Wednesday 23 September 2015

Perdagangan Maritim di Banten Abad 16-17

Oleh : Hasan Sadeli



Pendahuluan

            Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) terbesar didunia yang lebih dari separuhnya ialah perairan. Asas negara kepulauan diumumkan saat Deklarasi Juanda pada Desember 1957. Sebagai negara maritim, tidaklah mengherankan jika kita mengenal istilah Tanah Air sebagai suatu ungkapan yang merujuk pada entitas dalam arti luas dan bermakna filosofis tentang betapa laut memiliki tempat dihati penduduk Indonesia. Ini suatu petunjuk bahwa cukup banyak orang Indonesia menggantungkan diri pada laut, baik secara langsung maupun tidak.[1] Maka penting kiranya untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai kehidupan masyarakat di nusantara dalam memanfaatkan laut untuk berbagai kepentingan.
Masa kolonial Belanda rupanya telah membuat kita melupakan pentingnya laut bagi kehidupan sekaligus identitas kita. Pemerintah Hindia Belanda melalui Tanam Paksa yang diterapkan di Pulau Jawa, tidak saja dengan ekstrem mengeksploitasi anak negeri dan menjadikan mereka terpaku pada desa masing-masing, tetapi juga serta merta mengikis tradisi maritim Jawa yang dinamis.[2] Sebagaimana diketahui bahwa corak maritim telah mewarnai sejarah panjang kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Aceh, Makasar, Banten dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa nenek moyang kita memang secara efektif memanfaatkan laut tidak hanya sebatas mata pencaharian dan aktifitas perdagangan namun sebagai simbol dari kekuatan kerajaan.

Garis waktu sejarah Indonesia merupakan gambaran yang jelas mengenai kerajaan bercorak maritim yang tipenya akan dibahas pada tulisan ini. Sriwijaya mempelopori kejayaan maritim di Nusantara pada Abad ke 7, politik ekspansi gencar dilakukan yang diawali di Sumatera. Sriwijaya mewajibkan kapal-kapal dagang dari seluruh bangsa untuk singgah di wilayahnya. Pada perkembangan selanjutnya, Majapahit memainkan peran yang signifikan didunia maritim. Kerajaan yang berada di Pulau Jawa ini menancapkan hegemoninya sejak abad ke 14 dengan mengirimkan banyak ekspedisi keluar daerah kekuasaannya. Kerajaan bercorak Hindu-Budha pada gilirannya digantikan oleh kerajaan bercorak Islam, yang penguasanya bergelar Sultan. Setelah kejayaan Sriwijaya, Majapahit didunia maritim selanjutnya estafet maritim Nusantara berpindah ke kerajaan Aceh, Makassar, Demak, dan Banten. nama yang terakhir inilah yang memiliki peran besar dalam perdagangan maritim, selain karena kekuatan armada lautnya, Banten juga didukung dengan posisinya yang berada diujung barat pulau jawa tepat dibibir Selat Sunda yang sudah terkenal sebagai jalur strategis perdagangan maritim.  

Pada kesempatan ini, penulis akan mengetengahkan suatu tema tentang perdagangan maritim di bumi Banten pada abad ke 16-17. Banten sebagai daerah dengan formulasi Kesultanan sejak abad 17 telah memperlihatkan kewibawaannya di dunia maritim. Kegiatan dagang, pandangan keluar memperlihatkan ciri kemaritiman di Banten. Kurun waktu dari abad 16 sampai 17 digunakan penulis oleh sebab pada dua masa tersebut telah terjadi dua masa, yakni kejayaan dan kemunduran. kekuatan maritim terutama saat Sultan Ageng Tirtayasa memimpin menjadi ciri masa kejayaan kesultanan Banten, sedangkan masa kemunduran saat Banten berada langsung dibawah kendali VOC. Namun yang ditekankan dalam tema kali ini lebih kepada upaya Banten dalam melakukan konsolidasi internal membangun suatu pusat perdagangan maritim yang penting di Nusantara selama lebih dari dua abad. Kita akan melihat bagaimana Pelabuhan Banten yang setiap hari sibuk mengatur singgahnya kapal-kapal dari seluruh dunia, kemudian ketersediaan pemukiman bagi para pedagang asing, maupun pedagang lokal, lalu terdapatnya gudang penyimpanan barang ekspor maupun impor yang menambah arti penting daerah yang saat masa kejayaannya dibawah pengaruh Islam.  

Masa awal berdirinya Kesultanan Banten

Sedikit akan dibahas mengenai awal berdirinya kesultanan banten dan melepaskan pengaruh kerajaan Sunda Pajajaran yang saat itu berkuasa. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang upaya Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) salah satu wali dipulau Jawa, bersama anaknya Hasanudin melakukan islamisai dibumi Banten. Setelah berhasil selama bertahun-tahun upaya tersebut dilakukan, Hasanudin memindahkan ibu kota dari pedalaman menuju pesisir. Ini memperlihatkan bahwa pada masa awal pendiriannya sudah mempertimbangkan pentingnya mendirikan pusat kota dekat pelabuhan sebagi pusat perdagangan maritim. 

Hasanudin dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten, sementara Sunan Gunung Jati diletakan hanya sebagai ayah yang bertugas membimbing putranya untuk mendirikan kerajaan. Hal ini terlihat dalam silsilah Sultan Banten yang selalu diawali dengan nama Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan Banten.[3]  Bagaimana kemudian Banten menjadi sebuah kekuatan yang terkenal dengan armada laut serta kekayaan yang ditunjukan dengan keramaian pelabuhannya merupakan pencapaian pada abad 16 hingga 17 yang sebab-sebab kemajuan itu tidak akan pernah tampak tanpa suatu usaha dari Hasanudin yang melakukan pemetaan dalam menempatkan pusat pemerintahan berada dekat dengan pelabuhan.

Entrepot terbesar dipulau Jawa

Banten adalah sebuah kota penting di daerah Jawa, hal ini sudah terjadi sebelum munculnya zaman Islam. Banten menjadi kota penting bagi perdagangan dan pelayaran. Pada waktu itu, kota pelabuhan Banten dibawah kekuasaan raja Hindu Sunda yaitu Pajajaran. Daerah ini dibawah kekuasaan adipati yang ditempatkan di bandar itu, dengan kotanya yang terletak di tepi sungai. Pada awalnya pusat kota Banten tidak berada di pesisir, akan tetapi terletak di suatu tempat yang dinamakan Banten Girang, walaupun Banten pesisir pada saat itu sudah merupakan pelabuhan dagang. Banten yang kemudian bergeser ke daerah pesisir adalah kota pelabuhan Banten setelah berkembangnya agama dan pemerintahan Islam.[4] Sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu bahwa transformasi dari banten girang ke pesisir lebih merupakan tanda tentang orientasi yang menentukan karakteristik kekuasaan baru.

Banten merupakan tempat dimana rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada awal abad ke 17. Banten merupakan sumber lada yang utama, yang bahkan dalam dunia perdagangan menjadi lebih penting dari pada rempah-rempah di Maluku.[5] Disana terdapat banyak pedagang asing dari Eropa. Belanda harus bersaing dengan Inggris dan negara-negara lainnya dalam menancapkan pengaruh dibanten. Posisinya yang strategis berada diselat sunda karena negeri ini dapat dicapai langsung dari laut. Gambaran mengenai letak strategis banten menjadi unsur kejayaan dibidang perniagaan. Itulah mengapa VOC sampai mendirikan markas besar di Batavia (Jakarta sekarang) yang secara geografis dekat dari banten. Lain halnya dengan Mataram yang lebih berada dipedalaman dan memiliki penghasilan beras sebagai ekspor utama kerajaan tersebut.

Dikuasainya Malaka oleh Portugis tidak menghambat perputaran barang yang dijual belikan, justru kemudian memunculkan berbagai macam pelabuhan dan kota-kota dagang baru di Nusantara antara kain  Makassar, Maluku, dan Banten. Dengan demikian ada perubahan alur pengalihan perdagangan yang  awalnya ke Selat Malaka kemudian menuju ke Selat Sunda.[6] Komoditas yang diperdagangkan dipelabuhan maupun didekat pasar pelabuhan beranekaragam, mulai dari keramik, perhiasan, rempah-rempah, kain, benda yang terbuat dari kayu, logam, dan lain sebagainya. Barang-barang tersebut sebagian besar untuk di Ekspor ke pasaran Asia. Dibagian selatan kota terdapat pemukiman orang-orang Cina, mereka memiliki gudang penyimpanan barang, budak, serta kapal-kapal dagang. Disana juga terdapat pedagang dari Bugis, Ternate, India yang turut meramaikan kegiatan perdagangan. Disisi lain, para pedagang dari luar Banten ini tergolong ramah pada warga pribumi, mengingat ketegasan penguasa setempat serta aturan-aturan yang tidak memberatkan yang menghimpun semua kepentingan dapat disatukan.    

Karakteristik Maritim Kesultanan Banten

Sejak berdirinya kesultanan ini sudah merupakan pelabuhan dagang, bahkan saat pengaruh islam belum masuk, daerah ini sudah dikenal oleh para pelancong dari mancanegara. Orientasi keluar sebagai pandangan yang diterapkan dalam Kesultanan Banten rupanya diikuti oleh keinginan kuat dalam mendirikan sebuah imperium perdagangan. Hal itu terlihat saat Banten berusaha menaklukan Palembang pada masa Sultan Abdulmufakir (1596-1651). Untuk mengahadapi serangan Banten yang beberapa kali menemui kegagalan, Palembang beraliansi dengan Mataram pada sekitar tahun 1626.[7] 
Pada awal abad ke-17 masehi, Banten telah merupakan tempat berniaga penting dalam perniagaan internasional di Asia. Kedudukan penguasa setempat ditunjang oleh kaum bangsawan yang mempunyai kekuatan lokal, sedangkan administrasi pelabuhan, perkapalan, dan perniagaan diurus oleh Syahbandar.[8] Demikian kuatnya pengaruh banten dalam dunia perdagangan maritim sehingga menarik perhatian para peneliti untuk membuat laporan-laporan lewat catatan kunjungannya ke Banten. Umumnya mereka menggambarkan Banten sebagai suatu kekuatan yang memiliki armada laut canggih pada masanya.

Asisten Cornelis De Houtman menggambarkan dalam laporannya yang mengatakan karakteristik pelabuhan banten yang berskala internasional, terdapat pembagian kerja bagi pedagang asing yang ada di Banten seperti orang-orang persia yang menjual Obat-obatan dan Permata, sementara orang arab lebih aktif dilaut membawa komoditasnya, dan orang barat yang umumnya berkepentingan membawa rempah-rempah. Tidaklah mengherankan apabila banten dikategorikan sebagai salah satu entrepot terbesar di Nusantara, karena disitu terjadi interaksi yang melibatkan pedagang dari bebagai bangsa sehingga dengan mudah kita menyimpulkan tentang kebesaran pelabuhan Internasional Banten telah ada sejak akhir abad 16 dan semakin berkembang pada abad ke 17.
Van Leur bahkan melakukan pendekatan sosiologi Max Weber untuk mengklasifikasikan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara menjadi dua, pertama bercorak maritim seperti Aceh, Banten dan Makassar, sedangkan lainnya bercorak Agraris seperti Mataram di Jawa. Banten juga pada abad ke 17 berperan sebagai entrepot  atau penyimpanan barang-barang komoditas impor dari berbagai wilayah untuk diperdagangkan. Sebagai entrepot terbesar dipulau Jawa yang hanya bersaing dengan Aceh di Barat serta Makassar di Timur memungkinkan Banten menjadi entrepot paling strategis karena tepat berada ditengah atau bahkan muka nusantara jika dilihat dari jalur laut Sumatera bagian barat.

            Pada saat Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya dinobatkan menjadi sultan pada 1651 maka dimulailah suatu masa dimana Banten mencapai Kejayaannya. Sultan baru tersebut memiliki nama lain yakni Sultan Abulfath Abdulfatah atau yang kelak lebih populer dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia merupakan Sultan Banten ke-5 sejak Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan. Ia mulai melakukan pembenahan diberbagai sisi kekuasaan kesultanan. Ia berhasrat membina mental para prajuritnya dengan mendatangkan ulama besar dari Makassar yakni Syekh Yusuf yang kemudian menjadi keluarga Sultan. Pada tahun-tahun pertamanya, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengembangkan lembali perdagangan di Banten. VOC yang saat itu sudah ada, merasa tersaingi karena kemampuan Banten dalam menarik para pedagang Eropa lainnya macam Inggris, Denmark, Perancis lewat sistem perdagangan bebas.

Sistem perdagangan bebas diyakini sebagai salah satu daya tarik tersendiri bagi para pedagang asing yang terdiri dari berbagai kelas untuk melakukan kerjasama dalam aktivitas perdagangan di Banten. Selain itu, di Banten beredar juga uang Banten, Belanda, dan Inggris.[9] Disamping menggunakan mata uang, para pedagang juga masih menggunakan sistem barter (tukarbarang) untuk mendapatkan lada dari Banten. Bagi kerajaan-kerajaan maritim, pelabuhan merupakan sumber  penghasilan yang amat penting bagi kerajaan, terutama penerapan bea cukai.[10] dan pajak yang menjadi sumber utama devisa kerajaan. Terang sekali bahwa perdagangan di Banten cukup dinamis, sementara VOC dengan sistem monopolinya mau tidak mau harus berjuang menyaingi Banten yang kian hari kian kuat baik dari aspek perekonomian, politik, dan angkatan perangnya.

Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan Bangsa-bangsa lain semakin ditingkatkan. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, Pegu, dan lainnya.[11] Demikian juga dengan bangsa-bangsa Eropa lain yang tadi sudah disebutkan. Hubungan persahabatan dibangun dengan Lampung, Cirebon, sementara dibagian timur, banten melakukan hubungan dibidang pelayaran dan perdagangan dengan Goa. Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai pemimpin yang aktif memelihara hubungan dengan Kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara maupun dengan Bangsa-bangsa asing diseluruh dunia. Disisi lain, ia meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya yakni melakukan gangguan terhadap markas VOC di Batavia dengan mengerahkan tentara, mengingat pada masa Sultan Ageng Tirtayasa ini punya kecenderungan enggan memperbaharui perjanjian dengan VOC seperti yang dilakukan dahulu.

Untuk mensejahterakan rakyatnya, ia melakukan penggalian pembuatan Irigasi untuk kepentingan pertanian. Sungai-sungai yang pada masa kepemimpinanya banyak dibuat terutama yang membentang dipesisir utara Banten. seiring dengan bertambah majunya kerajaan dan makmurnya rakyat, maka penyusunan kekuatan angkatan perang terus dilakukan. Sebagaimana tadi disinggung, bahwa armada laut yang dimiliki oleh Banten, merupakan yang terbesar di Nusantara saat itu. Kemajuan perdagangan menunjukan kekuatan yang dimiliki pula, itu sebabnya, Banten dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa telah menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional yang mahsyur di Asia.

Konflik dan masa kemunduran

            Adanya konflik internal yang dilatarbelakangi oleh perpecahan antara Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji dengan Ayahnya yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menghasut Sultan Haji agar merebut tahta dari ayahnya. VOC memberi jaminan akan membantu Sultan Haji dengan konsesi-konsesi yang dikemudian hari terbukti sangat memberatkan kesultanan Banten. syarat-syarat yang diminta oleh VOC diantaranya menyerahkan Cirebon, mebebaskan VOC untuk memonopoli perdagangan lada di Banten, perjanjian-perjanjian ini diterima oleh Sultan Haji, usaha penggulingan kekuasaan dilakukan, sempat menemui kegagalan namun atas siasat dan bantuan VOC maka Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap. Meski demikian perlawanan keras diberikan oleh Sultan Ageng yang dibantu oleh pasukan Makassar, Bali, sebelum akhirnya ditangkap dan diasingkan hingga akhir hayatnya.  Sultan Haji menjadi penggantinya sebagai Sultan Banten yang baru. Dia menyadari bebannya begitu berat, karena siap tidak siap, VOC akan menjadi tuannya yang baru.
Sejak saat itu, Banten mulai berada dibawah kendali VOC, tuntutan VOC terhadap Sultan Haji pada kenyataannya lebih besar dari hasil perjanjian-perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Mengingat VOC telah kehabisan banyak hal saat berusaha menaklukan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah kemudian menjadi awal kemunduran Kesultanan di Banten dari banyak aspek. Banten yang dulu terkenal dengan pelabuhan dagang serta pelayaran maritimnya perlahan menjadi daerah biasa dibawah kendali VOC.

Penutup

Dunia maritim sungguh akrab dengan kehidupan nenek moyang kita sejak jaman kerajaan. Banyak literatur menuliskan tentang peran kerajaan-kerajaan di Nusantara yang giat melakukan ekspedisi maritim berabad-abad lamanya. Sejak era Sriwijaya pada abad ke 7 hingga Banten pada abad ke 17 telah memberi sumbangan informasi penting tentang arus perdagangan maritim dengan dunia luar. Apa yang telah dicapai oleh Banten pada masa sekitar abad ke 16 sampai 17 pada gilirannya tidak berhasil dicapai oleh kerajaan manapun di nusantara setelah menyerahnya Banten.
Kemajuan dibidang ekonomi serta ditunjang dengan posisinya yang strategis membuat Banten cukup tersohor didunia perdagangan maritim. Kita bisa melihat bagaimana pendirian Banten dibawah Islam sudah memperlihatkan tentang orientasinya mengenai laut. Perpindahan dari Banten girang (didalam) ke pesisir menjadi bukti betapa kesadaran tentang dunia maritim begitu penting. Terlepas dari kemunduran yang disebabkan oleh banyak faktor salah satunya perpecahan yang dimotori oleh kepentingan imperialis barat, Banten telah menjadi daya tarik tersendiri didunia perdagangan maritim. Selat sunda yang persis berada dibanten sejak dulu telah ramai dikunjungi pedagang asing. Literatur barat menyebutkan tentang posisi strategis Sunda Strait yang menyamai Kanton di Cina dalam perdagangan klasik. Selat tersebut berada dibawah wilayah Kesultanan Banten dan memberi dampak pada kemajuan ekonomi maritim saat masa kejayaannya sekitar abad 16 sampai abad 17.




                                                               Daftar Pustaka

1. A.B  Lapian, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut , sejarah kawasan laut Sulawesi  abad XIX.                 Jakarta : komunitas bambu, 2011.
2. Michrob, Halwany and Chudari, catatan Masa Lalu Banten. Serang : Saudara. 1993.
3. Suroyo, Djuliati, Sejarah Maritim I, Semarang: Jeda, 2007.
4. Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) : Dari Emporium sampai               Imperium, Jilid I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1992.
5. Lubis, Nina. Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES, 2004.
6. Ricklefs,M.C. Sejarah Indonesia Modern, Jogjakarta : Gadjah Mada University Press, 2011 
7. Adrian B. Lapian. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta : Komunitas         Bambu, 2008. 


No comments:

Post a Comment