. Machiavelli telah banyak menyaksikan perebutan kekuasaan di negerinya.  Ia pernah menjadi diplomat, suatu jabatan yang membuka matanya tentang peristiwa politik didalam dan luar Italia. Saat ia diberhentikan dari jabatan politik selepas Penguasa Lorenzo de Medici kembali berkuasa disitulah saat ia memulai hidupnya menjadi pemikir. Ia mempeersembahkan karya termasyhur dalam buku “Sang Penguasa” yang telah diterjemahkan kedalam puluhan bahasa didunia.

Renaisans telah membangkitkan kembali cita-cita, alam pemikiran, filsafat hidup yang kemudian menstrukturisasi standar-standar dunia modern seperti, optimisme, hedonisme, naturalisme, dan individualisme. 1  Ialah peletak dasar-dasar politik modern dengan mengadopsi kekuasaan sebagai anak kandung yang harus diutamakan diatas segala kepentingan baik nilai, moralitas, dan bahkan agama. Ia menjabarkan teori yang intinya kekuasaan ialah tujuan setiap penguasa, bukan moral, bukan pula agama, semua adalah alat untuk mencapai kekuasaan.  

Hubungan antara Kekuasaan, Moralitas, dan Agama.

Dalam kesempatan ini, saya akan mengulas pandangan Machiavelli lewat karyanya yang monumental “sang penguasa” dengan judul asli (Ill Principe) yang memberi kontribusi terhadap teori seputar cara merebut dan mempertahankan “kekuasaan” sebagai ruh dari buku ini. Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, ia menyangkal bahwa kekuasaan ialah alat untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, dan agama. Sebaliknya, bagi machiavelli Agama dan Nilai-nilai yang justru dijadikan alat untuk memperoleh, memperbesar dan melanggengkan kekuasaan. Dalam “The Prince”  Machiavelli menekankan pentingnya melakukan tindakan-tindakan baik terpuji maupun tidak terpuji (Kekerasan) asal tujuan bisa tercapai. Dengan lain perkataan, Machiavelli mengajarkan kepada sang penguasa untuk menjadikan apa saja fasilitasnya bagi tercapainya kekuasaan sebagai tujuan satu-satunya yang harus dimuliakan.

Letak penting pemerintah berfungsi mempertahankan serta mengembangkan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan integral dan esensial sebagai fondasi dalam bengunan kekuasaan. Ditegaskannya bahwa penguasa bukan merupakan personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Lebih lanjut Machiavelli menguraikan perbedaan antara prinsip-prinsip moral, etika, dengan ketatanegaraan. Moral dan tata susila adalah suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral. Tujuan politik oleh machiavelli dianggap lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar tujuan-tujuan nyata.

Mengenai Mempertahankan Kekuasaan

Jika seorang penguasa telah berhasil menduduki singgasananya, pertama-tama ia harus menimpakan penderitaan itu hanya untuk sekali, dan jangan mengulang-ngulang penderitaan itu setiap hari, dengan cara itu ia dapat menenangkan pikiran rakyat dan akan menarik mereka berpihak kepadanya kalau dibicarakan mengenai manfaat tindakannya. Seandainya ia menerapkan penderitaan secara terus-menerus maka ia akan tidak merasa aman menghadapinya. Kekerasan harus dilakukan sekali saja. Rakyat akan segera melupakan penderitaannya dan tidak akan menentang lagi. Perlahan-lahan raja harus menunjukan kebaikan kepada rakyatnya, dengan demikian rakyat akan mengalami masa yang lebih baik.2

Pendapat lain Machiavelli, menyangkut sikap-sikap yang dipilih seorang penguasa ialah kolaborasi antara kebaikan dan kebengisan (kalau perlu). Namun machiavelli sendiri mengatakan akan lebih baik jika Raja (penguasa) memiliki semua daftar sikap baik agar tidak hanya dikagumi rakyat melainkan agar namanya abadi. Raja hendaknya, jika mungkin menghindari tindakan-tindakan tidak terpuji yang tidak berbahaya; tetapi kalau tidak mungkin ia tidak perlu khawatir karenanya. Namun raja tidak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dlakukan demi keselamatan negara.3  Bisa saja seorang raja menurutnya bertindak kejam atau bahkan masuk kedalam tindakan kejahatan. Raja atau seorang penguasa harus memiliki sifat seperti “Rubah” agar tahu bahaya, dan bersikpa seperti singa untuk menakuti.


Tanggapan Pribadi mengenai  stigma “Guru yang mengejarkan Kejahatan”

Jika umumnya orang yang berasal dari jaman setelah Machiavelli, memposisikannya sebagai “Gurunya Kejahatan” maka haruslah terlebih dahulu dilakukan identifikasi personal dari fakta-fakta lingkungan sebelum dan selama ia hidup. Karena itu akan sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran machiavelli sebagaiman tertuang dalam Sang Penguasa. Meskipun pada akhirnya kita akan melihat bahwa buah pemikirannya akan sangat berbahaya apabila dipergunakan oleh penguasa yang memiliki bakat bengis. Namun demikian, perlu pencernaan mendalam sebelum kita memposisikan diri untuk menilai Machiavelli sebagai Gurunya Kejahatan atau bukan.
Apabila Machiavelli dikategorikan sebagai “Teacher Of Evil” yakni guru yang mengajarkan kejahatan. Alasan yang melatarbelakanginya ialah bahwa segala sesuatu apabila dipandang sebagai alat semata-mata karena kekuasaan  pada gilirannya akan melahirkan “negara kekuasaan” bukan “negara bangsa”. Sudut pandang saya mengomentari Machiavelli yang menjadikan Moralitas, Nilai-Nilai sebagai alat untuk mencapai kekuasaan sangatlah wajar karena seperti dikemukakan diatas bahwa kekuasaan dalam arti mengelola negara atau kerajaan merupakan bagian pokok dari urusan umum rakyat, sementara Moral merupakan harapan yang oleh Machiavelli dianggap kurang banyak berinteraksi dengan masalah-masalah rakyat, tetapi bisa saja kita beranggapan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Yang menyedihkan ialah bahwa yang dipraktekan oleh banyak negara bangsa didunia bahkan hingga dewasa ini sadar atau tidak merupakan model kembar dari ajaran machiavelli yang meletakan kekuasaan diatas segalanya. Bedanya ialah machiavelli benar-benar mewajarkannya secara eksplisit, sementara yang lain diam-diam mempraktekannya. Masa ketika machiavelli hidup ialah masa transisi pemikiran dari terkungkung oleh dogma gereja masa pertengahan kearah pemikiran liberal, sehingga penekanan konteks sudut pandang terhadap apa yang diajarkan machiavelli akan sulit kita terima tanpa terlebih dahulu mempelajari latarbelakang lingkungan dan zamannya.

Referensi

1.      Burns, Edward Marshall , World Civilization, New York: W.W. Norton Company, 1964, hal.516

2.      Machiavelli, Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik , Jakarta: Gramedia., 1987 Hal : 38-39

Review karya Lee Cameron Mc Donald “Western Political Theory” : karl marx

oleh : Hasan Sadeli



 
Karl  Marx adalah anak laki-laki tertua dan anak kedua dari delapan bersaudara dalam keluarganya.Ia lahir pada Mei 1818 di Trier, Jerman. Orang tuanya adalah Yahudi yang dipencilkan dan dibedakan hingga diperkenalkannya Undang-Undang Napoleon yaitu era baru persamaan. Ayahnya, Heinrich Marx, selama periode kebebasan itu menjadi borjuis liberal, seorang pengacara. Kemudian, Napoleon menarik beberapa kebebasan yang dijamin terhadap Yahudi dan akhirnya Pangeran Prusia membatasi kebebasan yang lainnya dengan undang-undang Anti-Yahudi tahun 1816.Mundurnya ke posisi yang rendah dengan tiba-tiba ini, secara psikologi lebih membahayakan dibandingkan tekanan yang tetap terhadap orang Yahudi.Karl Marx lahir dalam pertengahan periode frustasi yang hebat.Sejak kelahiran Karl Marx orangtuanya menjadi Kristen yang mungkin untuk mendapatkan keamanan dari raja.Ayahnya mengakui kesalahan dan memohon pengampunan, tindakan yang memalukan ini pada akhirnya menjadi sumber kebencian bagi Karl Marx.
Pada umur tujuhbelas tahun, Marx masuk Fakultas Hukum di Universitas Bonn pada tahun 1835.Marx muda adalah murid yang pandai dan cepat berkembang terutama dalam literatur.Tahun 1836, Marx dipindahkan ke Universitas Berlin untuk mempelajari ilmu hukum. Di sinilah ia menyerap sistem Hegel, terlihat dari ketertarikannya dalam materialime. Pada tahun 1841, Marx berencana untuk mengikuti karir pendidikan namun ia mengambil pekerjaan sebagai reporter untukRheneische Zeitung yang pada tahun depannya ia menjadi editor. Sumber lain menyatakan bahwa harapan awalnya untuk menjadi pengajar di Universitas Born tidak diterima karena pandangan politiknya yang ekstrim, sehingga ia bergabung menjadi reporter dalam Koran yang radikal tersebut karangan-karangan tersebut adalah borjuis namun kritis terhadap pemerintahan Prusia, Marx menemukan dirinya penulis yang radikal. Karena tindakannya tersebut jurnalnya ditahan oleh yang berkuasa pada tahun 1843. Ironisnya, Marx lama diberi label komunis sebelum ia mengakui label tersebut. Pemberederan terhadap karyanya tersebut akhirnya mendorongnya untuk tertarik terhadap politik dan ekonomi.Tahun 1844 Marx menulis ide-idenya dalam artikel tentang interpretasinya terhadap ekonomi.

Manifesto Komunis

Pemikiran yang dikemukakan Marx dan Engels dalam rumusan Manifesto Komunis adalah perjuangan kelas. Rumusan ini dimulai dengan kalimat pembuka yang diharapkan dapat menggugah pembacanya serta menjelaskan mengapa dan bagaimana “sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas” dan bagaimana “eksekutif negara modern atau komite mengelola permasalahan umum dari keseluruhan borjuis”. Kelas borjuis mengeksploitasi kelas proletar yang menurut Marx menggali lubang bagi borjuis itu sendiri.  Kelas borjuis adalah mereka yang miliki alat-alat produksi dan memperoleh keuntungan kapital dan material dengan mengeksploitasi kelas pekerja atau proletar itu sendiri.  Marx dan Engles menyatakan akan muncul kelas pemerintah yang baru yaitu proletar.
Berkaitan dengan eksploitasi terhadap kelas pekerja oleh borjuis menurut Suhelmi akan menciptakan antagonisme kelas yang pada akhirnya akan melahirkan krisis revolusioner.] Situasi yang seperti ini membuat kelas pekerja menjadi kelas revolusioner yang menghendaki perubahan struktural, mengambil kekuasaan dengan paksa dan melakukan transformasi struktural sosial secara revolusioner.
Beberapa peron penting dari pemikiran Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis ini di antaranya adalah kemajuan pendapatan pajak dan bebas biaya pendidikan umum terlihat kurang mengejutkan bagi kita dibandingkan mereka. Namun penghapusan pemilikan tanah secara pribadi, kepemilikan negara terhadap alat-alat dasar produksi, dan penghapusan warisan adalah peninggalan pemikiran komunisme saat ini. Sehingga sebagai hasilnya adalah perbedaan kelas antara kelas borjuis dengan kelas pekerja akan hilang, politik juga akan hilang dan akhirnya semua akan memiliki persatuan di mana perkembangan untuk setiap orang juga menjadi kondisi dalam perkembangan semuanya. Dengan demikian, Marx dan Engels menggambarkan kelas pekerja di seluruh dunia menang dan bersatu.
Ketika karya mereka mulai jelas di Belgia, Marx juga harus menghadapi pengusiran dari pemerintah Belgia. Namun ketika ia kembali ke Paris ia merasa nyaman karena revolusi sedang berlangsung di Paris, sementara di tempat yang lain juga sedang berlangsung seperti Roma, Milan, Venice, Berlin, Vienna, dan Budapest seperti yang diprediksikannya sebelumnya. Marx mengatakan tidak ambil bagian dalam pembentukan revolusi di Jerman. Tahun-tahun ketika ia kembali ke Berlin ia mengungkit mengenai tulisannya yang pro terhadap kelas borjuis untuk mau mengikuti sarannya. Karena usahanya ini, ia dituduh melakukan penghasutan dan ia ditahan. Ia membuat pidato yang sangat kuat dan lama pada saat pengujiannya, yang akhirnya ia diputuskan bebas dari tuduhan penghasutan tersebut. Setelah diusir dari Prusia Juli 1849 salah satu tempat yang menjadi tujuannya adalah Inggris. Ia menghabiskan hidupnya dengan pinjaman dari Engles dan menghabiskan hari-harinya di ruang baca Museum Inggris, dan ia menghasilkan karyanya sebanyak 23 buku, bahkan karyanya yang terbesar yaitu Das Kapital tahun 1867 volume pertama.

Materialisme Sejarah dan Dialektika

Marx menyatakan dirinya bukanlah seorang Marxisme.Marx tidak pernah menyusun “sistem marxisme” secara lengkap.Sebagian besar pengikutnya telah melakukan hal tersebut. Sebagai contoh ia memberikan sangat sedikit perhatian secara langsung terhadap teori materialisme dialektis. Pengaruh Hegel dapat dilihat dalam semua karya Marx.Hal ini dapat dimengerti karena merupakan pengakuannya sendiri yang sejak masa mudanya telah mengakui dirinya sebagai Hegelian. Dialektika Marx datang atau diispirasi dari Hegel.
Mengenai dialektika terdapat perbedaan antara Hegel dan Marx. Dialektika adalah—baik menurut Hegel dan Marx—proses antagonisme tesis versus antithesis yang kemudian melahirkan sistesis. Proses dialektika Hegel terjadi dalam dunia gagasan atau ide, sementara Marx memandang proses dialektika itu terjadi dalam dunia material. Selain perbedaan objek pembicaraan filosofis juga terdapat perbedaan fungsi objek tersebut.Bagi Hegel fungsi objek filosofis selalu datang terlambat dan hanya untuk memahami dunia bukan untuk mengubah dunia.Sementara Marx memandang bahwa objek pembicaraan filosofis adalah untuk mengubah dunia.  Bagi Marx filosofis kelas adalah inti dari sejarah dan ia percaya bahwa filsafat sosial secara harfiah akan berhenti dan akan menjadi ilmu sosial yang deskriptif.
Beberapa yang menjadi materialis terkemuka dengan mengkritk Hegel yang idealis adalah Marx, Engels dan Ludwig Feuerbach. Feuerbach adalah Hegelian muda yang menyatakan bahwa Hegel tidak mengakhiri apa pun dari karyanya namun disarankan untuk memulainnya kembali. Ia menyatakan Hegel adalah orang yang sombong karena ia menolak filsafat dan aliran ketuhanan yang tradisional. Kritik Feuerbach ini bermanfaat bagi Marx dan Engels, namun Marx balik mengkritik Feuerbach karena kurang mengerti dialektika itu sendiri.
Pemikiran idealisme Hegel menyatakan bahwa gagasan adalah aktifitas pikiran yang bergantung pada keberadaan kesadaran. Singkatnya ia menyatakan bahwa kesadaran menentukan hidup bukan hidup yang menentukan kesadaran. Sementara ini berbeda dengan pemikiran Marx, yaitu hidup untuk berpikir atau hidup yang menentukan kesadaran.Marx berpikiran bila menggunakan mitologi belaka sebagai subjek, hal tersebut dapat mengaburkan dalam spekulasi akademik. Berdasarkan uraian ini, mengutip dari Sandersondialektika Marx adalah pertentangan langsung dari dialektika Hegel.

Teori Perkembangan Obyektif

Marx tidak menyangkal kapasitas manusia untuk berpikir, tetapi ia telah menemukan kekuatan ekonomi yang tak dikenal yang mempertajam kapasitas manusia tersebut. Marx berpendapat bahwa hubungan-hubungan resmi manusia dapat dipahami dari kondisi-kondisi material kehidupan telah berakar dalam kehidupan manusia, bukan berdasarkan kemajuan pemikiran mereka.Dalam produksi sosial, di mana orang-orang mengadakan kegiatannya, mereka masuk ke dalam hubungan yang lepas dari keinginannya.Hubungan-hubungan produksi ini dapat disamakan dengan tingkat perkembangan kekuatan-kekuatan produksi mereka. Jumlah total hubungan-hubungan produksi ini menyusun struktur ekonomi sosial sebagai fondasi yang sebenarnya dan pada akhirnya akan diikuti oleh superstruktur politik atau yang lainnya. Atau dengan kata lain model produksi atau kekuatan-kekuatan produksi material merupakan basis yang menentukan proses sosial, politik dan agama—yang merupakan superstruktur. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa yang penting dalam pemikiran Marx adalah hubungan-hubungan sosial sangat erat kaitannya dengan kekuatan-kekuatan produksi.
Dalam pembicaraan sejarah muncul dua sistem yang saling melengkapi yaitu konflik yang berlangsung secara lambat dan cepat.Pada tingkat perkembangan masyarakat tertentu, kontradiksi antara kekuatan-kekuatan produksi material dalam masyarakat dengan hubungan-hubungan produksi yang ada termanifestasi dalam bentuk konflik.Dalam bentuk perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, hubungan-hubungan produksi ini pada gilirannya menjadi belenggu yang akhirnya menjadi revolusi sosial.Pertentangan atau munculnya revolusi dalam kehidupan masyarakat bukanlah karena kesadaran pemikirannya tetapi karena pertentangan materi kehidupan.Pertentangan materi kehidupan ini mungkin dapat disamakan dengan kesenjangan ekonomi. Berdasarkan pertentangan materi kehidupan tersebut, Marx membagi beberapa beberapa periode sejarah, yaitu: ekonomi agrarian primitif, ekonomi perbudakan dunia kuno, ekonomi feudal, ekonomi borjuis, dan yang terakhir ekonomi sosialis. Perkembangan sejarah ini—yang berlangsung secara cepat atau lambat—dibuat oleh kemajuan zaman Pencerahan oleh kekuatan-kekuatan material yang tidak terkendali daripada inisiatif dan pemikiran manusia.  Perkembangan sejarah ini dapat dipertegas dengan analisis Marx, bahwa hubungan-hubungan produksi material atau keberadaan sosial seseoranglah yang menentukan kesadaran.
Marx dapat juga dikatakan memiliki ideologi yang potensi dan juga teori ideologi yang teliti. Dalam The German Ideology, ia dan Engels membandingkan cara melihat dunia dan cara kamera menangkap gambar dan merekamnya secara terbalik. Bagian dalam mata kita mencatat sekumpulan keyakinan-keyakinan yang menentukan tindakan dalam dunia material.Namun, “proses kehidupan aktual” adalah tindakan dalam dunia material yang menentukan sekumpulan keyakinan-keyakian.Komunisme adalah gerakan yang sebenarnya bukan berdasarkan kata-kata saja tetapi bertindak.
Walaupun Marx telah menempatkan ekonomi menjadi perhatian yang paling utama dalam asumsinya, ia tidak mengemukakan bukti bahwa ekonomi merupakan faktor yang lebih menentukan dibandingkan umur, nasionalisme, hubungan darah, curah hujan tiap tahunnya atau sejumlah “fundamental” lainnya yang tak terbatas. Metedologi pragmatisme empiris Marx memang telah menjadi kekuatan sekaligus kelemahannya.Sebagaimana diketahui bahwa konsep-konsep tentang kelas sosial dan pertarungan antar kelas dalam masyarakat modern adalah inti penemuan Marx  Menjadi kekuatan karena sarjana-sarjana tidak dapat dan tidak mengenyampingkan penemuan monumentalnya tersebut. Menjadi kelemahan karena hubungan kelas ekonomi dengan ideologi tidak pantas dianggap sebagai penyebab sejarah yang utama hingga penemuan monumental yang sama digunakan terhadap semua penyebab kemungkinan dari semua periode sejarah.
Sering dikatakan bahwa kegagalan Marx yang paling mencolok adalah tidak dapat menjelaskan posisi kelas yang dibelanya.Ia merupakan kelas menengah, sementara yang kelas yang dibelanya adalah kelas proletar. Kelas proletar atau pekerja adalah kaum yang tidak memiliki alat-alat dan bentuk-bentuk produksi seperti yang dimiliki kaum borjuis.Kaum pekerja hanyalah menjual tenaga kerja kepada kelas penindas hanya sekadar mereka untuk tetap bisa hidup. Marx bertindak sebagai orang yang berdiri di luar sistem, ia lebih tertarik pada kekuatan sosial berskala besar yang menggerakkan sejarah daripada kesadaran yang dilakukan seorang individu saja. Misalnya saja dalam tulisannya The Eighteenth Brumaire, ia menunjukkan sensitifnya mengenai hal tersebut. Dalam asumsinya, sejarah tidak digerakkan oleh tokoh-tokoh besar melainkan oleh massa rakyat yang banyak. Marx menempatkan dirinya menjadi orang luar dari kelas yang dibela sebagai komentator yang aktif, yang dapat melihat kepentingan kelas tersebut secara jelas.Ia mengatakan secara ilmiah ia dapat mengetahui dengan benar apa kepentingan atau keinginan kelas. Bauer dan Ruge memberikan kritik terhadap pernyataan Marx, mereka menyatakan bahwa hanya orang dalam kelas itu sendirilah yang mengerti kepentingan mereka, standar kelas atau kepentingan kelas.
Sementara Schumpeter mengatakan bahwa konsep kepentingan kelas Marx itu hampir senilai dengan interpretasi sejarah ekonomi itu sendiri. Tanpa kriteria kelas yang secara alamiah objektif akan sulit untuk ditetapkan bahwa kelas adalah motif fundamental dalam kekuatan sejarah. Teori perkembangan objektif sejarah Marx telah dirusak oleh faktor-faktor interpretasi subjektifnya.Jika konsep kelas menjadi kunci dalam interpretasi ekonomi, dan konsep kelas menjadi ambigu, maka kembali ke pertanyaan semula yaitu, mengapa ekonomi menjadi penting bagi Marx sendiri?Jawabnya adalah karena kapitalis telah membuat ekonomi begitu penting.Berdasarkan uraian ini, penulis berpendapat bahwa ketidakmampuan Marx menjelaskan mengapa ekonomi dan kelas begitu penting dalam sejarah manusia adalah hanya karena Marx sendiri ingin mengkritik para kapitalis yang telah mengutamakan ekonomi.

Kesimpulan

Sebagai teoretis sosial Marx juga dikenal sebagai tokoh propokatif dan berpengaruh.Pendirian fundamentalnya bahwa kelas adalah penentu utama dalam pemikiran atau sejarah umat manusia mendorong sarjana-sarjana untuk mencari penyebab sosial dalam keterangan yang baru. Kelas borjuis adalah target yang menjadi kritik Marx serta karakteristik kelas borjuis adalah kebenaran. Namun membagi masyarakat dengan hanya dua kelas tidaklah semudah itu.Sehingga Komunis yang sekarang juga dengan mudah mengikuti asumsi ini, masyarakat hanya terdiri dari dua kelas. Bila tidak memihak pada kelas yang satu maka ia merupakan lawan kelas tersebut. Idealnya komunisme adalah tanpa eksploitasi karena menurut Marx eksploitasi ini mengurangi makna kemanusiaan itu sendiri.Marx menginginkan masyarakat hidup harmonis tanpa ada perbedaan kelas, sebagaimana tujuan dilakukakannya revolusi.



                                                                                                             

Review Buku Wiliam Ebenstein “Isme Isme Dewasa Ini” Bagian Fasisme Totaliter

Oleh : Hasan Sadeli 
 


Latar belakang Sosial Fasisme

Fasisme adalah pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Ebenstein mencatat bahwa “jika komunisme adalah pemberontakan pertama terhadap liberalisme, maka fasisme adalah pemberontakan kedua”. Fasisme pertama kali berkembang di eropa, Italia adalah negara pelopor praktek ini pada tahun 1922, kemudian Jerman pada tahun 1933,  Spanyol (1939) dan Jepang di Asia pada 1930an. Dibelahan bumi bagian barat tepatnya di Argentina, kelahiran fasisme didahului oleh suatu pemberontakan opsir-opsir yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok kecil tuan-tuan tanah pada 1943 sehingga pemberontakan itu melahirkan kediktatoran fasis dibawah Jendral Peron. Hal- hal yang penting dalam penbentukan suatu karakter negara fasis adalah militer, birokrasi, prestise individu sang diktator dan yang  terpenting yakni dukungan massa. Semakin keras pola kepemimpinan suatu negara fasis, semakin besar pula dukungan yang didapatnya.

Munculnya fasisme dan komunisme disuatu negara disebabkan karena latar belakang sosial yang berbeda. Apabila komunisme adalah suatu sistem totaliter yang secara khas ada hubungannya dengan bangsa-bangsa yang melarat dan terbelakang, seperti Rusia di eropa dan Tiongkok di Asia, dengan struktur sosial feodalistik aristokratik dan semi agraris. Dalam masyarakat demikian, komunisme memiliki daya pikat terhadap kelas-kelas tertindas yang menganggap komunisme sebagai ideologi pemberi harapan akan masa depan yang lebih baik. Lain halnya dengan komunisme, fasisme adalah bentuk sistem totaliter yang secara khas tumbuh dikalangan bangsa-bangsa yang lebih berada dan secara teknologi lebih maju, seperti Jerman di eropa dan Jepang di asia. Dikatakan bahwa fasisme juga lahir dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi.

Kegagalan demokrasi disuatu negara dapat memberikan lahan subur bagi lahir dan berkembangnya fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbetuknya monopoli dibidang ekonomi, besarnya pengangguran baik dikalangan bawah seperti buruh, petani, atau kelas menengah cendikiawan, dan industrialis. Masyarakat luas menilai bahwa demokrasi hanyalah ilusi keadilan politik yang tidak dapat dijadikan standar nilai pada sistem ekonomi-politik yang lebih baik. kekecewaan itulah yang menyebabkan fasisme memperoleh basis legitimasi dan dukungan luas masa berbagai kalangan, seperti industrialis, buruh, petani, cendikiawan, dan perwira militer. Perkembangan industri yang cukup maju menjadi sarat lain perkembangan fasisme. Propaganda dan teror fasis memerlukan pengetahuan teknologi dan sekaligus sebagai suatu sistem mobilisasi permanen untuk perang.

Karenanya, Fasisme tidak akan mencapai keberhasilan tanpa modal industrialisasi dan kemajuan teknologi. Dilain sisi, masalah yang ditimbulkan dari industrialisasi ialah ketegangan-ketegangan sosial dan ekonomi. jika masyarakat liberal mengakui adanya keseragaman kepentingan ekonomi serta dampak yang ditimbulkannya, sehingga cara penyelesaiannya berangsur-angsur dengan cara damai. Sedangkan fasis menyangkal adanya diferensiasi dari kepentingan-kepentingan sosial, dan kalaupun ada maka penyelesaiannyapun dengan cara kekerasan dalam melenyapkannya. Itu sebabnya, fasisme adalah cara totaliter untuk menyelesaikan konflik-konflik dalam suatu masyarakat yang telah maju industrinya. Dalam hubungan latarbelakang sosialnya, dinegara dengan tradisi demokrasi yang lemah fasisme memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan industrialis, dan tuan-tuan tanah, yang bersedia menyokong dana bagi gerakan fasis agar kepentingannya tidak terganggu oleh serikat-serikat buruh bebas yang dianggapnya menghambat proses produksi dalam industri. Sementara itu, bagi negara dengan konsep liberal, adalah perbuatan tidak bijak apabila membiayai kegiatan fasis. 

Meskipun fasisme bukan merupakan akibat langsung dari depresi ekonomi, sebagaimana teori marxis, tetapi jelas kaum fasis memanfaatkan hal itu. Banyaknya angka pengangguran akibat depresi, melahirkan kelompok yang secara psikologis menganggap dirinya tidak berguna dan karena merasa diabaikan. Saat hal ini terjadi, maka fasisme bekerja dengan memulihkan harga diri mereka, menunjukkan bahwa mereka adalah ras unggul sehingga mereka merasa dimiliki. Dengan modal inilah, maka fasisme juga memperoleh dukungan dari rakyat lapisan bawah. Dengan demikian, fasisme bekerja pada setiap lapisan masyarakat. Fasisme memanfaatkan secara psikologis kesamaan-kesamaan pokok yang ada seperti: frustasi, kemarahan dan perasaan tak aman. Itu sebabnya fasisme menembus semua kelompok sosial seperti kalangan industrialis, tuan-tuan tanah, kalangan menengah, pengangguran, dan lain-lain. Semua kalangan yang menganggap fasis sebuah harapan agar kepentingannya terjaga memiliki alasan masing-masing, itu merupakan ekses langsung dari prinsip propaganda fasis seperti yang terjadi di Jerman. Partai Nazi misalnya, dalam waktu kurang dari 15 tahun menjadi kekuatan monor satu di Jerman yang terdiri dari banyak golongan.

Dasar-dasar Psikologi Sistem Totaliter

Fasisme dapat ditelusuri sebagai sebuah konsep yang erat kaitannya dengan tradisi-tradisi sosial di suatu bangsa. Di Jerman, Jepang dan Italia, tradisi otoritarianisme sudah menjadi hal yang terjadi berabad-abad. Sehingga munculnya rezim fasis merupakan hal yang biasa. Dengan cara hidup otoriter maka jalan menuju otorianisme hanya menunggu waktunya saja. Munculnya kediktatoran secara politik, ditandai dengan “munculnya pemimpin yang menggebu-gebu meraih kekuasaan dan memiliki hasrat yang kuat untuk mendominasi”. Mengingat dinegara-negara tersebut yang berpengaruh adalah tradisi otoriter, sedangkan demokrasi masih merupakan tanaman yang mudah patah.

Pertautan antara seorang diktator dan fasisme juga dipengaruhi iklim suatu masyarakat. Ada kalanya iklim suatu negara lebih mudah menerima kediktatoran dibandingkan dengan negara lainnya. Jerman, Italia dan jepang mungkin adalah tipikal negara demikian. Karena adanya gerakan masa otoriter seperti fasisme adalah justru tergantung dari keinginan mayoritas untuk patuh dan menerima. Hal ini tentunya tidak dapat diamati dari sudut pandang rasionalitas. Dinegara liberal akan menganggap bahwa hal itu bukan sikap dewasa, karena lebih menuruti perintah dari pada harus bertanggungjawab mengambil keputusan-keputusan sendiri. Fasisme diibaratkan hubungan psikologis anak dan orangtuanya, anak yang patuh akan merasa terlindungi karena adanya tempat bernaung.

Karakteristik fasisme yang mampu menyesuaikan diri dengan praktek kuno yang sudah ada menjadi nilai lebih bagi ideologi ini untuk menegaskan hegemoni. Mementingkan status dan kekuatan pengaruh, kesetiaan kelompok, kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta. Hal ini menyatu dalam membentuk karakter fasis. Sehingga sebagai suatu kesatuan, mereka hanya patuh terhadap perintah tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimananya. Fasisme memiliki strategi tersendiri dalam upaya mempertahankan sistem kesatuannya, salah satunya menciptakan musuh-musuh dengan sengaja baik yang nyata maupun imajiner. Mereka mengkambinghitamkan pihak-pihak yang dianggapnya suatu ancaman yang harus dienyahkan. Sekali lagi, praktek-praktek tersebut nampak di Jerman sebagai negara pemimpin fasis pada saat itu. Jerman memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya. Memusuhi kaum komunis maupun liberalis-kapital, karena mereka bukan bangsa arya atau indo-jerman.

            Sifat imperialis tidak lain ialah penegasan terhadap apa saja yang memusuhi gerakan fasis atau strategi bagi kediktatoran. Meskipun seorang diktator sering mengucapkan bahwa ia dicintai oleh mayoritas rakyatnya, tapi ia juga menyadari bahwa ada saja pihak-pihak terutama dari dalam yang membenci dan memusuhi secara diam-diam. Cara yang dilakukan oleh diktator dalam mengatasinya ialah dengan menunjukan agresi terhadap musuh-musuhnya baik yang imajiner maupun yang nyata seperti pembersihan yahudi, invasi kenegara-negara di eropa dan seterusnya. Dengan begitu, elemen dari rakyat yang menyimpan rasa dendamnya akan berfikir duakali untuk menentang rezim yang dibencinya itu, bahkan akhirnya kediktatoran menyeretnya kedalam permasalahan saat terdesak oleh musuh-musuh baru seperti saat AS, Inggris dan lainnya menyerang, maka rakyat baik yang suka maupun tidak akan ikut hancur.

Doktrin Politik Fasisme

 Berbeda dengan komunisme, fasisme tidak memiliki landasan prinsipil yang baku atau mengikat perihal ajarannya. Apalagi dewasa ini dapat dipastikan, bahwa fasisme tidak memiliki organisasi yang menyatukan berbagai prinsip fasis yang bersifat universal. Meski demikian, tidak berarti fasisme tidak memiliki ajaran. Setidaknya para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampf, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat.  Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur:
Pertama, tidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatik adalah suatu hal yang benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran terhadap derajat kemanusiaan.  Bagi fasisme manusia tidaklah sama, hal itu menjadi dasar idealisme mereka. Lebih lanjut fasisme memandang, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dibasmi. Dalam pendidikan mental, mereka melakukan indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Tiap individu akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih mengetahui keinginan seluruh anggota masyarakatnya.  Kalaupun ada perbedaan pendapat sudah pasti yang berlaku ialah pendapat kelompok elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total dalam menepikan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada 3 urusan mendasar seperti mengurus anak-anak, bekerja didapur dan beribadah kegereja. Fasisme menerapkan peraturan dengan ketat. Apabila ada sipenentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Semangat imperialisme akan lahir dengan sendirinya.
Ketujuh, fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Kontradiksi mengenai ketertiban dan kesejajaran dunia Internsional dengan fasisme yang mengingkari persamaan. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia.

Ekonomi Fasis

Ebenstein menjelaskan praktek dari ekonomi fasis memiliki ciri negara korporasi. Dalam pemahaman ini, negara berkuasa untuk menata dan mengawasi sistem perekonomian yang terdiri dari asosiasi-asosiasi modal dan tenaga kerja, dimana tenaga kerja diawasi dan asosiasi mendapatkan monopolinya. Dengan demikian negar berfunsi sebagai kelompok penengah. Ada dua asumsi yang mendasari filsafat negara korporasi. Pertama, masyarakat biasa tidak boleh memikirkan hal-hal yang bersifat politik. Mereka hanya berhak menjalankan tugasnya sendiri-sendiri. Kedua, golongan elitlah yang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami masalah seluruh anggota masyarakat.
Namun demokrasi melihat bahwa aspek ekonomi dan politik adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Selain itu tidaklah mungkin para penguasa menggantikan “perasaan’ masyarakat yang dikuasai, lebih-lebih adanya prinsip kelas unggul di dalam masyarakat. Bagi kaum fasis sendiri, Italia misalnya, negara  korporasi bukanlah suatu respons atas kapitalisme maupun sosialisme liberal. Melainkan adalah suatu solusi kreatif dalam memikirkan kemakmuran ekonomi. Namun demikian, bagaimanapun fasisme yang totaliter tidak pernah mengizinkan persaingan bebas. Negara harus menunjukkan kuasanya diatas kepentingan atau unsur apapun. Pada akhirnya, negara korporasi fasis terbukti kebangkrutannya. Saat Italia mulai dikalahkan oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II, maka kepercayaan terhadap Il Duce juga memudar. Akhirnya, Mussolini harus merasakan hukuman mati dari rakyatnya sendiri. Sistem yang demikian dipraktekan dinegara fasis cenderung dipaksakan, karena bagaimana mungkin pandangan kaum elite yang berbeda pengalaman dan realitas dapat merasakan apa yang dialami oleh yang dikuasainya.  

Kesimpulan

Fasisme lahir dari situasi politik dan ekonomi yang rapuh terutama pasca perang Dunia I. Negara-negara pemimpin ideologi demokrasi macam Inggris sebelum dipimpin Churcil tidak reaktif terhadap tindakan brutal fasis Jerman. Fasisme tumbuh seiring dengan kuatnya keinginan individu-individu untuk keluar dari krisis serta menyalahkan sistem terdahulu yang dianggap gagal. Jerman adalah model totaliter fasis yang kerap dijadikan contoh mengingat besarnya pengaruh serta efek yang ditimbulkan oleh fasis di jerman pada saat Hitler memimpin Nazi. Kelahiran fasis sebagai reaksi atas keresahan, kesenjangan dan rasa takut akan tiadanya harapan perbaikan dikemudian hari.

Krisis pada akhirnya melahirkan skeptisme dikalangan bawah terhadap akseptabilitas dan kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi politik Jerman saat itu. Dalam situasi ini, kehidupan sosial menjadi sangat rentan dan fasisme muncul dengan propaganda-propaganda yang menawarkan harapan. Sungguhpun jerman dijadikan contoh petualangan fasisme yang paling populer, namun nasibnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Italia. Harapan yang bersifat mesianistik memudarkan pandangan kelas menengah dan bawah akan pentingnya menggunakan nalar dan mengatasi masa-masa sulit secara berangsur-angsur. Dalam konteks demikian, maka sangat mungkin fasisme mendapatkan medianya untuk tumbuh

Merebut Ruang Kota “Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an”. CV Marjin Kiri. 2013. Karya purnawan Basundoro.

oleh : hasan sadeli 



Pendahuluan

Pada awal 1970an, dalam rangka pembuatan film berjudul marabunta yang berlokasi di Kota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian dikuburan yang angker. Kru film memutuskan untuk memakai makam Kembang Kuning yang notabene makan terbesar disurabaya, makam yang terletak dibagian barat surabaya ini diperuntukan bagi orang eropa, cina, dan pribumi. Alih-alih mendapatkan suasana sepi dan angker, mereka justru ditonton oleh para penghuni komplek pemakaman kembang kuning. Manusia-manusia yang menonton pengambilan gambar untuk film itu ialah kelompok penduduk miskin kota yang tersisih dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di kota surabaya. Ketika mereka tidak mampu melawan orang yang hidup, maka jalan satu-satunya adalah dengan mengalahkan orang yang mati, yang dalam pikiran rasional tidak mungkin melakukan perlawanan. Ini adalah salah satu dari beberapa realita tentang perebutan ruang dikota yang sudah melembaga dengan keras.

Konsep perebutan ruang kota seperti yang dikemukakan oleh Dieter , melihat kota sebagai ruang yang sudah dibagi-bagi kedalam bidang kecil yang masing-masing sudah diakui oleh individu maupun kelompok.  Perubahan struktur diperkotaan melahirkan transplosi, yakni suatu perluasan mendadak dari masyarakat kota. Transplosi mendorong terciptanya kompetisi untuk mendapatkan tempat tinggal. Konsentrasi penduduk dikota-kota besar di negara-negara dunia ketiga sejak awal abad ke 20 sanaga tinggi, seiring dengan pertumbuhan kota tersebut menjadi kota industri. sayangnya, pertumbuhan penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan industrialisasi. Para ahli menyebut fenomena tersebut dengan pseudo urbanisasi atau urbanisasi semu. Kondisi semacam itu pada gilirannya melahirkan pengangguran, setengah pengangguran, dan pekerjaan keliru. Mereka ialah orang-orang miskin yang menjadi beban kota tersebut, lahirnya orang-orang miskin diperkotaan dan terbatasnya ruang kota hanya memunculkan problem baru menyangkut ketersediaan ruang hidup untuk mereka. Eksistensi rakyat miskin dikota merupakan paradoks kota, karena disisi lain kota dianggap menghasilkan peradaban, namun ternyata masih juga memproduksi kekumuhan, bibit anarkisme, dan seterusnya.

Liberalisasi ekonomi

Dalam kasus kota-kota di Indonesia, berbagai kebijakan yang memiliki muatan untuk membagi ruang secara fisik hanya diberlakukan dipedesaan, karena konteks pembagian ruang tersebut lebih bersifat agraris. Paradoks kota mulai mengemuka saat liberlisasi ekonomi mulai menggejala diperkotaan, liberalisasi ekonomi negara didunia ketiga tidak dapat dipisahkan dengan sejarah imperialisme dan kolonialisme barat. Eksploitasi kolonial telah menyebabkan kota kota dianggap sebagai bagian dari alat untuk mendatangkan keuntungan. Modernisasi dikota-kota merupakan upaya penjajah untuk mencari keuntungan melalui industrialisasi dan perdagangan. Kota-kota di pulau jawa pada awal abad 20 mulai mengalami berbagai persoalan ketika terjadi perubahan yang amat drastis dari kota tradisional ke kota kolonial. Liberalisasi ekonomi pasca diundangkannya UU Agraria dan Gula pada tahun 1870 telah meningkatkan perdagangan dan industri, sehingga meningkatkan jumlah penduduk dikota.

Melonjaknya orang-orang eropa yang menetap dikota-kota Indonesia merupakan faktor penentu lahirnya modernisasi kota di Indonesia. orang dari desa berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih menjanjikan sebagai akibat dari kemiskinan di pedesaan, sekaligus melahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaum pendatang. Perubahan drastis terjadi saat indonesia mengalami masa peperangan terutama pasca proklamasi kemerdekaan, seperti ketika kota Surabaya di serang sekutu pada Oktober dan November 1945. Perang besar ini telah menyebabkan ribuan penduduk termasuk pemerintah kota dan provinsi harus menyelamatkan diri kedaerah yang lebih aman diluar kota. Ketika perang usai, gerakan untuk masuk ke kota berlangsung kembali, bahkan dalam jumlah yang lebih besar dibanding saat penduduk kota keluar untuk mengungsi. Sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan, baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut.

Pada awal abad ke 20, para perancang kota bahkan merancang dan mengangankan kota Batavia hanya untuk 900 ribu orang saja. Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggal dikota mengindikasikan, bahwa kota pada masa kolonial dirancang untuk kepentingan kolonial dan komunitas barat, bukan untuk kepentingan penduduk secara umum. Akibat yang ditimbulkan ialah masalah pemukiman, terutama ketika arus perpindahan besar dari desa ke kota berlangsung. Lahirlah pemukiman-pemukiman kumuh, mengingat para pendatang yang tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah yang memadai, dan sebagian lainnya bahkan harus rela hidup tanpa pemikiman sama sekali. hal-hal tersebut melahirkan problem-problem yang lebih luas, mencakup banyak dimensi, yang oleh Hernando De Soto bersifat Informal. Dari sisi sisitem perekonomian wujud informal tersebut antaralain, pedagang asongan, pemulung, pedagang kakai lima, dsb. Pemukiman miskin juga menghasilkan transportasi  bersifat informal seperti tukang becak, tukang ojeg, taksi gelap, dsb. Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informal diperkotaan mengindikasikan bahwa sistem yang ada tidak dirancang untuk menerima para pendatang dalam skala besar karena ruang yang terbatas.

Perebutan Ruang Kota Di Surabaya

Pada 1960, kota surabaya ditetapkan sebagai gemeente, berdasarkan Staatsblad Nomor 149 tanggal 1 april 1906. Yang merupakan implementasi dari undang-undang desentralisasi de wt houdende decentralitatie van het bestuur in Negderlands-Indie yang disahkan pada 23 juli 1903. Status baru tersebut menetapkan kota surabaya sebagai sebuah pemerintahan otonom dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat. Di surabaya, status penduduk yang tinggal ditanah partikelir adalah sebagai kawula dari para tuan tanah, yang tidak memiliki hak atas tanah yang mereka tempati. Sewaktu-waktu mereka bisa saja diusir. Sejak 1910, kasus pengusiran penduduk yang tinggal diatas tanah partikelir telah menjadi isu sentral dikota Surabaya yang kemudian memicu aksi protes besar-besaran penduduk Bumiputra pada 1915. Pasca pengakuan kedaulatan oleh belanda, terutama ketika belanda mengingkari masalah Irian Barat di KMB memunculkan sentimen masyarakat terhadap oarang-orang eropa, kebencian tersebut diekspresikan dengan berbagai cara, penduduk eropa merasa takut dan gelombang pemulanagn orang-orang belanda meningkat. Pemulangan itu dilakuakan oleh pemerintah Indonesia, sehingga mengurangi penduduk eropa dikota tersebut, namun pada saat yang sama justru gelombang penduduk berdatangan kesurabaya tak tertahankan dari luar kota.

Perebutan ruang-ruang privat di surabaya terjadi secara sistematis. Para penduduk yang tinggal diatas tanah pertikelir yang sejak tahun 1916 telah melayangkan protes dan perlawanan-perlawanan. Sidang yang dimenangkan oleh penduduk dipengadilan atas gugatan terhadap para tuan tanah yang merugikan mereka. Para penduduk berani melakukan gugatan karena diantaranya mereka didukung oleh Sarekat Islam  pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Persengketaan antara penduduk yang menempati tanah partikelir dengan tuan tanah terus berlangsung, perlawanan tersebut dilakuakn salah satunya dengan tidak membayar pajak sampai lima tahun yang secara hukum kadaluarsa sehingga tidakbisa ditagih.

Dijelaskan bahwa dikuasainya tanah-tanah partikelir secara privat oleh para tuan tanah menjadi kondisi penting dari perlawanan rakyat miskin di Surabaya. Penguasaan tanah-tanah partikelir oleh segelinitir orang telah menciptakan ‘negara dalam negara,’ karena para pemilik tanah partikelir diperbolehkan membuat sistem dan aturan sendiri yang disebut dengan hak pertuanan.Tanah partikelir sendiri terbagi menjadi dua, yakni tanah landerijen yang ditujukan untuk perkebunan, serta tanah merdekan yang diberikan kepada kampung atau desa tertentu karena memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu.Pada bagian ini, Basundoro menjelaskan dengan rinci batas-batas dari masing-masing kepemilikan tanah partikelir ini.
Para penghuni yang tinggal di atas tanah partikelir secara perlahan mulai digusur dan dengan demikian, mulai melakukan perlawanan atasnya.Gerakan perlawanan ini datang bersamaan dengan munculnya kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat bumiputera.Hal ini menjadi pendorong kuat perjuangan dan perlawanan masyarakat dalam merebut ruang untuk bermukim sebagai hak dasar mereka. Perlawanan dan perebutan ruang dengan cara pendudukan ini dipimpin oleh beberapa tokoh dari Serikat Islam, salah satu partai politik progresif pada masa itu, yakni Prawirodiharjo dan Pak Siti alias Sadikin. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung untuk mempropagandakan perlawanan.Tuan tanah ketakutan dan perlawanan tidak bisa dihentikan oleh polisi maupun pemerintah setempat.Mereka pun menggugat dan sidang Landraad memenangkan guagatan mereka.Namun, para penghuni tanah pertikelir menggugat balik dan memenangkan gugatan balik tersebut.

Gerakan para penghuni tanah partikelir ini menjadi gerakan perjuangan rakyat Surabaya terbesar di awal abad ke-20, yang ditandai dengan luasnya pemberitaan mengenai gerakan ini di berbagai harian pada saat itu, seperti Oetoesan Hindia.Gugatan hukum yang telah dimenangkan tak membuat penggusuran atas para penghuni tanah-tanah partikelir berhenti dilakukan.Rakyat miskin terus terusir dari tempat yang telah mereka tinggali selama puluhan tahun.Kondisi mereka tinggal sangat mengenaskan dan rumah-rumah kumuh mereka yang berdiri di tengah Kota Surabaya menjadi ironi tersendiri. Di sisi lain, gemeente seringkali berpihak kepada para pemilik tanah partikelir dan memilih berhadap-hadapan dengan bumiputera.

Penguasaan Ruang Publik oleh Rakyat Miskin,’ Basundoro menjelaskan ruang-ruang publik seperti jalan, trotoar, hingga makam yang diambil alih dan dijadikan ruang privat, termasuk tempat tinggal dan tempat berjualan. Sambil menunjukkan berbagai arsip primer berupa foto, Basundoro menunjukkan bahwa keberadaan rumah-rumah semi permanen di pinggir jalan merupakan kondisi yang umum ditemui di Kota Surabaya pada tahun 1930-an. Selain itu, rumah-rumah gubuk yang menempel di rumah orang lain, hingga pemakaman yang dijadikan tempat tinggal, merupakan kondisi yang umum ditemui di Surabaya pada waktu itu. Sementara itu, kontrol gemeente sebagai pemerintah kota yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial, terhadap pemukiman-pemukiman liar yang dibangun di jalan, dan bahkan di makam pada saat itu, ditunjukkan dengan adanya penertiban-penertiban. Kondisi kota yang bersih dari pemukiman-pemukiman rakyat miskin yang kumuh, seperti yang kita rasakan hingga kini, merupakan kehendak dari gemeente pada waktu itu.

Kesimpulan

Apa yang terjadi di Kota Surabaya pada tahun-tahun 1900-1960 tersebut merupakan gambaran penting atas apa yang terjadi pada rakyat miskin di berbagai kota di Indonesia. Kepemilikan tanah secara privat dan tindakan-tindakan eksploitatif oleh segelintir orang, menjadi penyebab utama tergusurnya rakyat miskin dari masa ke masa yang masih terus terjadi. Kita dapat membandingkannya dengan masa sekarang, dimana rakyat miskin tersingkir dari ruang-ruang kota dan hanya mendapat sedikit tempat, sementara kelas atas menguasai tanah yang luas dan selalu mendapat perlindungan dari pemerintah. Pemerintah kota yang kita lihat sekarang ini, yang menghendaki kota yang bersih dari pemukiman-pemukiman liar yang kumuh pun, merupakan kelanjutan gemeente pada awal abad ke-20.

Seperti yang diutarakan tadi, terbatasnya ruang kota membawa konsekuensi bahwa penggunaan ruang yang berlangsung secara terus menerus akan melibatkan ketegangan diantara sejumlah kelompok kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baik oleh perorangan maupun kelompok tertentu. Oleh karena itu, konflik yang menyangkut penggunaan suatu lokasi tertentu dapat timbul dengan mudah. Pemukiman adalah kebutuhan bersifat primer, maka dalam konteks ini, masyarakat miskin dikota harus siap bersaing untuk mendaptkannya. Salah satu kota di Indonesia yang menjadi ajang perebutan ruang yang masif adalah kota Surabaya.

Faktanya memang pada akhir abad ke-19 Surabaya telah menjadi kota terbesar di Indonesia dengan pusat perekonomian yang dinamis. Sebuah catatan perjalanan yang dibuat oleh seorang warga asal semarang ketika berkunjung ke surabaya menyebutkan bahwa surabaya merupakan kota tercantik di Hindia Belanda, namun ia menyayangkan bahwa dibanyak tempat banyak orang-orang miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal, mereka membangun rumah manakala matahari tenggelam dan membongkarnya lagi saat matahari terbit.