Thursday, 15 December 2016

Liga Panser



Oleh : Sakiman (Kimong)
Sekilas mendengar nama “Panser” pikiran kita akan teringat kepada alat yang dipergunakan dalam dunia militer yakni Tank Baja. Tank Baja memiliki keterkenalan dalam hal kekuatan disegala cuaca dan medan untuk bertempur.  Kata panser ini telah menjadi idiom yang  melekat dalam tradisi kekuatan, strategi, serta mobilisasi yang diperagakan oleh Jerman dalam perang dunia II. Tank-tank Jerman melaju dengan cepat, menghabisi semua yang dilaluinya untuk ditaklukan, dalam suatu strategi ofensif maha terkenal saat itu yakni Blittzkreig atau serangan kilat. Julukan historis dari perang Dunia inilah yang diseret kedalam lapangan hijau untuk melabeli Timnas Sepakbola Jerman. Namun apa hubungannya dengan perhelatan liga panser yang sedang digelar di Pamarayan? jawabannya, tidak ada hubungan apa-apa.
Adalah suatu kebetulan apabila terjadi kesamaan nama panser yang melekat dalam timnas jerman dengan kompetisi liga panser di Pamarayan. Sebab panser sebagaimana yang telah disinggung tadi, memiliki perbedaan dengan panser yang menjadi primadona di seantero Pamarayan saat ini. Karena penamaan panser dalam kompetisi sepakbola tingkat kecamatan Pamarayan ini, merupakan akronim dari Pamarayan-Serang. Liga panser yang hidup kembali. Karena sebenarnya, liga panser bukan pertama kali ini saja digelar di Pamarayan. Dulu pernah digelar terakhir kali pada tahun 1997. Namun terhenti karena beberapa hal (klasik). Diantaranya ialah persoalan kemanan yang menjadi pertimbangan utama terhentinya liga populer di Kabupaten Serang ini. Setelahnya, tidak ada ativitas kompetisi sepakbola di Pamarayan.
Liga Panser yang begitu melekat dihati warga, khususnya warga di kecamatan Pamarayan mengalami hibernasi panjang. Tidak tanggung-tanggung hibernasi itu berlangsung selama 19 tahun!. Kekhawatiran dibidang kemanan bukan tanpa alasan, hal ini terutama latarbelakang tradisi jawara yang mendarah daging sejak dulu di Pamarayan. Dan karena itu, pertimbangan dihentikannya liga Panser mendapat dukungan dari pihak keamanan dimulai dari polsek, koramil bahkan Polres. Satu kenyataan yang melegakan dan logis disatu sisi, tetapi mengharukan disisi lainnya. Sebab sepakbola ialah olahraga, hiburan, gengsi, kekeluargaan, bernilai sosial, ekonomi, serta bisa menjadi identitas suatu Negara. 
Tanpa bermaksud mengesampingkan cabang olahraga lainnya, utamanya karena sering kita dengar istilah negara-negara sepakbola disatu sisi, sementara disisi lain sedemikian jarang kita dengar istilah negara volly, atau negara renang misalnya. Sebenarnya istilah negara sepakbola itu lahir dan merujuk pada negara yang memiliki tradisi kental dalam sepakbola. Sepakbola dapat mengangkat popularitas suatu negara, itulah mengapa lahir istilah negara sepakbola. Sebab ada negara yang ia terkenal karena kaya, kuat, dan berpengaruh dalam sejarahnya, misalnya Jepang, Cina atau tentu saja si superpower Amerika. Negara-negara tersebut punya andil dalam sejarah dunia, produk yang dihasilkan membanjiri pelosok bumi, karenanya negara itu jadi populer. Namun adakah negara yang untuk terkenal tidak harus repot-repot jadi kaya, kuat, dan berpengaruh? Jawabanya ada. Syaratnya sederhana, berprestasi dalam dunia sepakbola. Dan sekali lagi bukan untuk meniadakan peran dicabang olahraga lain, kita tetap berbangga sepenuh jiwa atas raihan emas pada olimpiade Brazil 2016 yang didapat dari cabang Bulu Tangkis. Suatu kebanggan yang sama akan dirasakan oleh atlet dan penggemar dicabang olahraga lain seandainya Indonesia memiliki prestasi dalam sepakbola.
Hobi dan ketulusan
Saya termasuk orang yang selalu optimis dengan dunia sepakbola antar kampung, tapi entahlah dengan sepakbola tingkat nasional. Semoga profesionalisme dapat ditumbuhkan oleh para pemangku kebijakan ditubuh PSSI dari level pusat, Provinsi dan Kabupaten. Karena betapa banyak penggemar sepakbola tanah air memilih mencurahkan perhatiannya pada sepak bola lokal, berkontribusi pada kampung atau desanya yang mengikuti kompetisi, tanpa berharap mendapat apapun saja apalagi  berharap digaji. Mereka umumnya ialah orang-orang yang peduli akan sepakbola, entah itu kepala desa, tokoh masyarakat, atau orang biasa yang mendedikasikan waktu, tenaga, dan materi untuk sepakbola di kampung-kampung.  Kadang kala, memang orang-orang berjiwa intan ini terdapat banyak di pelosok-pelosok. Spirit mereka meskipun tidak memiliki kewajiban formal untuk memajukan sepakbola, namun justru mereka yang banyak berkontribusi.
Di Banten, terdapat banyak orang-orang yang memiliki sumbangsih dalam sepakbola di kampung-kampung. Entah apa nama jabatannya, apakah ia oficial, asisten oficial, pelatih kampung, atau istilah lain semacamnya. Saya abay terhadap status orang-orang itu, karena melihat apa yang ia lakukan dan curahkan, sudah cukup bagi kita untuk menilai bahwa ia merupakan orang yang hobi sepakbola. Lebih dari itu, kelompok yang tidak memiliki jabatan formal dan wajib mengurusi sepakbola itu juga tidak berharap balasan yang sesungguhnya pantas mereka terima. Mereka hanyalah deretan orang yang sudah cukup mengawal dan membantu terselenggaranya kompetisi didaerahnya, mereka mengetahui bahwa aktivitas mereka tidak masuk televisi, bahkan kalaupun juara, meraka faham betul bahwa hadiahnya dijamin akan habis satu malam perayaan saja.  
Hobi mungkin menjadi alasan mengapa orang-orang itu rela mengalokasikan apa yang ia miliki untuk memajukan sepakbola. Orang bilang, hobi akan membuat manusia melakukan apa saja dengan rela, sejauh itu dapat memenuhi apa yang digemarinya. Dalam konteks sepakbola, perasaan rela berkontribusi atas dasar kegemaran  hendaknya  jangan dipandang remeh. Sebab yang nanti akan terlihat dari kegemarannya ialah lebih dari sekedar hobi, melainkan efek diaspora atas apresiasinya terhadap olahraga nomor satu di dunia ini. Suatu sikap atas dasar hobi jika diterapkan dalam ruang positif, dalam hal ini dunia sepakbola, maka perasaan atau sikap rela berkorban ini memiliki nilai, dan ini berlaku untuk semua urusan. Tinggal menumbuhkan profesionalitas untuk disandingkan dengan rasa peduli dalam memajukan sepakbola. Manajemen yang ditata kelola dengan baik secara profesional, jika diletakan dalam bidang sepakbola merupakan proyeksi keberhasilan sebuah tim. Tidak mungkin sebuah tim tampil sebagai juara tanpa adanya suatu penataan manajerial dibelakangnnya. 
Anda tentu tidak akan melihat Thailand menjuarai AFF tanpa adanya dukungan pemerintah dan asosiasi dibelakangnya, anda juga keliru jika menilai Jerman menjuarai Piala Dunia tanpa melibatkan pihak-pihak diluar lapangan yang bekerja fokus dan merancang dengan teliti hal-hal yang dibutuhkan oleh tim. Sebagaimana anda akan kelabakan melihat penyelenggaraan Liga Panser berlangsung dengan aman, dan diluar dugaan semua pihak, tanpa melihat betapa panitia bekerja secara profesional siang malam. Ini  mebuktikan bahwa sepakbola bukan sekedar urusan diatas lapangan. Lebih dari itu, sepakbola terselenggara dan berhasil berkat partisipasi semua pihak yang telah menyatukan kepedulian dan profesionalisme dari sekali lagi, orang-orang kampung yang tidak jelas jabatan dan nama jabatannya mungkin  tidak begitu memahami definisi kepedulian apalagi profesionalisme, tapi sungguh mereka telah berhasil menyatukanya.     
Saya teringat harapan yang dilontarkan oleh coach Timo dalam artikel yang isinya kira begini “saya berharap semua desa dan kelurahan diseluruh Indonesia memiliki fasilitas lapangan bola yang berstandar baik”. Coach Timo tidak mengatakan berharap agar pimpinan atau tokoh masyarakat di tiap kelurahan/desa untuk peduli, namun malah melontarkan harapan ketersediaan fasilitas pendukung. Sebab ia mengetahui bahwa tokoh-tokoh di tiap-tiap desa yang tersebar diseluruh Indonesia itu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sepakbola. Terlepas dari keterbatasan kemampuan, sarana, dan tentu saja dana. Mereka mengabaikan kapasitas, mereka menggawangi setiap perhelatan kompetisi antar kampung tanpa berharap sesuatu yang lebih selain prestasi.  Dari apa yang telah dilakukan oleh mereka, dengan segenap jiwa, kenyataan ini juga baik diukur sebagai pesan kepada individu-individu yang mutlak mempunyai kedudukan ditubuh organisasi sepakbola (PSSI) untuk mulai menyadari hakikat keberadaannya.   
Dan liga Panser-pun usai
Liga panser yang digelar pada awal hingga akhir Oktober 2016, di lapangan yang oleh penduduk setempat dinamakan lapangan “Liang Bulan” telah usai. Dan tuan rumah tampil sebagai juara. Kepala desa, official dan warga setempat begitu bahagia, tidak saja karena timnya juara, namun lebih dari itu, ada penjelasan non teknis  yang isinya :   Akses menuju liang bulan luar biasa berliku, bebatuan yang tidak rata, tanah yang kalau terkena hujan akan menyulitkan pengendara, dan lokasinya yang berada ditengah peradaban lembur (kampung), jauh dari pusat kecamatan apalagi kabupaten. Akses yang tidak bisa dikatakan baik tersebut, tentu saja menyulitkan bagi siapapun yang hendak berkunjung ke liang bulan. Dan ini berlaku untuk hampir semua urusan, kecuali sepakbola. Penduduk sekitar liang bulan, tidak dapat menyembunyikan rona bahagianya saat lautan manusia dari berbagai daerah berdatangan setiap pertandingan akan digelar. Mereka merasa dikunjungi saudara dari jauh, mereka menjamu semampu-mampunya.
Ada semacam kerinduan dari warga sekitar liang bulan, kerinduan untuk bersilaturahim dengan siapapun saja yang datang. Akses merupakan kata kunci, yang melatarbelakangi sepinya hilir mudik manusia menuju liang bulan didesa Kebon Cau tersebut. Tanpa diduga, liga panser yang telah mati suri selama hampir 19 tahun menjadi obat rindu mujarab bagi warga sekitar. Tidaklah mengherankan jika kebahagiaan demikian terpancar dari warga sekitar yang siap menerima siapapun yang datang menjadi saudara.   Belajar dari apa yang telah diperlihatkan warga sekitar, rasa-rasanya benar bahwa sepakbola, bukan saja sebatas olahraga, tetapi ruang persaudaraan yang dalam banyak hal bisa lebih penting dari sekedar pertandingan diatas lapangan hijau. Terimakasih untuk panitia, tuan rumah, dan seluruh masyarakat yang telah  menerangi lorong gelap bibit-bibit masa depan sepakbola Indonesia.    

No comments:

Post a Comment