Oleh : Hasan Sadeli
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan
(Archipelagic State) terbesar didunia
yang lebih dari separuhnya ialah perairan. Asas negara kepulauan diumumkan saat
Deklarasi Juanda pada Desember 1957. Sebagai negara maritim, tidaklah
mengherankan jika kita mengenal istilah “Tanah
Air” sebagai suatu ungkapan yang merujuk pada entitas
dalam arti luas dan bermakna filosofis tentang betapa laut memiliki tempat
dihati penduduk Indonesia. Ini suatu petunjuk bahwa cukup banyak orang
Indonesia menggantungkan diri pada laut, baik secara langsung maupun tidak.[1] Maka
penting kiranya untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai kehidupan
masyarakat di nusantara dalam memanfaatkan laut untuk berbagai kepentingan.
Masa
kolonial Belanda rupanya telah membuat kita melupakan pentingnya laut bagi
kehidupan sekaligus identitas kita. Pemerintah Hindia
Belanda melalui Tanam Paksa yang diterapkan di Pulau Jawa, tidak saja dengan
ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan menjadikan mereka terpaku pada desa
masing-masing, tetapi juga serta merta mengikis tradisi maritim Jawa yang
dinamis.[2] Sebagaimana
diketahui bahwa corak maritim telah mewarnai sejarah panjang kerajaan-kerajaan
di Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Makasar, Banten dan lain-lain.
Ini membuktikan bahwa nenek moyang kita memang secara efektif memanfaatkan laut
tidak hanya sebatas mata pencaharian dan aktifitas perdagangan namun sebagai
simbol dari kekuatan kerajaan.
Garis
waktu sejarah Indonesia merupakan gambaran yang jelas mengenai kerajaan
bercorak maritim yang tipenya akan dibahas pada tulisan ini. Sriwijaya
mempelopori kejayaan maritim di Nusantara pada Abad ke 7, politik ekspansi
gencar dilakukan yang diawali di Sumatera. Sriwijaya mewajibkan kapal-kapal
dagang dari seluruh bangsa untuk singgah di wilayahnya. Pada perkembangan
selanjutnya, Majapahit memainkan peran
yang signifikan didunia maritim. Kerajaan yang berada di Pulau Jawa ini
menancapkan hegemoninya sejak abad ke 14 dengan mengirimkan banyak ekspedisi
keluar daerah kekuasaannya. Kerajaan bercorak Hindu-Budha pada gilirannya
digantikan oleh kerajaan bercorak Islam, yang penguasanya bergelar Sultan.
Setelah kejayaan Sriwijaya, Majapahit didunia maritim selanjutnya estafet
maritim Nusantara berpindah ke kerajaan Aceh, Makassar, Demak, dan Banten. nama
yang terakhir inilah yang memiliki peran besar dalam perdagangan maritim,
selain karena kekuatan armada lautnya, Banten juga didukung dengan posisinya
yang berada diujung barat pulau jawa tepat dibibir Selat Sunda yang sudah
terkenal sebagai jalur strategis perdagangan maritim.
Pada
kesempatan ini, penulis akan mengetengahkan suatu tema tentang perdagangan
maritim di bumi Banten pada abad ke 16-17. Banten sebagai daerah dengan
formulasi Kesultanan sejak abad 17 telah memperlihatkan kewibawaannya di dunia
maritim. Kegiatan dagang, pandangan keluar memperlihatkan ciri kemaritiman di Banten.
Kurun waktu dari abad 16 sampai 17 digunakan penulis oleh sebab pada dua masa
tersebut telah terjadi dua masa, yakni kejayaan dan kemunduran. kekuatan
maritim terutama saat Sultan Ageng Tirtayasa memimpin menjadi ciri masa
kejayaan kesultanan Banten, sedangkan masa kemunduran saat Banten berada
langsung dibawah kendali VOC. Namun yang ditekankan dalam tema kali ini lebih
kepada upaya Banten dalam melakukan konsolidasi internal membangun suatu pusat
perdagangan maritim yang penting di Nusantara selama lebih dari dua abad. Kita
akan melihat bagaimana Pelabuhan Banten yang setiap hari sibuk mengatur
singgahnya kapal-kapal dari seluruh dunia, kemudian ketersediaan pemukiman bagi
para pedagang asing, maupun pedagang lokal, lalu terdapatnya gudang penyimpanan
barang ekspor maupun impor yang menambah arti penting daerah yang saat masa
kejayaannya dibawah pengaruh Islam.
Masa awal berdirinya
Kesultanan Banten
Sedikit
akan dibahas mengenai awal berdirinya kesultanan banten dan melepaskan pengaruh
kerajaan Sunda Pajajaran yang saat itu berkuasa. Dalam naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, dikisahkan tentang upaya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati) salah satu wali dipulau Jawa, bersama anaknya Hasanudin melakukan
islamisai dibumi Banten. Setelah berhasil selama bertahun-tahun upaya tersebut
dilakukan, Hasanudin memindahkan ibu kota dari pedalaman menuju pesisir. Ini
memperlihatkan bahwa pada masa awal pendiriannya sudah mempertimbangkan pentingnya
mendirikan pusat kota dekat pelabuhan sebagi pusat perdagangan maritim.
Hasanudin
dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten, sementara Sunan Gunung Jati diletakan
hanya sebagai ayah yang bertugas membimbing putranya untuk mendirikan kerajaan.
Hal ini terlihat dalam silsilah Sultan Banten yang selalu diawali dengan nama
Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan Banten.[3] Bagaimana kemudian Banten menjadi sebuah
kekuatan yang terkenal dengan armada laut serta kekayaan yang ditunjukan dengan
keramaian pelabuhannya merupakan pencapaian pada abad 16 hingga 17 yang
sebab-sebab kemajuan itu tidak akan pernah tampak tanpa suatu usaha dari
Hasanudin yang melakukan pemetaan dalam menempatkan pusat pemerintahan berada
dekat dengan pelabuhan.
Entrepot terbesar dipulau Jawa
Banten
adalah sebuah kota penting di daerah Jawa, hal ini sudah terjadi sebelum
munculnya zaman Islam. Banten menjadi kota penting bagi perdagangan dan
pelayaran. Pada waktu itu, kota pelabuhan Banten dibawah kekuasaan raja Hindu
Sunda yaitu Pajajaran. Daerah ini dibawah kekuasaan adipati yang ditempatkan di
bandar itu, dengan kotanya yang terletak di tepi sungai. Pada awalnya pusat
kota Banten tidak berada di pesisir, akan tetapi terletak di suatu tempat yang
dinamakan Banten Girang, walaupun Banten pesisir pada saat itu sudah merupakan
pelabuhan dagang. Banten yang kemudian bergeser ke daerah pesisir adalah
kota pelabuhan Banten setelah berkembangnya agama dan pemerintahan Islam.[4]
Sebagaimana
disebutkan pada bagian terdahulu bahwa transformasi dari banten girang ke
pesisir lebih merupakan tanda tentang orientasi yang menentukan karakteristik
kekuasaan baru.
Banten
merupakan tempat dimana rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia
perdagangan pada awal abad ke 17. Banten merupakan sumber lada yang utama, yang
bahkan dalam dunia perdagangan menjadi lebih penting dari pada rempah-rempah di
Maluku.[5]
Disana terdapat banyak pedagang asing dari Eropa. Belanda harus bersaing dengan
Inggris dan negara-negara lainnya dalam menancapkan pengaruh dibanten.
Posisinya yang strategis berada diselat sunda karena negeri ini dapat dicapai
langsung dari laut. Gambaran mengenai letak strategis banten menjadi unsur
kejayaan dibidang perniagaan. Itulah mengapa VOC sampai mendirikan markas besar
di Batavia (Jakarta sekarang) yang secara geografis dekat dari banten. Lain
halnya dengan Mataram yang lebih berada dipedalaman dan memiliki penghasilan
beras sebagai ekspor utama kerajaan tersebut.
Dikuasainya
Malaka oleh Portugis tidak menghambat perputaran barang yang dijual belikan,
justru kemudian memunculkan berbagai macam pelabuhan dan kota-kota dagang baru
di Nusantara antara kain Makassar,
Maluku, dan Banten. Dengan demikian ada perubahan alur pengalihan perdagangan
yang awalnya ke Selat Malaka kemudian
menuju ke Selat Sunda.[6]
Komoditas yang diperdagangkan dipelabuhan maupun didekat pasar pelabuhan
beranekaragam, mulai dari keramik, perhiasan, rempah-rempah, kain, benda yang
terbuat dari kayu, logam, dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut sebagian
besar untuk di Ekspor ke pasaran Asia. Dibagian selatan kota terdapat pemukiman
orang-orang Cina, mereka memiliki gudang penyimpanan barang, budak, serta
kapal-kapal dagang. Disana juga terdapat pedagang dari Bugis, Ternate, India
yang turut meramaikan kegiatan perdagangan. Disisi lain, para pedagang dari
luar Banten ini tergolong ramah pada warga pribumi, mengingat ketegasan
penguasa setempat serta aturan-aturan yang tidak memberatkan yang menghimpun
semua kepentingan dapat disatukan.
Karakteristik Maritim
Kesultanan Banten
Sejak
berdirinya kesultanan ini sudah merupakan pelabuhan dagang, bahkan saat
pengaruh islam belum masuk, daerah ini sudah dikenal oleh para pelancong dari
mancanegara. Orientasi keluar sebagai pandangan yang diterapkan dalam
Kesultanan Banten rupanya diikuti oleh keinginan kuat dalam mendirikan sebuah
imperium perdagangan. Hal itu terlihat saat Banten berusaha menaklukan
Palembang pada masa Sultan Abdulmufakir (1596-1651). Untuk mengahadapi serangan
Banten yang beberapa kali menemui kegagalan, Palembang beraliansi dengan
Mataram pada sekitar tahun 1626.[7]
Pada
awal abad ke-17 masehi, Banten telah merupakan tempat berniaga penting dalam
perniagaan internasional di Asia. Kedudukan penguasa setempat ditunjang oleh
kaum bangsawan yang mempunyai kekuatan lokal, sedangkan administrasi pelabuhan,
perkapalan, dan perniagaan diurus oleh Syahbandar.[8] Demikian
kuatnya pengaruh banten dalam dunia perdagangan maritim sehingga menarik
perhatian para peneliti untuk membuat laporan-laporan lewat catatan
kunjungannya ke Banten. Umumnya mereka menggambarkan Banten sebagai suatu
kekuatan yang memiliki armada laut canggih pada masanya.
Asisten
Cornelis De Houtman menggambarkan dalam laporannya yang mengatakan
karakteristik pelabuhan banten yang berskala internasional, terdapat pembagian
kerja bagi pedagang asing yang ada di Banten seperti orang-orang persia yang
menjual Obat-obatan dan Permata, sementara orang arab lebih aktif dilaut
membawa komoditasnya, dan orang barat yang umumnya berkepentingan membawa
rempah-rempah. Tidaklah mengherankan apabila banten dikategorikan sebagai salah
satu entrepot terbesar di Nusantara, karena disitu terjadi interaksi yang
melibatkan pedagang dari bebagai bangsa sehingga dengan mudah kita menyimpulkan
tentang kebesaran pelabuhan Internasional Banten telah ada sejak akhir abad 16
dan semakin berkembang pada abad ke 17.
Van
Leur bahkan melakukan pendekatan sosiologi Max Weber untuk mengklasifikasikan
kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara menjadi dua, pertama bercorak maritim
seperti Aceh, Banten dan Makassar, sedangkan lainnya bercorak Agraris seperti
Mataram di Jawa. Banten juga pada abad ke 17 berperan sebagai entrepot
atau penyimpanan barang-barang komoditas impor dari berbagai wilayah
untuk diperdagangkan. Sebagai entrepot terbesar dipulau Jawa yang hanya
bersaing dengan Aceh di Barat serta Makassar di Timur memungkinkan Banten
menjadi entrepot paling strategis karena tepat berada ditengah atau bahkan muka
nusantara jika dilihat dari jalur laut Sumatera bagian barat.
Pada saat Pangeran Adipati Anom
Pangeran Surya dinobatkan menjadi sultan pada 1651 maka dimulailah suatu masa
dimana Banten mencapai Kejayaannya. Sultan baru tersebut memiliki nama lain
yakni Sultan Abulfath Abdulfatah atau yang kelak lebih populer dengan nama
Sultan Ageng Tirtayasa. Ia merupakan Sultan Banten ke-5 sejak Maulana Hasanudin
sebagai pendiri Kesultanan. Ia mulai melakukan pembenahan diberbagai sisi
kekuasaan kesultanan. Ia berhasrat membina mental para prajuritnya dengan
mendatangkan ulama besar dari Makassar yakni Syekh Yusuf yang kemudian menjadi
keluarga Sultan. Pada tahun-tahun pertamanya, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil
mengembangkan lembali perdagangan di Banten. VOC yang saat itu sudah ada,
merasa tersaingi karena kemampuan Banten dalam menarik para pedagang Eropa
lainnya macam Inggris, Denmark, Perancis lewat sistem perdagangan bebas.
Sistem
perdagangan bebas diyakini sebagai salah satu daya tarik tersendiri bagi para
pedagang asing yang terdiri dari berbagai kelas untuk melakukan kerjasama dalam
aktivitas perdagangan di Banten. Selain itu, di Banten beredar juga uang Banten,
Belanda, dan Inggris.[9]
Disamping menggunakan mata uang, para pedagang juga masih menggunakan
sistem barter (tukarbarang) untuk mendapatkan lada dari Banten. Bagi kerajaan-kerajaan
maritim, pelabuhan merupakan sumber penghasilan yang amat penting bagi
kerajaan, terutama penerapan bea cukai.[10] dan
pajak yang menjadi sumber utama devisa kerajaan. Terang sekali bahwa
perdagangan di Banten cukup dinamis, sementara VOC dengan sistem monopolinya
mau tidak mau harus berjuang menyaingi Banten yang kian hari kian kuat baik
dari aspek perekonomian, politik, dan angkatan perangnya.
Usaha
Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang
pelayaran dan perdagangan dengan Bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan.
Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran),
India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, Pegu, dan lainnya.[11]
Demikian juga dengan bangsa-bangsa Eropa lain yang tadi sudah disebutkan.
Hubungan persahabatan dibangun dengan Lampung, Cirebon, sementara dibagian
timur, banten melakukan hubungan dibidang pelayaran dan perdagangan dengan Goa.
Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai pemimpin yang aktif memelihara hubungan
dengan Kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara maupun dengan Bangsa-bangsa
asing diseluruh dunia. Disisi lain, ia meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya
yakni melakukan gangguan terhadap markas VOC di Batavia dengan mengerahkan
tentara, mengingat pada masa Sultan Ageng Tirtayasa ini punya kecenderungan
enggan memperbaharui perjanjian dengan VOC seperti yang dilakukan dahulu.
Untuk
mensejahterakan rakyatnya, ia melakukan penggalian pembuatan Irigasi untuk
kepentingan pertanian. Sungai-sungai yang pada masa kepemimpinanya banyak
dibuat terutama yang membentang dipesisir utara Banten. seiring dengan
bertambah majunya kerajaan dan makmurnya rakyat, maka penyusunan kekuatan
angkatan perang terus dilakukan. Sebagaimana tadi disinggung, bahwa armada laut
yang dimiliki oleh Banten, merupakan yang terbesar di Nusantara saat itu.
Kemajuan perdagangan menunjukan kekuatan yang dimiliki pula, itu sebabnya, Banten
dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa telah menempatkan diri secara aktif
dalam dunia perdagangan internasional yang mahsyur di Asia.
Konflik dan masa
kemunduran
Adanya konflik internal
yang dilatarbelakangi oleh perpecahan antara Sultan Abdul Kahar atau Sultan
Haji dengan Ayahnya yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Ini dimanfaatkan oleh VOC
untuk menghasut Sultan Haji agar merebut tahta dari ayahnya. VOC memberi
jaminan akan membantu Sultan Haji dengan konsesi-konsesi yang dikemudian hari
terbukti sangat memberatkan kesultanan Banten. syarat-syarat yang diminta oleh
VOC diantaranya menyerahkan Cirebon, mebebaskan VOC untuk memonopoli
perdagangan lada di Banten, perjanjian-perjanjian ini diterima oleh Sultan
Haji, usaha penggulingan kekuasaan dilakukan, sempat menemui kegagalan namun
atas siasat dan bantuan VOC maka Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap.
Meski demikian perlawanan keras diberikan oleh Sultan Ageng yang dibantu oleh
pasukan Makassar, Bali, sebelum akhirnya ditangkap dan diasingkan hingga akhir
hayatnya. Sultan Haji menjadi
penggantinya sebagai Sultan Banten yang baru. Dia menyadari bebannya begitu
berat, karena siap tidak siap, VOC akan menjadi tuannya yang baru.
Sejak
saat itu, Banten mulai berada dibawah kendali VOC, tuntutan VOC terhadap Sultan
Haji pada kenyataannya lebih besar dari hasil perjanjian-perjanjian yang telah
dibuat sebelumnya. Mengingat VOC telah kehabisan banyak hal saat berusaha
menaklukan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah kemudian menjadi awal
kemunduran Kesultanan di Banten dari banyak aspek. Banten yang dulu terkenal
dengan pelabuhan dagang serta pelayaran maritimnya perlahan menjadi daerah
biasa dibawah kendali VOC.
Penutup
Dunia
maritim sungguh akrab dengan kehidupan nenek moyang kita sejak jaman kerajaan.
Banyak literatur menuliskan tentang peran kerajaan-kerajaan di Nusantara yang
giat melakukan ekspedisi maritim berabad-abad lamanya. Sejak era Sriwijaya pada
abad ke 7 hingga Banten pada abad ke 17 telah memberi sumbangan informasi
penting tentang arus perdagangan maritim dengan dunia luar. Apa yang telah
dicapai oleh Banten pada masa sekitar abad ke 16 sampai 17 pada gilirannya
tidak berhasil dicapai oleh kerajaan manapun di nusantara setelah menyerahnya
Banten.
Kemajuan
dibidang ekonomi serta ditunjang dengan posisinya yang strategis membuat Banten
cukup tersohor didunia perdagangan maritim. Kita bisa melihat bagaimana
pendirian Banten dibawah Islam sudah memperlihatkan tentang orientasinya
mengenai laut. Perpindahan dari Banten girang (didalam) ke pesisir menjadi
bukti betapa kesadaran tentang dunia maritim begitu penting. Terlepas dari
kemunduran yang disebabkan oleh banyak faktor salah satunya perpecahan yang
dimotori oleh kepentingan imperialis barat, Banten telah menjadi daya tarik
tersendiri didunia perdagangan maritim. Selat sunda yang persis berada dibanten
sejak dulu telah ramai dikunjungi pedagang asing. Literatur barat menyebutkan
tentang posisi strategis Sunda Strait
yang menyamai Kanton di Cina dalam perdagangan klasik. Selat tersebut berada dibawah
wilayah Kesultanan Banten dan memberi dampak pada kemajuan ekonomi maritim saat
masa kejayaannya sekitar abad 16 sampai abad 17.
Daftar Pustaka
1. A.B Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut , sejarah kawasan laut Sulawesi abad XIX. Jakarta : komunitas bambu, 2011.
2. Michrob, Halwany and Chudari, catatan Masa Lalu Banten. Serang : Saudara. 1993.
3. Suroyo, Djuliati, Sejarah Maritim I, Semarang: Jeda, 2007.
4. Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) : Dari Emporium sampai Imperium, Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1992.
5. Lubis, Nina. Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES, 2004.
6. Ricklefs,M.C. Sejarah Indonesia Modern, Jogjakarta : Gadjah Mada University Press, 2011
7. Adrian B. Lapian. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta : Komunitas Bambu, 2008.
No comments:
Post a Comment