Sunday 24 April 2016

Perenungan Part I

Oleh : Hasan Sadeli

Dalam sejarah perenungan panjang umat manusia, tuhan selalu dianggap sebagai wujud baru bagi kalangan minoritas (Pemikir, Ulama, Filosof, Ilmuwan dll) , pemahaman sebagian lainnya yang tergolong mayoritas (awam/saya salah satunya), tuhan ya begitu-begitu saja. Dengan jangkauan mata pandangnya yang terus menerus diasah, kalangan minoritas menyadari, semakin  tuhan didalami, ia semakin tidak bertepi, sedemikian dinamisnya tuhan hingga lahir istilah ‘ketinggian ilmu serta pencapaian umat manusia dari masa ke masa tidak lain merupakan pantulan kearifan tuhan dalam preposisi sederhana, sementara kita merasakan ketakterhinggaan ilmu tuhan tidaklah mencukupi untuk ukuran hidup manusia seandainya pun diberi keleluasaan waktu untuk hidup hingga triliunan tahun kedepan.
Memang, memahami tuhan tidaklah sama dengan memahami manusia ataupun ciptaan-ciptaannya yang lain, namun tuhan menegasikan lewat anjuran untuk merenungi-nya lewat apa yang ia ciptakan. Sahabat saya basith muzaky pernah mengatakan, “seseorang yang merenungi kebesaran tuhan itu sama dengan ia telah beribadah selama 100 atau 1000 tahun”, untuk konteks waktunya jujur saya lupa berapa, mungkin bisa ditanyakan langsung ke yang bersangkutan jika dianggap perlu.   
Tuhan begitu mencintai mahluknya, tuhan tidak memberi perintah tanpa menyediakan fasilitas terlebih dahulu, ia memberi kelengkapan sarana bagi ciptaanya. Secara khusus manusia diberikan keistimewaan dari mahluk lainnya. Ia menyediakan bumi untuk didiami, para ilmuwan beranggapan bahwa umur bumi ini sudah lumayan uzur untuk ukuran planet biasa, ilmuwan meyakini bumi tercipta sejak 5 milyar tahun lalu. Dan ingat, itu hanya umur bumi, tentu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan umur alam semesta yang menurut perkiraan umat manusia mencapai 14 miliar tahun bahkan sangat-sangat-sangat mungkin lebih tua dari itu. Akan sangat kontras jika kita jadikan komparasi dengan keberadaan manusia khususnya sejak adam hingga kini yang bahkan belum mencapai 100 ribu tahun.  
Tuhan memiliki sifat-sifat, ia menyifati diri-nya semata untuk kepentingan manusia. Sebab tidak ada yang mewajibkan tuhan memiliki sifat rahman rahim misalnya, atau As Syakuur (maha berterimakasih) yang pengertiannya ini sempat saya tanyakan kepada sahabat devi dan abu karena kebetulan ketika coretan ini diketik beliau berdua ada didekat saya, As Syakuur punya beberapa pengertian menurut para ahli tafsir, sampai-sampai sahabat abu mengkerutkan dahinya selama sekitar 10 detik saat saya bertanya pengertian As Syakuur, entah kaena ia tidak tahu maknanya atau mungkin kata tersebut sedemikian terdengar asing ditelinganya, hehe.  Lalu sifat tuhan yang lain seperti Ro’uf atau apapun saja sifat-nya yang lembut lagi bersahabat bagi manusia. Tuhan menyatakan secara eksplisit tentang sifatnya sejumlah 99, atau yang dalam islam populer dengan Asmaul Husna.
Mengingat istimewanya manusia sebagai mahluk, sampai-sampai asal-usul segala sesuatu (mahluk) ia ciptakan dari nur Muhammad yang wujudnya baru ada pada abad ke 6 masehi di Arab sana dan bukan di Indonesia. Rasulullah merupakan keturunan langsung dari Nabiyullah Ibrahim dan Siti Hajar, nah istri kedua Nabi Ibrahim ini bukan orang arab, ia disuplai dari luar Arab, dari unsur bahasa, Hajar bisa berarti Batu, tapi di Indonesia bisa terdapat beragam pengertian, Hajar atau Ajar artinya mendidik, kalau Macam-macam Di-Hajar dst.  Rasulullah melarang siapapun saja untuk menggambar diri-nya, salah satu sebabnya untuk menghindari  pengkultusan selain Allah. Meskipun dibeberapa kalangan orang Indonesia, larangan itu masih menyisakan pertanyaan, terutama jika ditilik dari genealogis manusia agung ini, jangan jangan Kanjeng Nabi ini? Hehehe. Bercanda.
Apabila ada tokoh didunia ini dengan keterbatasan sarana namun dengan pencapaian gemilang, maka Rasulullah-lah orangnya. Karen Armstrong seorang penulis terkemuka Inggris dengan karya-karya monumental yang salah satunya berjudul History of God terheran-heran dengan  kenyataan bahwa mengapa beliau malah buta huruf. Ia sangat yakin bahwa keberadaannya sejak kecil tanpa tahu akan jadi apa iya dimasa depan, sikapnya yang secara bertahap menunjukan bahwa ia tengah membangun sebuah Teokrasi tanpa disadarinya, bahkan barangkali ia sendiri tidak mengetahui apa teokrasi itu.