oleh : Hasan Sadeli
Manusia
dewasa ini jarang memandang hal yang penting sebagai hal utama. Mereka umumnya
melihat yang justru tidak penting sebagai hal yang wajib, termasuk dalam
menggunakan sudut pandang. kalau sudut pandangnya yang keliru ini masih dianggap wajar, namun apabila cara pandang
yang ia pilih sudah dianggap final dengan terlebih dahulu memverifikasi berbagai
sudut pandang, maka ini yang justru luar biasa.
Keluarbiasaan inilah yang sudah dicapai oleh kebanyak orang saat ini,
mereka merasa sudah mampu merancang metode verifikasi dengan kekuatan pikiran
yang diyakini paling objektif berlandaskan pada budaya formal kunstitusional
lewat UUD, PERPRES, PERGUB, PERBUP, PERDA dan Perdes sekalipun.
Sebenarnya
semua itu sah-sah saja, menggunakan penilaian tentang realitas melalui pijakan ilmu
budaya bisa, sudut pandang hukum bisa, moral bisa, apapun saja bisa. Hanya saja
adakah kita tahu bahwa aspek-aspek tadi sudah benar-benar kita fahami, tidak
usah secara komprehensif, minimal mengerti batas-batas bahwa ini soal politik,
itu soal budaya, lainnya soal hukum. Sebab, ini soal epistemologi yang terus
kita abaikan, akhirnya semua jadi campuraduk tidak karuan. Kalau kita
meneruskan kebiasaan ini sebagai hal yang wajar atau lebih parah lagi
menganggapnya sebagai dinamika kebudayaan masyarakat demokrasi, lantas dimana
letak akal dalam ruang demokrasi? Pernahkah kita bertanya tentang bagaimana
bisa demokrasi yang dikenal menjunjung keterbukaan dan kebebasan justru pada
realitasnya melahirkan pengekangan pikiran? Misalnya gini, sudah tahu pemilu
hanya melahirkan yang itu-itu saja, tetap saja kita selenggarakan.
Akan
tetapi demokrasi punya teaternya sendiri, entah itu lewat pemilihan umum,
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, mengupayakan tegaknya supremasi hukum,
mengupayakan peningkatkan kesejahteraan dan sekontainer misi mulia lainnya. Demokrasi
memang luar biasa hebat, mampu memikul beban itu sendirian. Saya benar-benar
salut, sebuah keberanian yang belum tentu mampu diemban oleh siapapun juga, god bless you democracy. Perkenalan
pertama yang mengagumkan, setidaknya itulah kesan yang membekas, kini muncul
kerinduan, rasanya sudah lama kita meninggalkannya (si demokrasi) dan
mempercayakan sepenuhnya urusan bangsa dan negara ini padanya. Saya yang kecil
ini merasa rindu untuk bertemu dengannya, mula-mula saya ingin bertanya kabar,
apakah ia baik-baik saja atau malah sedang tidak enak badan, apakah masih
percaya diri untuk mengurusi negeri ini, atau sudah mulai minder, tapi bodohnya
saya ini, demokrasi bukanlah manusia, ia abstraksi pemikiran (sudah pemikiran
abstrak lagi).
Malangnya
bangsa ini, menyerahkan begitu banyak urusan yang mestinya diurusi oleh
otentisitas keberadaan manusia kepada sesuatu yang abstrak keberadaanya. Lebih
malang lagi kalau ternyata disaat yang sama kita terlambat tahu, apakah saat
ini si demokrasi sedang meratapi kebodohannya dahulu saat menawarkan
kesanggupannya sedemikian rupa untuk mengurus bangsa ini, atau malah dia sedang
menertawakan kita. Entahlah, hanya tuhan dan si demokrasi sendiri yang
mengetahuinya. Tapi saya enggan untuk membawa-bawa tuhan pada perkara ini, bukan
karena saya sekuler atau ateis, tolong jangan puritan,dulu, sebab ini konsensus
antara kita dengan si demokrasi, dan sejauh keyakinan kita (kalau saya terlalu
subjektif) saat konsensus itu dilakukan adakah kita melibatkan tuhan? jangankan
tuhan, ulama-ulama saja seperti santai-santai begitu (jika tidak ingin
mengatakan tidak ngeh).
Awalnya
saya tidak ingin begitu banyak membicarakan si demokrasi, namun karena ia bukan
manusia, ya to be continue saja.
Tentang si demokrasi ini, saya (yang polos) pernah bertanya kepada salah satu
katakanlah senior saya di organisasi, apa bedanya demokrasi dengan musyawarah?
Senior saya mengumpamakan demokrasi dengan kisah lima orang sahabat yang hendak
bepergian ke suatu daerah yang sama, mereka berselisih pendapat, yang dua ingin
lewat rute A, yang tiga ingin lewat rute B, dengan asumsi masing-masing, tapi
karena yang ingin lewat rute B ini tiga orang, maka yang memilih jalur A
mengalah dan ikut jalur B. Lalu musyawarah mufakat diumpamakannya dengan kisah
yang sama, tapi saya aransemen sedikit, yang tiga orang ingin lewat rute A,
sedangkan yang dua orang ingin lewat rute B, akhirnya diputuskan yang tiga
orang tetap melewati rute A, sedang yang dua orang lewat rute B, mereka berlima
melalui jalan yang berbeda namun dengan tujuan yang sama.
Demikian
perumpamaan singkat mengenai demokrasi
dan musyawarah, semestinya diuraikan diferensiasi antara keduanya, mulai dari
etimologi, terminologi, latar historis, sampai aplikasi sosial. Namun karena
perumpamaan tadi dirasa mewakili simplifikasi dari keduanya, maka saya tidak
merasa perlu untuk mengurainya lebih jauh, selain karena perbedaan keduanya
sangatlah sederhana, perumpamaan tadi juga dimaksudkan untuk memperjelas
keyakinan tentang kenyataan bahwa kemampuan berfikir pembaca yang budiman jauh
diatas saya yang tidak ada apa-apanya ini. Demikianlah perbedaan ditakdirkan
ada, sementara praktek demokrasi menjamin persamaan dihampir banyak bidang,
demokrasi bahkan menopang kompleksitas ilmu yang cakupannya lebih luas, hal itu
tersebut terbukti dengan realitas bahwa demokrasi merupakan pemenang dari semua
ideologi yang pernah ada.
Didunia ini
terdapat beberapa ideologi yang dalam sejarahnya berbeda satu sama lain dengan
demokrasi, seperti sosialisme misalnya dari filsafat ekonomi populer marx dan
engels yang kelak menginspirasi kelahiran komunisme sebagai wacana filsafat
politik guna mengaplikasikannya kedalam sebuah negara. Pertentangan dua ideologi besar tersebut
mencapai puncaknya saat terjadi perang dingin yang memakan waktu hampir empat
dasawarsa. Dalam hal ini, tidak usah dibahas panjang lebar karena semua tahu
siapa yang “memimpin” dunia saat ini.
Demokrasi
sendiri memiliki beberapa bentuk, paling tidak itulah yang pernah diterapkan di
Indonesia, misalnya demokrasi terpimpin saat era Presiden Soekarno yang
meruncingkan perbedaan pendapat dengan Bung Hatta dalam memandang konsep
demokrasi. Hatta sepertinya memegang falsafah “lain ufuk lain belalang” , bahwa
popularitas demokrasi lahir dan berkembang di barat, namun tidak kemudian
diadopsi 100% sebab ada perbedaan budaya yang membatasi. Dalam hal ini
pandangan Hatta dapat kita lacak dari karyanya berjudul “demokrasi kita” yang menunjukan betapa hatta memberi ruang
interpretasi sosiologis dalam penterapan sistem demokrasi di Indonesia.
Demokrasi sebagai primadona akhirnya jarang
dikritisi oleh sebagaian besar manusia, tidak terkecuali masyarakat di
Indonesia. Mereka yang tergolong rakyat biasa, pegawai swasta, pejabat
pemerintahan, punya teriakan yang sama dalam menjunjung demokrasi. Demokrasi
ialah produk kebudayaan, dan setiap kebudayaan mempunyai strukturnya sendiri. Saya
melihat bahwa demokrasi memiliki struktur yang mapan sedemikian rupa, orang di
semua level menganggap demokrasi sebagai hal yang pantas untuk dipertahankan.
Masalahnya ialah demokrasi melahirkan pemikiran yang sangat strukturalis, mulai
dari falsafah hingga sistemnya terlihat lebih menitikberatkan pada peran dan
berjalannya sistem kebudayaan; bukan pada kesadaran dan kecerdasan manusia
sebagai subjeknya.
No comments:
Post a Comment