Wednesday 23 September 2015

Jalan sunyi demokrasi

oleh : Hasan Sadeli

Manusia dewasa ini jarang memandang hal yang penting sebagai hal utama. Mereka umumnya melihat yang justru tidak penting sebagai hal yang wajib, termasuk dalam menggunakan sudut pandang. kalau sudut pandangnya yang keliru ini masih  dianggap wajar, namun apabila cara pandang yang ia pilih sudah dianggap final dengan terlebih dahulu memverifikasi berbagai sudut pandang, maka ini yang justru luar biasa.  Keluarbiasaan inilah yang sudah dicapai oleh kebanyak orang saat ini, mereka merasa sudah mampu merancang metode verifikasi dengan kekuatan pikiran yang diyakini paling objektif berlandaskan pada budaya formal kunstitusional lewat UUD, PERPRES, PERGUB, PERBUP, PERDA dan Perdes sekalipun.

Sebenarnya semua itu sah-sah saja, menggunakan penilaian tentang realitas melalui pijakan ilmu budaya bisa, sudut pandang hukum bisa, moral bisa, apapun saja bisa. Hanya saja adakah kita tahu bahwa aspek-aspek tadi sudah benar-benar kita fahami, tidak usah secara komprehensif, minimal mengerti batas-batas bahwa ini soal politik, itu soal budaya, lainnya soal hukum. Sebab, ini soal epistemologi yang terus kita abaikan, akhirnya semua jadi campuraduk tidak karuan. Kalau kita meneruskan kebiasaan ini sebagai hal yang wajar atau lebih parah lagi menganggapnya sebagai dinamika kebudayaan masyarakat demokrasi, lantas dimana letak akal dalam ruang demokrasi? Pernahkah kita bertanya tentang bagaimana bisa demokrasi yang dikenal menjunjung keterbukaan dan kebebasan justru pada realitasnya melahirkan pengekangan pikiran? Misalnya gini, sudah tahu pemilu hanya melahirkan yang itu-itu saja, tetap saja kita selenggarakan.

Akan tetapi demokrasi punya teaternya sendiri, entah itu lewat pemilihan umum, kebebasan pers, kebebasan berpendapat, mengupayakan tegaknya supremasi hukum, mengupayakan peningkatkan kesejahteraan dan sekontainer misi mulia lainnya. Demokrasi memang luar biasa hebat, mampu memikul beban itu sendirian. Saya benar-benar salut, sebuah keberanian yang belum tentu mampu diemban oleh siapapun juga, god bless you democracy. Perkenalan pertama yang mengagumkan, setidaknya itulah kesan yang membekas, kini muncul kerinduan, rasanya sudah lama kita meninggalkannya (si demokrasi) dan mempercayakan sepenuhnya urusan bangsa dan negara ini padanya. Saya yang kecil ini merasa rindu untuk bertemu dengannya, mula-mula saya ingin bertanya kabar, apakah ia baik-baik saja atau malah sedang tidak enak badan, apakah masih percaya diri untuk mengurusi negeri ini, atau sudah mulai minder, tapi bodohnya saya ini, demokrasi bukanlah manusia, ia abstraksi pemikiran (sudah pemikiran abstrak lagi).  

Malangnya bangsa ini, menyerahkan begitu banyak urusan yang mestinya diurusi oleh otentisitas keberadaan manusia kepada sesuatu yang abstrak keberadaanya. Lebih malang lagi kalau ternyata disaat yang sama kita terlambat tahu, apakah saat ini si demokrasi sedang meratapi kebodohannya dahulu saat menawarkan kesanggupannya sedemikian rupa untuk mengurus bangsa ini, atau malah dia sedang menertawakan kita. Entahlah, hanya tuhan dan si demokrasi sendiri yang mengetahuinya. Tapi saya enggan untuk membawa-bawa tuhan pada perkara ini, bukan karena saya sekuler atau ateis, tolong  jangan puritan,dulu, sebab ini konsensus antara kita dengan si demokrasi, dan sejauh keyakinan kita (kalau saya terlalu subjektif) saat konsensus itu dilakukan adakah kita melibatkan tuhan? jangankan tuhan, ulama-ulama saja seperti santai-santai begitu (jika tidak ingin mengatakan tidak ngeh).

Awalnya saya tidak ingin begitu banyak membicarakan si demokrasi, namun karena ia bukan manusia, ya to be continue saja. Tentang si demokrasi ini, saya (yang polos) pernah bertanya kepada salah satu katakanlah senior saya di organisasi, apa bedanya demokrasi dengan musyawarah? Senior saya mengumpamakan demokrasi dengan kisah lima orang sahabat yang hendak bepergian ke suatu daerah yang sama, mereka berselisih pendapat, yang dua ingin lewat rute A, yang tiga ingin lewat rute B, dengan asumsi masing-masing, tapi karena yang ingin lewat rute B ini tiga orang, maka yang memilih jalur A mengalah dan ikut jalur B. Lalu musyawarah mufakat diumpamakannya dengan kisah yang sama, tapi saya aransemen sedikit, yang tiga orang ingin lewat rute A, sedangkan yang dua orang ingin lewat rute B, akhirnya diputuskan yang tiga orang tetap melewati rute A, sedang yang dua orang lewat rute B, mereka berlima melalui jalan yang berbeda namun dengan tujuan yang sama.

Demikian perumpamaan singkat mengenai  demokrasi dan musyawarah, semestinya diuraikan diferensiasi antara keduanya, mulai dari etimologi, terminologi, latar historis, sampai aplikasi sosial. Namun karena perumpamaan tadi dirasa mewakili simplifikasi dari keduanya, maka saya tidak merasa perlu untuk mengurainya lebih jauh, selain karena perbedaan keduanya sangatlah sederhana, perumpamaan tadi juga dimaksudkan untuk memperjelas keyakinan tentang kenyataan bahwa kemampuan berfikir pembaca yang budiman jauh diatas saya yang tidak ada apa-apanya ini. Demikianlah perbedaan ditakdirkan ada, sementara praktek demokrasi menjamin persamaan dihampir banyak bidang, demokrasi bahkan menopang kompleksitas ilmu yang cakupannya lebih luas, hal itu tersebut terbukti dengan realitas bahwa demokrasi merupakan pemenang dari semua ideologi yang pernah ada.

Didunia ini terdapat beberapa ideologi yang dalam sejarahnya berbeda satu sama lain dengan demokrasi, seperti sosialisme misalnya dari filsafat ekonomi populer marx dan engels yang kelak menginspirasi kelahiran komunisme sebagai wacana filsafat politik guna mengaplikasikannya kedalam sebuah negara.  Pertentangan dua ideologi besar tersebut mencapai puncaknya saat terjadi perang dingin yang memakan waktu hampir empat dasawarsa. Dalam hal ini, tidak usah dibahas panjang lebar karena semua tahu siapa yang “memimpin” dunia saat ini.  

Demokrasi sendiri memiliki beberapa bentuk, paling tidak itulah yang pernah diterapkan di Indonesia, misalnya demokrasi terpimpin saat era Presiden Soekarno yang meruncingkan perbedaan pendapat dengan Bung Hatta dalam memandang konsep demokrasi. Hatta sepertinya memegang falsafah “lain ufuk lain belalang” , bahwa popularitas demokrasi lahir dan berkembang di barat, namun tidak kemudian diadopsi 100% sebab ada perbedaan budaya yang membatasi. Dalam hal ini pandangan Hatta dapat kita lacak dari karyanya berjudul “demokrasi kita” yang  menunjukan betapa hatta memberi ruang interpretasi sosiologis dalam penterapan sistem demokrasi di Indonesia.  

 Demokrasi sebagai primadona akhirnya jarang dikritisi oleh sebagaian besar manusia, tidak terkecuali masyarakat di Indonesia. Mereka yang tergolong rakyat biasa, pegawai swasta, pejabat pemerintahan, punya teriakan yang sama dalam menjunjung demokrasi. Demokrasi ialah produk kebudayaan, dan setiap kebudayaan mempunyai strukturnya sendiri. Saya melihat bahwa demokrasi memiliki struktur yang mapan sedemikian rupa, orang di semua level menganggap demokrasi sebagai hal yang pantas untuk dipertahankan. Masalahnya ialah demokrasi melahirkan pemikiran yang sangat strukturalis, mulai dari falsafah hingga sistemnya terlihat lebih menitikberatkan pada peran dan berjalannya sistem kebudayaan; bukan pada kesadaran dan kecerdasan manusia sebagai subjeknya. 


            

No comments:

Post a Comment