Thursday 31 December 2015

Urgensi studi sejarah perekonomian Indonesia












Oleh : Hasan Sadeli

Pendahuluan
Studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia dapat dikatakan masih berumur muda dibanding dengan studi sejarah sosial dan politik. Sejarah perekonomian di Indonesia mulai mendapatkan tempatnya pada awal dekade  80an.  Indonesia relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya seperti India dan Cina (sekarang Tiongkok) yang tetlebih dahulu memulai studi mengenai perekonomian.
Berbagai kajian tentang sejarah perekonomian Indonesia khususnya pada zaman kolonial mulai dibahas pada tahun 1983, yakni saat konferensi yang mengetengahkan sejarah perkonomian Indonesia pada masa kolonial diselenggarakan oleh Australian National University.  Dalam diskusi tersebut banyak disajikan kondisi perekonomian Indonesia dari pra kolonial sampai pada dampak kolonialisme terhadap perekonomian Indonesia. Dikatakn bahwa, ruang lingkup pembahasan meliputi sejarah perekonomian pra kolonial oleh Anthony Reid, Sistem Tanam Paksa Oleh R.E Elson dan dan Robert Van Neil, Land Reform oleh Jan Breman, Desa sebagai unit adminiistratif oleh Tjondronegoro, penilaian kembali tentang konsep involusi oleh J.A.C Mackie, serta dampak kolonialisme Belanda di Indonesia oleh Anggus Madison dan Douglas Paauw.  Makalah-makalah yang satu sama lain terpisah akhirnya dihimpun dalam buku Indonesian Economic History in The Dutch Colonial Era , buku tersebut diterbitkan oleh Yale University dan disunting oleh Anne Booth, O’Maley dan Anna Weidemann.
Perkembangan studi perekonomian di Indonesia selaras dengan perhatian para sejarawan indonesia yang pada mulanya masih disibukan dengan orientasi untuk mengedepankan penulisan sejarah yang bersifat Indonesiasentris pada tahun 1957 ketika seminar sejarah nasional ke-sati dilakasanakan. Sementara itu, persfektif yang lebih luas tentang penulisan sejarah di Indonesia mulai berkembang saat seminar sejarah nasional ke-dua diselenggarakan pada tahun 1982 dengan melakukan pendekatan-pendekatan ilmu sosial terhadap kajian sejarah (Socio Scientic Aproach) sehingga dapat dikatakan sebagai suatu periode baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Dapat dipahami bahwa era perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia baru dimulai pada sekitar dekade 80an mengingat khasanah tentang penerapan ilmu-ilmu sosial terhadap kajian ilmu sejarah baru dimulai pada tahun 1982. Pada tahun-tahun berikutnya, studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia berkembang seiring dengan kesadaran akan pentingnya menggali sebab-sebab, proses serta dampak yang ditimbulkan pasca aea kolonialisme di Indonesia.
Faktor-faktor pendukung yang melatarbelakangi perkembangan studi sejarah perekonomian di Indonesia ialah dibukanya arsip tentang adiministrasi pemerintah kolonial di Belanda dan Indonesia untuk umum. Hal tersebut memicu para sejarwan untuk lebih jauh meneliti tentang aspek-aspek perekonomian di Indonesia pada masa kolonial terutama saat sistem tanam paksa diterapkan di Indonesia, dengan begitu para sejarawan mampu mengungkap fakta-fakta tentang berlangsungnya sistem tersebut dan meletakannya dalam posisi penting sebab tanam paksa dianggap sebagai suatu kebijakan yang menimbulkan dampak mendasar dalam kondisi sosial serta ekonomi masyarakat Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Data-data statistik yang menghinpun gambaran perekonomian di Indonesia sebenarnya mulai dinisiasi oleh mantan kepala Biro Pusat Statistik (Central Kantoor voor de Statistiek) Hindia Belanda P. Creutzberg dalam usaha untuk melakukan kompilasi data statistik tentang sejarah perekonomian di Indonesia. Urgensi studi mengenai sejarah perekonomian sampai-sampai membuat India menjadikan studi tentang sejarah perekonomian mereka sebagai rujukan dalam membangun ekonomi dinegara tersebut. Namun demikian, karya mengenai studi sejarah perekonomian tidak sebanyak sejarah yang mengetengahkan persoalan politik sosial, hal ini karena kapasitas sejarawan yang kurang menguasai/mengolah penggunaan data statistik sebagai data yang penting dalam mengkaji sejarah perekonomian.

Telaah kondisi ekonomi petani pada masa Tanam Paksa di Jawa.
Sistem Tanam Paksa (Cultur Stelsel) yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 mengakibatkan kemiskinan struktural terutama bagi kalangan petani dipulau Jawa oleh sebab tuntutan memenuhi kas pemerintah Belanda. hasilnya ialah datangnyab kemakmuran bagi pemerintahan belanda dari ekspor hasil bumi di hindia belanda sejak Tanam Paksa diterapkan. Meskipun sumber-sumber mengenai periode tanam paksa dianggap kurang lengkap, seperti terbatasnya informasi yang mengulas secara utuh mengenai kondisi ekonomi masyarakat Jawa terutama yang terdapat dalam arsip yang umumnya merupakan kumpulan laporan pertanggungjawaban. Selain itu subjektifitas dari sumber-sumber yang memuat informasi periode tersebut tidak bisa dihindari mengingat adanya tarik-menarik kepentingan dalam membentengi program tersebut dari kritik yang dilancarkan oleh kaum liberalis.

Kemiskinan dan kemakmuran pada masa Tanam Paksa
Apa yang tersisa dari pelaksanaan sistem tersebut segera akan diketahui akibatnya. Para penduduk dipedesaan melakukan perpindahan besar-besaran untuk menghindari kerja keras menjadi salah satu sebab umum yang diderita kaum petani pedesaan pada periode tersebut. Keutungan yang dirasakan terbatas pada golongan bangsawan dari Cina, India, atau Arab, sementara golongan pribumi ialah mereka yang memiliki status sosial sebagai pejabat ditingkat desa hingga residen. Perpindahan penduduk membuat tanah-tanah kosong sehingga membuat kaya para warga yang tidak meninggalkan desa. Namun sekali lagi, keuntungan tersebut bersifat terbatas. Betapapun sumber yang menerangkan kondisi ekonomi petani dianggap samar, namun apa yang mendorong mereka (para petani) meninggalkan desa menjadi alasan mendasar untuk mengungkap betapa golongan yang melakukan perpindahan tersebut tidak mendapatkan kelayakan didesanya, seperti konsep “hijrah” sebagai jalan yang ditempuh untuk memperbaiki hidup.
Meningkatnya produksi dan laba yang menopang kerajaan belanda seluruhnya bersumber dari hasil Tanam Paksa. Komoditas yang dihasilkan seperti Kopi, Tebu, Lada, Teh dan lain-lain memperlihatkan adanya kebutuhan sepihak pemerintah kolonial saja. Kopi sebagai komoditas yang mendatangkan keutungan siginfikan, sementara tanaman tersebut hanya hidup disekitar daerah dengan suhu rendah yakni daerah dataran tinggi. Padahal umumnya masyarakatIndonesia saat itu tinggal didataran rendah sebagai petani. Jarak yang ditempuh tentu cukup jauh, dimadiun misalnya, para petani harus berjalan sejauh 7 km, itu yang terendah apabila dibandingkan dengan cirebon yang sampai menempuh 12 km. Kondisi memaksa petani untuk tinggal digubuk-gubuk darurat mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh apabila harus pulang-pergi. Kemudian komoditas penting lainnya ialah Tebu dan nila yang membuat petani harus membuka irigasi untuk lahan yang sebetulnya ditanami padi sebagai kebutuhan pokok.
Kendala-kendala yang banyak dialami oleh para petani Jawa memperlihatkan suatu kegetiran luar biasa pada masa Tanam Paksa. Belum lagi durasi jam kerja pada masa itu 4 atau 5 kali lebih lama dari jam kerja biasanya, atau sebelum tahun 1830 para petani tidak pernah bekerja selama itu. Hal ini bukan saja membuat petani teralienasi dari aktifitas sosial, namun lebih memperihatinkan ialah stamina mereka yang harus terkuras tanpa mendapatkan hasil yang sepadan. adanya musim tanam yang tidak seperti biasa sebagai akibat dari tanamn-tanaman yang menjadi prioritas tanam paksa telah menggeser posisi padi, sayuran, atau jagung sebagai bahan-bahan yang kebutuhannya bersifat mendasar.
Disisi lain, akibat yang ditimbulkan oleh tanam paksa membuat pendapatan masyarakat Jawa meningkat, beberapa contoh peningkatan tersebut terdapat di Pasuruan dan Surabaya tempat dimana tumbuhnya sektor ekonomi lokal berupa para pedagang swasta, bahkan didaerah kedu, kediri, dan pekalongan (Jawa Tengah) terjadi taraf kesejahteraan masyarakat, seperti pembayaran pajak yang bahkan sebelum waktunya. Semarang sebagai salah satu residen yang mengalami kehancuran ekonomi dengan cepat memulihkan perekonomian bahkan dengan salah satu yang termakmur di Jawa. Dikatakan bahwa telah terdapat pemerataan dalam peningkatan taraf  perekonomian dipulau Jawa pada tahun 1858-1868.   Angka-angka statistik yang memperlihatkan peningkatan pajak, pembayaran panen, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Secara umum dianggap suatu peningkatan kesejahteraan yang dialami para petani.

Konklusi 
Apa yang terjadi di Jawa pada masa berlangsungnya sistem Tanam Paksa mengakibatkan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat petani Jawa. Kemakmuran hanyalah dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat saja, adapun data yang menunjukan telah terjadinya kemakmuran sangat meragukan. Karena peningkatan taraf  perekonomian hanya didasarkan pada aspek perdagangan yang semakin tumbuh, sektor swasta tersebut tentu bukan proyeksi yang jelas untuk mengasosiasikan kemajuan perdagangan sebagai ekses dari sistem Tanam Paksa. Selain itu, bisa saja mereka yang tidak tahan dengan kondisi di pedesaan yang mengadu nasib dan menghindari kerasnya hidup sebagai petani yang imbalannya jauh dari nilai kerja itu sendiri.
Artinya, ada yang tersisa di desa. Mereka yang tinggal disana tetap mengalami har-i-hari yang berat, kelompok petani yang mau tidak mau, sadar atau tidak telah memberikan daya upayanya hanya untuk kepentingan golongan elite saja. Sementara jangankan upah yang sepadan, mereka bahkan harus kehilangan kemakmuran dari sektor petanian seperti padi, jagung sebagai bahan kebutuhan pokok.  
Itikad baik pemerintah kolonial misalnya dalam memberi suntikan modal sangatlah sedikit bahkan tidak efektif. Sudah pasti keberhasilan yang dirasakan oleh pemerintah Kolonial pada masa Tanam Paksa tidak berbanding lurus dengan kondisi ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Karena betapapun banyaknya mereka yang hijrah kedaerah-daerah ramai seperti karesidenan, semata-mata hanya untuk menghindari kerja paksa saat itu. Selain itu, kemiskinan struktural yang terjadi diperkotaan dewasa ini tidak lain adanya eksodus dari warga dipedesaan yang datang kedaerah kota yang umumnya merupakan daerah karesidenan. Karena kota pada prinsipnya ditegakan oleh pemerintah kolonial didesain untuk kelas menengah keatas. Sementara para petani dipedesaan sekali lagi, menjalani hari-hari yang kelam mungkin terkelam selama masa hidupnya.   

  

Episteme Foucalt; Hubungan antara Pengetahuan, Kuasa dan Kebenaran.


Oleh : Hasan Sadeli
Michael foucalt ialah seorang ilmuwan postmodern  tersohor sama dengan tokoh postmodern lainnya seperti Derrida, Lyotard, Lacan yang mencurahkan perhatian terhadap pengisian ruang-ruang kosong yang tidak terjamah oleh modernism. foucalt  menemukan episteme dan menyamakannya dengan system pemikiran. Ia berusaha mengklasifikasikannya dalam beberapa kurun waktu tertentu. Foucalt memiliki asumsi dasar mengenai episteme dengan defines-definisi mendasar serta satu sama lain memiliki korelasi (terhubung).
Pembagian  episteme, dalam pandangan foucalt terdiri atas tiga bagian yaitu:  episteme Abad Tengah, episteme Klasik dan episteme Modern. Ia mendefinisikan bahwa arkeologi pengetahuan berfungsi mengungkap makna terdalam atau bahkan tersembunyi dari realitas. Ia menegaskan bahwa episteme memiliki peran sebagai mekanisme dan substansi yang lahir dari pikiran dan tindakan manusia sebagai arus yang dapat mengarah pada kemajuan peradaban atau bahkan pada perang. Ia mengatakan bahwa setiap episteme berbeda tergantung pada periodenya masing-masing.
Arkeologi pengetahuan mendapat posisi penting dalam kajian foucalt dalam menggali makna terdalam atau bahkan tersembunyi dalam realitas. Karna episteme sendiri berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk "menempatkan sesuatu dalam kedudukannya. Episteme tidak saja bersifat kritis, namun juga evaluatif dalam memberikan gambaran tentang unsur-unsur yang berada dibelakang/mewakili realitas. Dalam memberikan sebuah wacana,manusia membutuhkan metode-metode guna mendukung diterapkannya teks dalam masyarakat. Teks sendiri dalam pandangan tokoh postmodern merupakan realitas yang diketahui dan disepakati bersama. Jadi teks tidak saja sebatas apa yag tertulis, karena wacana memegang kunci yang hanya bisa diungkap melalui pengamatan episteme.
Pengetahuan pada gilirannya membuat manusia memperoleh kekuasaan. Kekuasaan dapat mendelegasikan kebenaran dalam masyarakat yang terdpat didalamnya. Foucalt meyakini bahwa relasi antara pengetahuan dan kuasa tidaklah dapat diabaikan. Wacana kebenaran pada dasarnya menurut pandangan foucalt dibidani oleh mekanisme kuasa. Objektifitas kebenaran ersifat jamak, ia bukannya berdiri sendiri, ia lahir dari sebuah proses.
Rumus internal yang berkaitan satu sama lain memunculkan pandangan foucalt tentang wacana yang sebenarnya. Diskursus yang mengetengahkan wacana yang dalam definisi luas dapat berarti aturan yang direpresentasikan lewat tanda-tanda. Dari relasi pengetahuan-kuasa serta ditopang dengan wacana tertentu sehingga melahirkan kebenaran. Foucalt tidak memposisikan kebenaran dalam pengertiannya ini sebagai kebenaran yang dating dari tuhan, namun kebenaran yang didahului oleh proses pengetahuan-kuasa. Pendek kata kebenaran disini ialah hasil produksi manusia.
Pengetahuan ialah daya pikir seseorang yang memunculkan ide, system, idiom budaya, yang semuanya didorong atas kehendak kuasa. Disis lain, kekuasaan dapat menciptakan perkembangan tentang pengetahuan yang betumpu pada kebenaran. Ketiganya akan disepakati dalam masyarakat kemudian melembaga dengan system-sistem tersendiri. Dari sinilah kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang telah disebarkan oleh wacana.










Wednesday 9 December 2015

Party and Society



PARTY and Society

Dalam suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi, rakyat memiliki fungsi sebagai subjek yang menentukan, misalnya dalam proses pemilihan umum, rakyat punya hak untuk menentukan siapa menurutnya yang pantas untuk dipilih; tentu yang dipilih disini ialah mereka yang sudah disiapkan dan disahkan oleh suatu sistem yang penyelenggaraannya dilakukan oleh komisi pemilihan umum. Dalam tataran teknis, sistem ini menjamin rakyat mempunyai legitimasi dalam menentukan aspirasi kepemimpinan yang dicita-citakannya. Tidak hanya itu, diantara mereka bahkan terlibat aktif menjaring dukungan untuk calonnya, saya termasuk beberapa kali menjadi simpatisan salah satu calon, kadang kita tidak melihat partainya, itu kurang penting, meskipun ada-lah satu atau dua partai yang secara pribadi kurang sreg, entah karena ideology atau slogan-slogannya, ataupun karena partai bersangkutan punya sejarah yang kurang baik, tapi toh secara umum mereka sama-sama partai.
Setidaknya untuk kasus Indonesia, secara umum partai tetaplah partai, no ideology, no regeneration, and no function, hehe. Maafkan, yang terakhir itu bohong, partai di Indonesia tentu saja memiliki fungsi yang vital sangat, sebab partai kan pilar demokrasi, dan karena itu keberadaanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan suatu negara, bahkan dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Dalam teori fungsionalisme-nya Durkheim, dijelaskan sistem dan sub sistem, bahwa masyarakat disatukan dalam suatu struktur dengan turunan yang tiap-tiapnya memiliki fungsi. Seperti tubuh manusia yang terdiri dari macam-macam organ yang satu sama lain saling berhubungan erat, jika salah satu kehilangan fungsinya, maka akan memiliki dampak pada sub sitem atau organ lainnya, nah partai disini kira-kira jantungya-lah, kebayang-kan kalau sampai mengalami disfungsi? Hehe.
Ini musim pilkada, tingkat kabupaten dan provinsi yang secara serentak dilakukan dihampir seluruh wilayah Republik Indonesia Tercinta (RCT) without I. saya sendiri tinggal di Banten, kabupaten Serang tepatnya, alamat yang sebenarnya tidak spesifik untuk ukuran saya sebagai orang kampung yang kampungan, ya namanya juga kampungan, bukan bagian dari proses globalisasi jadi tidak terbiasa menjelaskan secara runtut, detail, sistematis, atau apalah itu, saya juga kurang faham. Dan lagi, tulisan ini juga tidak punya tujuan yang jelas, kebiasaan saya begitu.  Saya hanya turut berpartisipasi berbagi kegembiraan berdemokrasi, ini momen yang tepat untuk bersuka cita, sebab pada hari inilah rakyat Indonesia benar-benar menjadi subjek untuk sekali lagi menentukan siapa dan apa saja yang dikehendaki dalam konteks wacana kepemipinan daerah, walah barusan saya ngomong apa ya.  
Kata “benar-benar menjadi subjek” diatas kok seperti diletakan dalam posisi yang sangat-sangat istimewa? Iya saya juga kurang tau kenapa ybs menulis begitu, mungkin karena ini benar-benar istimewa, menyangkut momen yang langka, sebagaimana halnya hari raya yang hanya satu tahun sekali, kalau parameternya waktu, ini (pilkada) bahkan lebih dahsyat keistimewaanya, karena hanya ketemu sekali dalam lima tahun. kiranya pantaslah kalau perasaan rakyat saat ini tengah berbunga-bunga, tapi sayang kok dari semalam tidak terdengar suara-suara petasan yang biasa membahana pada momen-momen istimewa, oh iya mungkin demikian sakralnya sehingga butuh kekhusyukan.
Fungsi simbolik
Judul diatas ialah pantulan dari nilai penting partai dalam konsep negara. Saya suka nyinyir dengan pendapat orang yang mendiskreditkan partai, sebab orang seperti itu tidak mengerti partai, jangankan mengerti, mengenal saja tidak, itu sebabnya orang yang merendahkan partai sama dengan tidak mengenalnya, tidak memahaminya, dan tentu tidak mencintainya. Jadi tolonglah luangkan kelonggran waktu dinegara yang serba longgar ini untuk mengenal partai lebih jauh, sebab tak kenal tak kenyang, hemm, maksudnya tak sayang.  Partai merupakan satu-satunya kebenaran dalam demokrasi, ini jangan ditolak, ini adagium. Partai sebagai wadah lahirnya kepemimpinan disemua leve patut dihormati keberadaanya. sebab fungsi mereka mendistribusikan tugas kepada kader-kadernya sangat jelas, meskipun kebanyakan bersifat deterministik.  
Pada saat pilkada, meskipun kebanyakan orang melihat orangnya atau calonnya, tapi tidak akan ada calon tanpa partai, meskipun ada juga yang independen, tapi kebanyakan mereka diusung partai. Rakyat tidak begitu peduli dengan partainya, yang ia lihat melulu soal calonnya. Padahal dalam konteks politik rahim sicalon ialah partai. Karena partai yang melakukan seleksi, sebelum menentukan, dan partai mengatur proses sedemikian rupa bagaimana menyiapkan kader sebagai pemimpin disemua level seperti disebutkan tadi. Saya kira ke-alpa-an rakyat yang mengesampingkan partai dan lebih melihat figur bukan merupakan konsekuensi dunia demokrasi, ini tidak lain karena sifat kepahlawanan partai yang rela kepopulerannya diambil alih oleh individu. Tadi itu, mereka capek-capek memproduksi individu, malah individu yang dicintai juga terkenal dan bukan sebaliknya.
Adakalanya pahlawan memang benar-benar tersembunyi, ia rela tidak disanjung, tugasnya hanyalah ada ketika dibutuhkan, dan berlalu tanpa pamrih apapun. Demikian juga dengan partai, apabila ada seorang bupati maupun presiden yang sangat dicintai rakyatnya, mereka lupa dari partai mana ia berasal. Dalam konteks kepemimpinan ini bisa dibenarkan, karena setelah mereka jadi gubernur, bupati maupun presiden mereka harus melepaskan atribut partainya, mereka miliki rakyat sepenuhnya. Baru ketika ybs purna tugas, ia kembali menjadi milik partai.  Yang jadi pertanyaan apakah partai-partai di Indonesai sudah sedemikian mencerna dan mempraktekan hakikat keberadaanya? Atau justru partai di Indonesia sama sekali tidak memiliki konsep dan tujuan sebagaimana melakukan reproduksi nilai-nilai dasar kebangsaan dan memproduksi nilai baru yang terbukti berguna?
Kita mesti sadar bahwa apapun selain tuhan semua adalah alat, apakah itu partai, negara, bahkan surga skalipun. Namun sarana untuk membangun konsep diri sudah ada, sarana untuk membangun partai juga ada, demikian untuk membangun negara-pun sudah ada, sebab sistem apapun namanya yang mengisinya itu manusia, negara tidak begitu penting ketika yang mengisinya hewan, sistem sebaik apapun sama sekali tidak berguna jika si-kerbau yang menjalankannya. Orang kita ini untuk memperbaiki negara sulitnya bukan main, beberapa kali melakukan pemilihan umum tapi begitu-begitu saja, yang diributkan sistem-sistem dan sistem, yang miskin mereproduksi kemiskinannya, yang kaya mereproduksi kekayaannya, demikian juga yang bodoh. Dalam bahasa sederhana, kita ini untuk maju satu langkah saja susah sekali.
Kedataran berfikir
Negara kita ini sudah mendewakan sistem sedemikian rupa, dan lupa meletakan pada tempat yang seharusnya, pemikiran kita sumbangkan pada sistem dan membiarkannya bekerja, dari situ kita merasa tidak usah berfikir lagi. Disini saya tidak menekankan pada uapaya-upaya bersifat metodologis, atau yang dipahami sebagai buku petunjuk dalam praktik bernegara yang tepat. Sebaliknya, seharusnya kita mencurahkan pada rasionalitas terhadap upaya ilmiah, sebuah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang berfikir bahwa realitas adalah lebih dinamis ketimbang sistem, maka penekanannya terletak pada sejauhmana jangkauan pemikiran manusia untuk mengatasinya bukan pada sejauhmana sistem mengatasinya. Emha ainun najib pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Indonesia kontemporer ialah itu-itu saja!   
Ini bukan soal partai, juga bukan soal negara semata, tapi human being   ialah kata kuncinya. Kitalah yang harus memacu perbaikan lewat pikiran dan tindakan-tindakan yang mengarah pada skala kolektiv. Pemilihan umum seagung apapun konsepnya tetap melahirkan kepemipinan yang begitu-begitu saja, partai sekuat apapun memegang ideology akan tidak berguna jika kadernya mengarahkan tindakan hanya pada benda mati. Hampir tidak ditemukan individu didalam partai yang katanya sangat penting dalam konsep bernegara ini memiliki tindakan sosial yang mengarah pada kepentingan orang banyak. Semua harus ditopang dengan cara sederhana tanpa hentinya melakukan ilmu pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi administrasi yang mencakup keluasan konsep penyelenggaraan pemerintahan, dan menyingkirkan keserakahan personal dalam membangun kesejahteraan umum. Penggalan kalimat belakangan demikian klise, saya juga malas mencantutnya, tapi tuntutan ilmu pengetahuan yang itu-itu saja ya memang begitu.
Kaitanya dengan pemilihan, saya tergolong orang yang optimis bahwa semakin kedepan pagelaran hajat demokrasi akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, rakyat sudah sedemikian jenuh. Jika bukan karena kerja keras media dalam memanas-manasi atau lebih tepatnya mengangkangi publik dengan slogan seolah-olah rakyat benar-benar butuh pemimpin baru-lah apalah, toh di Indonesia yang ada hanya merah ketika pagi tapi jadi putih saat siang, lalu jadi hitam jelang sore, malamnya jadi kelabu, Its “branding” guys. Branding? Berarti monyet juga bisa dijadikan manusia dong? Ya bisa, tapi tidak se ekstrim itulah.
Pencitraan sedang marak-maraknya, media jadi pelopor desain tersebut, outputnya rakyat akan secara berangsur-angsur kehilangan selera memilih calon pemimpin yang ideal, ini sangat disayangkan tapi alat ukur mengantarkannya pada situasi tersebut. Memang selain rasulullah tidak ada lagi sosok pemimpin yang azzijun alaihi ma anitum haritsum alaikum bil mu'minina roufur rohim, yakni yang hatinya penuh kasih sayang, dan berat terhadap penderitaan rakyat dan umatnya.  Pada akhirnya tidak ada lagi yang penting selain terus menerus berhubungan dengan tuhan dan meneladani rasulullah sebagai mahluk mutiara terbaik ciptaannya, diluar itu, semuanya harus disikapi biasa-biasa saja. Jangan risau bupati berganti, gubernur ganti, presiden ganti, atau negara sekalipun, karena kita bukan menggantungkan diri kepada semua itu, sekaya dan seberpengaruh apapun kapasitasnya. Ok lah keep calm.    

Wednesday 23 September 2015

Jalan sunyi demokrasi

oleh : Hasan Sadeli

Manusia dewasa ini jarang memandang hal yang penting sebagai hal utama. Mereka umumnya melihat yang justru tidak penting sebagai hal yang wajib, termasuk dalam menggunakan sudut pandang. kalau sudut pandangnya yang keliru ini masih  dianggap wajar, namun apabila cara pandang yang ia pilih sudah dianggap final dengan terlebih dahulu memverifikasi berbagai sudut pandang, maka ini yang justru luar biasa.  Keluarbiasaan inilah yang sudah dicapai oleh kebanyak orang saat ini, mereka merasa sudah mampu merancang metode verifikasi dengan kekuatan pikiran yang diyakini paling objektif berlandaskan pada budaya formal kunstitusional lewat UUD, PERPRES, PERGUB, PERBUP, PERDA dan Perdes sekalipun.

Sebenarnya semua itu sah-sah saja, menggunakan penilaian tentang realitas melalui pijakan ilmu budaya bisa, sudut pandang hukum bisa, moral bisa, apapun saja bisa. Hanya saja adakah kita tahu bahwa aspek-aspek tadi sudah benar-benar kita fahami, tidak usah secara komprehensif, minimal mengerti batas-batas bahwa ini soal politik, itu soal budaya, lainnya soal hukum. Sebab, ini soal epistemologi yang terus kita abaikan, akhirnya semua jadi campuraduk tidak karuan. Kalau kita meneruskan kebiasaan ini sebagai hal yang wajar atau lebih parah lagi menganggapnya sebagai dinamika kebudayaan masyarakat demokrasi, lantas dimana letak akal dalam ruang demokrasi? Pernahkah kita bertanya tentang bagaimana bisa demokrasi yang dikenal menjunjung keterbukaan dan kebebasan justru pada realitasnya melahirkan pengekangan pikiran? Misalnya gini, sudah tahu pemilu hanya melahirkan yang itu-itu saja, tetap saja kita selenggarakan.

Akan tetapi demokrasi punya teaternya sendiri, entah itu lewat pemilihan umum, kebebasan pers, kebebasan berpendapat, mengupayakan tegaknya supremasi hukum, mengupayakan peningkatkan kesejahteraan dan sekontainer misi mulia lainnya. Demokrasi memang luar biasa hebat, mampu memikul beban itu sendirian. Saya benar-benar salut, sebuah keberanian yang belum tentu mampu diemban oleh siapapun juga, god bless you democracy. Perkenalan pertama yang mengagumkan, setidaknya itulah kesan yang membekas, kini muncul kerinduan, rasanya sudah lama kita meninggalkannya (si demokrasi) dan mempercayakan sepenuhnya urusan bangsa dan negara ini padanya. Saya yang kecil ini merasa rindu untuk bertemu dengannya, mula-mula saya ingin bertanya kabar, apakah ia baik-baik saja atau malah sedang tidak enak badan, apakah masih percaya diri untuk mengurusi negeri ini, atau sudah mulai minder, tapi bodohnya saya ini, demokrasi bukanlah manusia, ia abstraksi pemikiran (sudah pemikiran abstrak lagi).  

Malangnya bangsa ini, menyerahkan begitu banyak urusan yang mestinya diurusi oleh otentisitas keberadaan manusia kepada sesuatu yang abstrak keberadaanya. Lebih malang lagi kalau ternyata disaat yang sama kita terlambat tahu, apakah saat ini si demokrasi sedang meratapi kebodohannya dahulu saat menawarkan kesanggupannya sedemikian rupa untuk mengurus bangsa ini, atau malah dia sedang menertawakan kita. Entahlah, hanya tuhan dan si demokrasi sendiri yang mengetahuinya. Tapi saya enggan untuk membawa-bawa tuhan pada perkara ini, bukan karena saya sekuler atau ateis, tolong  jangan puritan,dulu, sebab ini konsensus antara kita dengan si demokrasi, dan sejauh keyakinan kita (kalau saya terlalu subjektif) saat konsensus itu dilakukan adakah kita melibatkan tuhan? jangankan tuhan, ulama-ulama saja seperti santai-santai begitu (jika tidak ingin mengatakan tidak ngeh).

Awalnya saya tidak ingin begitu banyak membicarakan si demokrasi, namun karena ia bukan manusia, ya to be continue saja. Tentang si demokrasi ini, saya (yang polos) pernah bertanya kepada salah satu katakanlah senior saya di organisasi, apa bedanya demokrasi dengan musyawarah? Senior saya mengumpamakan demokrasi dengan kisah lima orang sahabat yang hendak bepergian ke suatu daerah yang sama, mereka berselisih pendapat, yang dua ingin lewat rute A, yang tiga ingin lewat rute B, dengan asumsi masing-masing, tapi karena yang ingin lewat rute B ini tiga orang, maka yang memilih jalur A mengalah dan ikut jalur B. Lalu musyawarah mufakat diumpamakannya dengan kisah yang sama, tapi saya aransemen sedikit, yang tiga orang ingin lewat rute A, sedangkan yang dua orang ingin lewat rute B, akhirnya diputuskan yang tiga orang tetap melewati rute A, sedang yang dua orang lewat rute B, mereka berlima melalui jalan yang berbeda namun dengan tujuan yang sama.

Demikian perumpamaan singkat mengenai  demokrasi dan musyawarah, semestinya diuraikan diferensiasi antara keduanya, mulai dari etimologi, terminologi, latar historis, sampai aplikasi sosial. Namun karena perumpamaan tadi dirasa mewakili simplifikasi dari keduanya, maka saya tidak merasa perlu untuk mengurainya lebih jauh, selain karena perbedaan keduanya sangatlah sederhana, perumpamaan tadi juga dimaksudkan untuk memperjelas keyakinan tentang kenyataan bahwa kemampuan berfikir pembaca yang budiman jauh diatas saya yang tidak ada apa-apanya ini. Demikianlah perbedaan ditakdirkan ada, sementara praktek demokrasi menjamin persamaan dihampir banyak bidang, demokrasi bahkan menopang kompleksitas ilmu yang cakupannya lebih luas, hal itu tersebut terbukti dengan realitas bahwa demokrasi merupakan pemenang dari semua ideologi yang pernah ada.

Didunia ini terdapat beberapa ideologi yang dalam sejarahnya berbeda satu sama lain dengan demokrasi, seperti sosialisme misalnya dari filsafat ekonomi populer marx dan engels yang kelak menginspirasi kelahiran komunisme sebagai wacana filsafat politik guna mengaplikasikannya kedalam sebuah negara.  Pertentangan dua ideologi besar tersebut mencapai puncaknya saat terjadi perang dingin yang memakan waktu hampir empat dasawarsa. Dalam hal ini, tidak usah dibahas panjang lebar karena semua tahu siapa yang “memimpin” dunia saat ini.  

Demokrasi sendiri memiliki beberapa bentuk, paling tidak itulah yang pernah diterapkan di Indonesia, misalnya demokrasi terpimpin saat era Presiden Soekarno yang meruncingkan perbedaan pendapat dengan Bung Hatta dalam memandang konsep demokrasi. Hatta sepertinya memegang falsafah “lain ufuk lain belalang” , bahwa popularitas demokrasi lahir dan berkembang di barat, namun tidak kemudian diadopsi 100% sebab ada perbedaan budaya yang membatasi. Dalam hal ini pandangan Hatta dapat kita lacak dari karyanya berjudul “demokrasi kita” yang  menunjukan betapa hatta memberi ruang interpretasi sosiologis dalam penterapan sistem demokrasi di Indonesia.  

 Demokrasi sebagai primadona akhirnya jarang dikritisi oleh sebagaian besar manusia, tidak terkecuali masyarakat di Indonesia. Mereka yang tergolong rakyat biasa, pegawai swasta, pejabat pemerintahan, punya teriakan yang sama dalam menjunjung demokrasi. Demokrasi ialah produk kebudayaan, dan setiap kebudayaan mempunyai strukturnya sendiri. Saya melihat bahwa demokrasi memiliki struktur yang mapan sedemikian rupa, orang di semua level menganggap demokrasi sebagai hal yang pantas untuk dipertahankan. Masalahnya ialah demokrasi melahirkan pemikiran yang sangat strukturalis, mulai dari falsafah hingga sistemnya terlihat lebih menitikberatkan pada peran dan berjalannya sistem kebudayaan; bukan pada kesadaran dan kecerdasan manusia sebagai subjeknya. 


            

Nilai Banten dimata penggede dan masyarakatnya

oleh : Hasan Sadeli


Telah begitu banyak karya-karya ilmiah yang mengetengahkan banten sebagai objek kajian dari berbagai disiplin ilmu. Banten dari era kesultanan, kolonialisme, sampai sekarang, rupanya masih menarik minat para akademisi untuk terus mengkaji dinamika diprovinsi yang berdiri pada tahun 2000 ini. Intensitas tulisan yang mengkaji banten pada masa kontemporer tidak kalah ramainya dengan banten dimasalalu. Ini membuktikan bahwa banten selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan, terkait dinamikanya atau lebih spesifik keruwetan problem yang setia membelitnya.

Fakta bahwa Provinsi banten merupakan daerah yang strategis, selain karena dipengaruhi letak geografis sebagai penyangga Ibu Kota negara, banten juga memiliki kekuatan ekonomi industri dimana terdapat perusahaan barang dan jasa masing-masing terkonsentrasi di kabupaten tanggerang, kabupaten serang, serta kota cilegon. Banten memiliki tiga pintu sarana transportasi baik darat, laut dan udara sebagai jalur perekonomian  penting.  pertama, jalur kereta api di kabupaten lebak sebagai  jalur distribusi bahan baku industri  seperti batu bara. kedua, pelabuhan merak dicilegon dan bandara Soekarno Hatta yang terletak di tanggerang sebagai pintu masuk para investor baik domestik maupun mancanegara. Kemudian apakah fakta tentang posisi strategis itu bisa dijawab dengan prestasi nyata daerah? Nyatanya masih belum, seperti apa yang pernah diutarakan dalam Akrobat Pembangunan karya Dahnil Anzar, bahwa kemajuan banten hanyalah efek diaspora pembangunan nasional.  

Ahistoris

Memori yang menghantarkan kita tentang banten dengan formulasi kesultanan yang mencapai masa kejayaanya saat sultan ageng tirtayasa memimpin pada abad ke 17 dan menentang keras penjajahan belanda. Hiruk pikuk ekonomi telah berlangsung sejak lama dibanten, terutama kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh banten dengan daerah-daerah lain membuatnya terkenal sebagai daerah yang maju akan perekonomiannya. Sangatlah wajar apabila ekspektasi dimandatkan terhadap para penggede di banten. Kini banyak orang yang membincang banten dengan nada miring, skeptis, tidak pelak ini membuat bising telinga orang-orang banten, namun apa boleh dikata, orang banten sendiri sadar bahwa itu kenyataan, kasus-kasus yang membelit tidak saja seputar korupsi sebagai mainstrem topic paling aktual, namun lebih dari itu ada nilai yang telah mencair, mulai mengental dalam memori kolektiv masyarakat banten terutama dalam menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah. Tanpa disadari, kekentalan itu akan menggiring pada kebekuan.   

Jikalau banten saat pertama kali terbentuk didasarkan pada fakta historis, barangkali Lampung juga akan menjadi bagian dari banten. Namun saat lampung sudah berdiri sebagai provinsi, pada saat yang bersamaan banten termasuk kedalam provinsi Jawa Barat. Dalam konsep negara maritim, laut tidak dipandang sebagai pemisah, melainkan sebagai penghubung. Dalam hal ini rupanya pemerintah pusat lebih melihat aspek geografis ketimbang aspek historis. Namun demikian bukan itu yang akan kita jadikan permasalahan, lebih-lebih memposisikannya sebagai kambing hitam. Ada hal paling substansial yang harus segera dibenahi yakni membangun kembali memori kolektiv akan kejayaan banten melalui kesadaran akan pentingnya menjaga serta melestarikan peninggalan-peninggalan bersejarah di banten.

Karena begitu banyak hal-hal yang  dilupakan dalam memori kolektiv kita tentang peran kesejarahan.  Seandainya, banyak diantara kita masyarakat banten yang mempelajari peran kesejarahan banten dalam konstelasi etos moral masa kini meski tidak kmoprehensif, setidaknya dapat menghindarkan banten dari stigma daerah yang dikelola secara oligarki dan hanya melahirkan korupsi, bahkan lebih dari itu, banten dekat dengan model state of nature –nya Thomas Hobbes yakni keadaan alamiah yang tidak memiliki pijakan historis sebab konsep-konsep tersebut tidak pernah didasarkan pada fakta-fakta sejarah yang sesungguhnya pernah, sedang atau akan terjadi. Keadaan itupula yang mendominasi manusia untuk selalu mengutamakan hawa nafsu untuk diri dan golongannya dengan merampas sesuatu yang sesungguhnya hak rakyat.

Sebuah model dengan istilah populer Homo Homini Lupus yang berarti manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Kita tentu tidak ingin banten dalam keadaan alamiah versi Hobbes tadi, adanya pemerintahan semestinya membuat banten semakin beradab bukan malah kembali kepada keadaan alamiah sebelum adanya pemerintahan yang didominasi oleh keserakahan tanpa pijakaan apapun. Apakah itu hanya sebuah argumentasi atau memang kenyataan, Gejolak yang membumbui perjalanan provinsi muda ini begitu miris, para penggedenya terlibat skandal yang tidak lain diakibatkan oleh romantisme kepentingannya sendiri. Tak pelak banten hanya menghadirkan kepemimpinan yang jauh dari kiblat masalalunya sebagai banten yang perkasa dan dihormati, sekarang keperkasaan itu berdiri diatas penderitaan rakyatnya. Karena tidaklah benar bahwa banten dekat dengan identifikasi keadaan alamiah seperti gambaran Hobbes, mengingat banten berpijak pada sejarah, karena memang memilikinya, namun sejauh mana menmahaminya? hanya kita (masyarakat banten) yang benar-benar mengetahuinya.

Menghadirkan Kembali Sejarah

Dalam Refleksi Tentang Sejarah Karya F.R Ankersmit dibahas soal mengahdirkan sejarah sebagai suatu refleksi yang menyegarkan memori kolektiv suatu masyarakat akan sejarahnya. Adalah R.G. Coolingwood seorang filsuf sejarah abad 20 melalui re-enactment of the past atau menampilkan kembali sejarah untuk mengetahui masa silam melalui pementasannya dimasa kini. Menampilkan kembali bukan hanya sebatas lisan namun ialah wujud asli dari peninggalan-peninggalan sejarah yang tak luput oleh jaman. Ada banyak hal tentang urgensi berpedoman pada sejarah, disamping menumbuhkan rasa kebantenan kita.

Kita tidak bisa sepenuhnya membebankan kesadaran ini hanya pada golongan akademisi, budayawan, sejarawan dan seterusnya. Akan lebih bijak jika pemerintah pro aktif dalam melakukan tindakan nyata dan tidak hanya sebatas sosialisasi serta kalaupun diperhatikan melalui program perawatan dan semacamnya harus sampai tuntas. Jika kita hendak mempertanyakan tentang apa relevansinya menjaga peninggalan-peninggalan bersejarah baik yang dari jaman kesultanan maupun saat kolonialisme dalam konteks kekinian? Tentu saja ada, bahkan banyak sekali nilai manfaat yang didapat. Salah satu manfaat terpenting ialah tumbuhnya rasa memiliki sebagai orang banten, menghargai perjuangan para leluhur dengan meneladani perjuangannya dimasa kini.

Yang melegakan ialah upaya dari kalangan sejarawan dan budayawan banten yang tak kenal lelah terus berusaha mengampanyekan pentingnya mengetahui sejarah serta merawat peninggalannya. Beberapa waktu yang lalu pada april 2014 diselenggarakan World Heritage Day (Hari Pusaka Dunia) di Surosowan kota Serang. Dari sana pemerintah provinsi Banten yang dihadiri oleh Wakil Gubernur Rano Karno (sekarang gubernur resmi) sepakat untuk melestarikan sisa-sisa peninggalan bersejarah dibanten. Mudah-mudahan ini tidak sekedar romantisme sejarah.

Kita ingin memandang setiap usaha, seksecil apapun sebagai ikhtiar untuk kabulnya doa bersama tentang menghidupkan kembali nilai luhur banten secara keseluruhan melalui sejarahnya. Kita tidak ingin menyaksikan masyarakat banten buta terhadap sejarahnya, sehingga mendekatkan pada kebutaan identitasnya. Memberikan senyum ramah kepada para pengunjung yang datang ke situs-situs bersejarah sudah merupakan satu langkah maju dari kepedulian kita terhadap sejarah.  Peran serta seluruh komponen masyarakat banten dalam menjaga, melestarikan dan memahami sejarah sebagai sebuah nilai pada gilirannya membuka cakrawala tentang keaslian diri kita. Seperti yang secara eksplisit dikemukakan oleh mendiang Guru Besar Arkeologi UI Ayatrohaedi, bahwa tujuan utama mempelajari sejarah banten ialah untuk menyadarkan masyarakat banten bahwa mereka mempunyai sejarah yang cukup panjang.


Teori Kekuasaan Machiavelli



Pendahuluan

Machiaveli adalah anak zaman renaisans, ia lahir pada tahun 1467 dan dibesarkan dikota florence, Italia. Florence merupakan kota yang dinamis dari segi ekonomi karena perniagaanya yang  maju serta didukung sumber daya manusia yang banyak diantaranya para pengusaha. Machiavelli telah banyak menyaksikan perebutan kekuasaan di negerinya.  Ia pernah menjadi diplomat, suatu jabatan yang membuka matanya tentang peristiwa politik didalam dan luar Italia. Saat ia diberhentikan dari jabatan politik selepas Penguasa Lorenzo de Medici kembali berkuasa disitulah saat ia memulai hidupnya menjadi pemikir. Ia mempeersembahkan karya termasyhur dalam buku “Sang Penguasa” yang telah diterjemahkan kedalam puluhan bahasa didunia.

Renaisans telah membangkitkan kembali cita-cita, alam pemikiran, filsafat hidup yang kemudian menstrukturisasi standar-standar dunia modern seperti, optimisme, hedonisme, naturalisme, dan individualisme. 1  Ialah peletak dasar-dasar politik modern dengan mengadopsi kekuasaan sebagai anak kandung yang harus diutamakan diatas segala kepentingan baik nilai, moralitas, dan bahkan agama. Ia menjabarkan teori yang intinya kekuasaan ialah tujuan setiap penguasa, bukan moral, bukan pula agama, semua adalah alat untuk mencapai kekuasaan.  

Hubungan antara Kekuasaan, Moralitas, dan Agama.

Dalam kesempatan ini, saya akan mengulas pandangan Machiavelli lewat karyanya yang monumental “sang penguasa” dengan judul asli (Ill Principe) yang memberi kontribusi terhadap teori seputar cara merebut dan mempertahankan “kekuasaan” sebagai ruh dari buku ini. Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, ia menyangkal bahwa kekuasaan ialah alat untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, dan agama. Sebaliknya, bagi machiavelli Agama dan Nilai-nilai yang justru dijadikan alat untuk memperoleh, memperbesar dan melanggengkan kekuasaan. Dalam “The Prince”  Machiavelli menekankan pentingnya melakukan tindakan-tindakan baik terpuji maupun tidak terpuji (Kekerasan) asal tujuan bisa tercapai. Dengan lain perkataan, Machiavelli mengajarkan kepada sang penguasa untuk menjadikan apa saja fasilitasnya bagi tercapainya kekuasaan sebagai tujuan satu-satunya yang harus dimuliakan.

Letak penting pemerintah berfungsi mempertahankan serta mengembangkan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan integral dan esensial sebagai fondasi dalam bengunan kekuasaan. Ditegaskannya bahwa penguasa bukan merupakan personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Lebih lanjut Machiavelli menguraikan perbedaan antara prinsip-prinsip moral, etika, dengan ketatanegaraan. Moral dan tata susila adalah suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral. Tujuan politik oleh machiavelli dianggap lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar tujuan-tujuan nyata.

Mengenai Mempertahankan Kekuasaan

Jika seorang penguasa telah berhasil menduduki singgasananya, pertama-tama ia harus menimpakan penderitaan itu hanya untuk sekali, dan jangan mengulang-ngulang penderitaan itu setiap hari, dengan cara itu ia dapat menenangkan pikiran rakyat dan akan menarik mereka berpihak kepadanya kalau dibicarakan mengenai manfaat tindakannya. Seandainya ia menerapkan penderitaan secara terus-menerus maka ia akan tidak merasa aman menghadapinya. Kekerasan harus dilakukan sekali saja. Rakyat akan segera melupakan penderitaannya dan tidak akan menentang lagi. Perlahan-lahan raja harus menunjukan kebaikan kepada rakyatnya, dengan demikian rakyat akan mengalami masa yang lebih baik.2

Pendapat lain Machiavelli, menyangkut sikap-sikap yang dipilih seorang penguasa ialah kolaborasi antara kebaikan dan kebengisan (kalau perlu). Namun machiavelli sendiri mengatakan akan lebih baik jika Raja (penguasa) memiliki semua daftar sikap baik agar tidak hanya dikagumi rakyat melainkan agar namanya abadi. Raja hendaknya, jika mungkin menghindari tindakan-tindakan tidak terpuji yang tidak berbahaya; tetapi kalau tidak mungkin ia tidak perlu khawatir karenanya. Namun raja tidak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dlakukan demi keselamatan negara.3  Bisa saja seorang raja menurutnya bertindak kejam atau bahkan masuk kedalam tindakan kejahatan. Raja atau seorang penguasa harus memiliki sifat seperti “Rubah” agar tahu bahaya, dan bersikpa seperti singa untuk menakuti.


Tanggapan Pribadi mengenai  stigma “Guru yang mengejarkan Kejahatan”

Jika umumnya orang yang berasal dari jaman setelah Machiavelli, memposisikannya sebagai “Gurunya Kejahatan” maka haruslah terlebih dahulu dilakukan identifikasi personal dari fakta-fakta lingkungan sebelum dan selama ia hidup. Karena itu akan sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran machiavelli sebagaiman tertuang dalam Sang Penguasa. Meskipun pada akhirnya kita akan melihat bahwa buah pemikirannya akan sangat berbahaya apabila dipergunakan oleh penguasa yang memiliki bakat bengis. Namun demikian, perlu pencernaan mendalam sebelum kita memposisikan diri untuk menilai Machiavelli sebagai Gurunya Kejahatan atau bukan.
Apabila Machiavelli dikategorikan sebagai “Teacher Of Evil” yakni guru yang mengajarkan kejahatan. Alasan yang melatarbelakanginya ialah bahwa segala sesuatu apabila dipandang sebagai alat semata-mata karena kekuasaan  pada gilirannya akan melahirkan “negara kekuasaan” bukan “negara bangsa”. Sudut pandang saya mengomentari Machiavelli yang menjadikan Moralitas, Nilai-Nilai sebagai alat untuk mencapai kekuasaan sangatlah wajar karena seperti dikemukakan diatas bahwa kekuasaan dalam arti mengelola negara atau kerajaan merupakan bagian pokok dari urusan umum rakyat, sementara Moral merupakan harapan yang oleh Machiavelli dianggap kurang banyak berinteraksi dengan masalah-masalah rakyat, tetapi bisa saja kita beranggapan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Yang menyedihkan ialah bahwa yang dipraktekan oleh banyak negara bangsa didunia bahkan hingga dewasa ini sadar atau tidak merupakan model kembar dari ajaran machiavelli yang meletakan kekuasaan diatas segalanya. Bedanya ialah machiavelli benar-benar mewajarkannya secara eksplisit, sementara yang lain diam-diam mempraktekannya. Masa ketika machiavelli hidup ialah masa transisi pemikiran dari terkungkung oleh dogma gereja masa pertengahan kearah pemikiran liberal, sehingga penekanan konteks sudut pandang terhadap apa yang diajarkan machiavelli akan sulit kita terima tanpa terlebih dahulu mempelajari latarbelakang lingkungan dan zamannya.

Referensi

1.      Burns, Edward Marshall , World Civilization, New York: W.W. Norton Company, 1964, hal.516

2.      Machiavelli, Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik , Jakarta: Gramedia., 1987 Hal : 38-39