Wednesday, 23 September 2015

Nilai Banten dimata penggede dan masyarakatnya

oleh : Hasan Sadeli


Telah begitu banyak karya-karya ilmiah yang mengetengahkan banten sebagai objek kajian dari berbagai disiplin ilmu. Banten dari era kesultanan, kolonialisme, sampai sekarang, rupanya masih menarik minat para akademisi untuk terus mengkaji dinamika diprovinsi yang berdiri pada tahun 2000 ini. Intensitas tulisan yang mengkaji banten pada masa kontemporer tidak kalah ramainya dengan banten dimasalalu. Ini membuktikan bahwa banten selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan, terkait dinamikanya atau lebih spesifik keruwetan problem yang setia membelitnya.

Fakta bahwa Provinsi banten merupakan daerah yang strategis, selain karena dipengaruhi letak geografis sebagai penyangga Ibu Kota negara, banten juga memiliki kekuatan ekonomi industri dimana terdapat perusahaan barang dan jasa masing-masing terkonsentrasi di kabupaten tanggerang, kabupaten serang, serta kota cilegon. Banten memiliki tiga pintu sarana transportasi baik darat, laut dan udara sebagai jalur perekonomian  penting.  pertama, jalur kereta api di kabupaten lebak sebagai  jalur distribusi bahan baku industri  seperti batu bara. kedua, pelabuhan merak dicilegon dan bandara Soekarno Hatta yang terletak di tanggerang sebagai pintu masuk para investor baik domestik maupun mancanegara. Kemudian apakah fakta tentang posisi strategis itu bisa dijawab dengan prestasi nyata daerah? Nyatanya masih belum, seperti apa yang pernah diutarakan dalam Akrobat Pembangunan karya Dahnil Anzar, bahwa kemajuan banten hanyalah efek diaspora pembangunan nasional.  

Ahistoris

Memori yang menghantarkan kita tentang banten dengan formulasi kesultanan yang mencapai masa kejayaanya saat sultan ageng tirtayasa memimpin pada abad ke 17 dan menentang keras penjajahan belanda. Hiruk pikuk ekonomi telah berlangsung sejak lama dibanten, terutama kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh banten dengan daerah-daerah lain membuatnya terkenal sebagai daerah yang maju akan perekonomiannya. Sangatlah wajar apabila ekspektasi dimandatkan terhadap para penggede di banten. Kini banyak orang yang membincang banten dengan nada miring, skeptis, tidak pelak ini membuat bising telinga orang-orang banten, namun apa boleh dikata, orang banten sendiri sadar bahwa itu kenyataan, kasus-kasus yang membelit tidak saja seputar korupsi sebagai mainstrem topic paling aktual, namun lebih dari itu ada nilai yang telah mencair, mulai mengental dalam memori kolektiv masyarakat banten terutama dalam menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah. Tanpa disadari, kekentalan itu akan menggiring pada kebekuan.   

Jikalau banten saat pertama kali terbentuk didasarkan pada fakta historis, barangkali Lampung juga akan menjadi bagian dari banten. Namun saat lampung sudah berdiri sebagai provinsi, pada saat yang bersamaan banten termasuk kedalam provinsi Jawa Barat. Dalam konsep negara maritim, laut tidak dipandang sebagai pemisah, melainkan sebagai penghubung. Dalam hal ini rupanya pemerintah pusat lebih melihat aspek geografis ketimbang aspek historis. Namun demikian bukan itu yang akan kita jadikan permasalahan, lebih-lebih memposisikannya sebagai kambing hitam. Ada hal paling substansial yang harus segera dibenahi yakni membangun kembali memori kolektiv akan kejayaan banten melalui kesadaran akan pentingnya menjaga serta melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah di banten.

Karena begitu banyak hal-hal yang  dilupakan dalam memori kolektiv kita tentang peran kesejarahan.  Seandainya, banyak diantara kita masyarakat banten yang mempelajari peran kesejarahan banten dalam konstelasi etos moral masa kini meski tidak kmoprehensif, setidaknya dapat menghindarkan banten dari stigma daerah yang dikelola secara oligarki dan hanya melahirkan korupsi, bahkan lebih dari itu, banten dekat dengan model state of nature –nya Thomas Hobbes yakni keadaan alamiah yang tidak memiliki pijakan historis sebab konsep-konsep tersebut tidak pernah didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya pernah, sedang atau akan terjadi. Keadaan itupula yang mendominasi manusia untuk selalu mengutamakan hawa nafsu untuk diri dan golongannya dengan merampas sesuatu yang sesungguhnya hak rakyat.

Sebuah model dengan istilah populer Homo Homini Lupus yang berarti manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Kita tentu tidak ingin banten dalam keadaan alamiah versi Hobbes tadi, adanya pemerintahan semestinya membuat banten semakin beradab bukan malah kembali kepada keadaan alamiah sebelum adanya pemerintahan yang didominasi oleh keserakahan tanpa pijakaan apapun. Apakah itu hanya sebuah argumentasi atau memang kenyataan, Gejolak yang membumbui perjalanan provinsi muda ini begitu miris, para penggedenya terlibat skandal yang tidak lain diakibatkan oleh romantisme kepentingannya sendiri. Tak pelak banten hanya menghadirkan kepemimpinan yang jauh dari kiblat masalalunya sebagai banten yang perkasa dan dihormati, sekarang keperkasaan itu berdiri diatas penderitaan rakyatnya. Karena tidaklah benar bahwa banten dekat dengan identifikasi keadaan alamiah seperti gambaran Hobbes, mengingat banten berpijak pada sejarah, karena memang memilikinya, namun sejauh mana menmahaminya? hanya kita (masyarakat banten) yang benar-benar mengetahuinya.

Menghadirkan Kembali Sejarah

Dalam Refleksi Tentang Sejarah Karya F.R Ankersmit dibahas soal mengahdirkan sejarah sebagai suatu refleksi yang menyegarkan memori kolektiv suatu masyarakat akan sejarahnya. Adalah R.G. Coolingwood seorang filsuf sejarah abad 20 melalui re-enactment of the past atau menampilkan kembali sejarah untuk mengetahui masa silam melalui pementasannya dimasa kini. Menampilkan kembali bukan hanya sebatas lisan namun ialah wujud asli dari peninggalan-peninggalan sejarah yang tak luput oleh jaman. Ada banyak hal tentang urgensi berpedoman pada sejarah, disamping menumbuhkan rasa kebantenan kita.

Kita tidak bisa sepenuhnya membebankan kesadaran ini hanya pada golongan akademisi, budayawan, sejarawan dan seterusnya. Akan lebih bijak jika pemerintah pro aktif dalam melakukan tindakan nyata dan tidak hanya sebatas sosialisasi serta kalaupun diperhatikan melalui program perawatan dan semacamnya harus sampai tuntas. Jika kita hendak mempertanyakan tentang apa relevansinya menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah baik yang dari jaman kesultanan maupun saat kolonialisme dalam konteks kekinian? Tentu saja ada, bahkan banyak sekali nilai manfaat yang didapat. Salah satu manfaat terpenting ialah tumbuhnya rasa memiliki sebagai orang banten, menghargai perjuangan para leluhur dengan meneladani perjuangannya dimasa kini.

Yang melegakan ialah upaya dari kalangan sejarawan dan budayawan banten yang tak kenal lelah terus berusaha mengampanyekan pentingnya mengetahui sejarah serta merawat peninggalannya. Beberapa waktu yang lalu pada april 2014 diselenggarakan World Heritage Day (Hari Pusaka Dunia) di Surosowan kota Serang. Dari sana pemerintah provinsi Banten yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Rano Karno (sekarang gubernur resmi) sepakat untuk melestarikan sisa-sisa peninggalan bersejarah dibanten. Mudah-mudahan ini tidak sekedar romantisme sejarah.

Kita ingin memandang setiap usaha, seksecil apapun sebagai ikhtiar untuk kabulnya doa bersama tentang menghidupkan kembali nilai luhur banten secara keseluruhan melalui sejarahnya. Kita tidak ingin menyaksikan masyarakat banten buta terhadap sejarahnya, sehingga mendekatkan pada kebutaan identitasnya. Memberikan senyum ramah kepada para pengunjung yang datang ke situs-situs bersejarah sudah merupakan satu langkah maju dari kepedulian kita terhadap sejarah.  Peran serta seluruh komponen masyarakat banten dalam menjaga, melestarikan dan memahami sejarah sebagai sebuah nilai pada gilirannya membuka cakrawala tentang keaslian diri kita. Seperti yang secara eksplisit dikemukakan oleh mendiang Guru Besar Arkeologi UI Ayatrohaedi, bahwa tujuan utama mempelajari sejarah banten ialah untuk menyadarkan masyarakat banten bahwa mereka mempunyai sejarah yang cukup panjang.


No comments:

Post a Comment