Oleh : Sakiman (Kimong)
Sekilas
mendengar nama “Panser” pikiran kita akan teringat kepada alat yang
dipergunakan dalam dunia militer yakni Tank Baja. Tank Baja memiliki
keterkenalan dalam hal kekuatan disegala cuaca dan medan untuk bertempur. Kata panser ini telah menjadi idiom yang melekat dalam tradisi kekuatan, strategi,
serta mobilisasi yang diperagakan oleh Jerman dalam perang dunia II. Tank-tank
Jerman melaju dengan cepat, menghabisi semua yang dilaluinya untuk ditaklukan,
dalam suatu strategi ofensif maha terkenal saat itu yakni Blittzkreig atau serangan kilat. Julukan historis dari perang
Dunia inilah yang diseret kedalam lapangan hijau untuk melabeli Timnas
Sepakbola Jerman. Namun apa hubungannya dengan perhelatan liga panser yang
sedang digelar di Pamarayan? jawabannya, tidak ada hubungan apa-apa.
Adalah
suatu kebetulan apabila terjadi kesamaan nama panser yang melekat dalam timnas
jerman dengan kompetisi liga panser di Pamarayan. Sebab panser sebagaimana yang
telah disinggung tadi, memiliki perbedaan dengan panser yang menjadi primadona
di seantero Pamarayan saat ini. Karena penamaan panser dalam kompetisi
sepakbola tingkat kecamatan Pamarayan ini, merupakan akronim dari
Pamarayan-Serang. Liga panser yang hidup kembali. Karena sebenarnya, liga
panser bukan pertama kali ini saja digelar di Pamarayan. Dulu pernah digelar
terakhir kali pada tahun 1997. Namun terhenti karena beberapa hal (klasik).
Diantaranya ialah persoalan kemanan yang menjadi pertimbangan utama terhentinya
liga populer di Kabupaten Serang ini. Setelahnya, tidak ada ativitas kompetisi
sepakbola di Pamarayan.
Liga
Panser yang begitu melekat dihati warga, khususnya warga di kecamatan Pamarayan
mengalami hibernasi panjang. Tidak tanggung-tanggung hibernasi itu berlangsung
selama 19 tahun!. Kekhawatiran dibidang kemanan bukan tanpa alasan, hal ini
terutama latarbelakang tradisi jawara yang mendarah daging sejak dulu di
Pamarayan. Dan karena itu, pertimbangan dihentikannya liga Panser mendapat
dukungan dari pihak keamanan dimulai dari polsek, koramil bahkan Polres. Satu
kenyataan yang melegakan dan logis disatu sisi, tetapi mengharukan disisi
lainnya. Sebab sepakbola ialah olahraga, hiburan, gengsi, kekeluargaan,
bernilai sosial, ekonomi, serta bisa menjadi identitas suatu Negara.
Tanpa
bermaksud mengesampingkan cabang olahraga lainnya, utamanya karena sering kita
dengar istilah negara-negara sepakbola disatu sisi, sementara disisi lain
sedemikian jarang kita dengar istilah negara volly, atau negara renang misalnya.
Sebenarnya istilah negara sepakbola itu lahir dan merujuk pada negara yang
memiliki tradisi kental dalam sepakbola. Sepakbola dapat mengangkat popularitas
suatu negara, itulah mengapa lahir istilah negara sepakbola. Sebab ada negara
yang ia terkenal karena kaya, kuat, dan berpengaruh dalam sejarahnya, misalnya
Jepang, Cina atau tentu saja si superpower Amerika. Negara-negara tersebut
punya andil dalam sejarah dunia, produk yang dihasilkan membanjiri pelosok
bumi, karenanya negara itu jadi populer. Namun adakah negara yang untuk terkenal
tidak harus repot-repot jadi kaya, kuat, dan berpengaruh? Jawabanya ada.
Syaratnya sederhana, berprestasi dalam dunia sepakbola. Dan sekali lagi bukan
untuk meniadakan peran dicabang olahraga lain, kita tetap berbangga sepenuh
jiwa atas raihan emas pada olimpiade Brazil 2016 yang didapat dari cabang Bulu
Tangkis. Suatu kebanggan yang sama akan dirasakan oleh atlet dan penggemar
dicabang olahraga lain seandainya Indonesia memiliki prestasi dalam sepakbola.
Hobi dan ketulusan
Saya
termasuk orang yang selalu optimis dengan dunia sepakbola antar kampung, tapi
entahlah dengan sepakbola tingkat nasional. Semoga profesionalisme dapat
ditumbuhkan oleh para pemangku kebijakan ditubuh PSSI dari level pusat,
Provinsi dan Kabupaten. Karena betapa banyak penggemar sepakbola tanah air
memilih mencurahkan perhatiannya pada sepak bola lokal, berkontribusi pada
kampung atau desanya yang mengikuti kompetisi, tanpa berharap mendapat apapun
saja apalagi berharap digaji. Mereka umumnya
ialah orang-orang yang peduli akan sepakbola, entah itu kepala desa, tokoh
masyarakat, atau orang biasa yang mendedikasikan waktu, tenaga, dan materi
untuk sepakbola di kampung-kampung.
Kadang kala, memang orang-orang berjiwa intan ini terdapat banyak di
pelosok-pelosok. Spirit mereka meskipun tidak memiliki kewajiban formal untuk
memajukan sepakbola, namun justru mereka yang banyak berkontribusi.
Di
Banten, terdapat banyak orang-orang yang memiliki sumbangsih dalam sepakbola di
kampung-kampung. Entah apa nama jabatannya, apakah ia oficial, asisten oficial,
pelatih kampung, atau istilah lain semacamnya. Saya abay terhadap status
orang-orang itu, karena melihat apa yang ia lakukan dan curahkan, sudah cukup
bagi kita untuk menilai bahwa ia merupakan orang yang hobi sepakbola. Lebih
dari itu, kelompok yang tidak memiliki jabatan formal dan wajib mengurusi
sepakbola itu juga tidak berharap balasan yang sesungguhnya pantas mereka
terima. Mereka hanyalah deretan orang yang sudah cukup mengawal dan membantu terselenggaranya
kompetisi didaerahnya, mereka mengetahui bahwa aktivitas mereka tidak masuk
televisi, bahkan kalaupun juara, meraka faham betul bahwa hadiahnya dijamin
akan habis satu malam perayaan saja.
Hobi
mungkin menjadi alasan mengapa orang-orang itu rela mengalokasikan apa yang ia
miliki untuk memajukan sepakbola. Orang bilang, hobi akan membuat manusia
melakukan apa saja dengan rela, sejauh itu dapat memenuhi apa yang digemarinya.
Dalam konteks sepakbola, perasaan rela berkontribusi atas dasar kegemaran hendaknya jangan dipandang remeh. Sebab yang nanti akan
terlihat dari kegemarannya ialah lebih dari sekedar hobi, melainkan efek
diaspora atas apresiasinya terhadap olahraga nomor satu di dunia ini. Suatu
sikap atas dasar hobi jika diterapkan dalam ruang positif, dalam hal ini dunia
sepakbola, maka perasaan atau sikap rela berkorban ini memiliki nilai, dan ini
berlaku untuk semua urusan. Tinggal menumbuhkan profesionalitas untuk
disandingkan dengan rasa peduli dalam memajukan sepakbola. Manajemen yang
ditata kelola dengan baik secara profesional, jika diletakan dalam bidang sepakbola
merupakan proyeksi keberhasilan sebuah tim. Tidak mungkin sebuah tim tampil
sebagai juara tanpa adanya suatu penataan manajerial dibelakangnnya.
Anda
tentu tidak akan melihat Thailand menjuarai AFF tanpa adanya dukungan
pemerintah dan asosiasi dibelakangnya, anda juga keliru jika menilai Jerman
menjuarai Piala Dunia tanpa melibatkan pihak-pihak diluar lapangan yang bekerja
fokus dan merancang dengan teliti hal-hal yang dibutuhkan oleh tim. Sebagaimana
anda akan kelabakan melihat penyelenggaraan Liga Panser berlangsung dengan
aman, dan diluar dugaan semua pihak, tanpa melihat betapa panitia bekerja
secara profesional siang malam. Ini mebuktikan bahwa sepakbola bukan sekedar
urusan diatas lapangan. Lebih dari itu, sepakbola terselenggara dan berhasil
berkat partisipasi semua pihak yang telah menyatukan kepedulian dan
profesionalisme dari sekali lagi, orang-orang kampung yang tidak jelas jabatan
dan nama jabatannya mungkin tidak begitu
memahami definisi kepedulian apalagi profesionalisme, tapi sungguh mereka telah
berhasil menyatukanya.
Saya
teringat harapan yang dilontarkan oleh coach Timo dalam artikel yang isinya
kira begini “saya berharap semua desa dan kelurahan diseluruh Indonesia
memiliki fasilitas lapangan bola yang berstandar baik”. Coach Timo tidak
mengatakan berharap agar pimpinan atau tokoh masyarakat di tiap kelurahan/desa
untuk peduli, namun malah melontarkan harapan ketersediaan fasilitas pendukung.
Sebab ia mengetahui bahwa tokoh-tokoh di tiap-tiap desa yang tersebar diseluruh
Indonesia itu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sepakbola. Terlepas dari
keterbatasan kemampuan, sarana, dan tentu saja dana. Mereka mengabaikan
kapasitas, mereka menggawangi setiap perhelatan kompetisi antar kampung tanpa
berharap sesuatu yang lebih selain prestasi. Dari apa yang telah dilakukan oleh mereka,
dengan segenap jiwa, kenyataan ini juga baik diukur sebagai pesan kepada
individu-individu yang mutlak mempunyai kedudukan ditubuh organisasi sepakbola
(PSSI) untuk mulai menyadari hakikat keberadaannya.
Dan liga Panser-pun usai
Liga
panser yang digelar pada awal hingga akhir Oktober 2016, di lapangan yang oleh
penduduk setempat dinamakan lapangan “Liang Bulan” telah usai. Dan tuan rumah
tampil sebagai juara. Kepala desa, official dan warga setempat begitu bahagia,
tidak saja karena timnya juara, namun lebih dari itu, ada penjelasan non teknis
yang isinya : Akses
menuju liang bulan luar biasa berliku, bebatuan yang tidak rata, tanah yang
kalau terkena hujan akan menyulitkan pengendara, dan lokasinya yang berada
ditengah peradaban lembur (kampung), jauh dari pusat kecamatan apalagi kabupaten.
Akses yang tidak bisa dikatakan baik tersebut, tentu saja menyulitkan bagi
siapapun yang hendak berkunjung ke liang bulan. Dan ini berlaku untuk hampir
semua urusan, kecuali sepakbola. Penduduk sekitar liang bulan, tidak dapat
menyembunyikan rona bahagianya saat lautan manusia dari berbagai daerah berdatangan
setiap pertandingan akan digelar. Mereka merasa dikunjungi saudara dari jauh,
mereka menjamu semampu-mampunya.
Ada
semacam kerinduan dari warga sekitar liang bulan, kerinduan untuk
bersilaturahim dengan siapapun saja yang datang. Akses merupakan kata kunci,
yang melatarbelakangi sepinya hilir mudik manusia menuju liang bulan didesa
Kebon Cau tersebut. Tanpa diduga, liga panser yang telah mati suri selama
hampir 19 tahun menjadi obat rindu mujarab bagi warga sekitar. Tidaklah
mengherankan jika kebahagiaan demikian terpancar dari warga sekitar yang siap
menerima siapapun yang datang menjadi saudara.
Belajar dari apa yang telah diperlihatkan warga sekitar, rasa-rasanya
benar bahwa sepakbola, bukan saja sebatas olahraga, tetapi ruang persaudaraan
yang dalam banyak hal bisa lebih penting dari sekedar pertandingan diatas
lapangan hijau. Terimakasih untuk panitia, tuan rumah, dan seluruh masyarakat
yang telah menerangi lorong gelap
bibit-bibit masa depan sepakbola Indonesia.
No comments:
Post a Comment