Wednesday 7 September 2016

Positivisme Politik


oleh : Hasan Sadeli

Suatu peradaban lahir dan ditransmisikan lewat proses-proses sosial demikianlah Blum Camerun dan Barnes berteori dalam karyanya History of Western World. Dimasalalu negara penakluk, yang umumnya memiliki peradaban  lebih tinggi dapat mentrasmisikan peradabannya kepada bangsa primitif. Karya-karya tentang sejarah perkembangan politik di barat banyak diadopsi dari peradaban yang ada sebelumnya, dikatakan bahwa barat sekarang berhutang budi pada peradaban Yunani-Romawi, sebagaimana halnya Yunani-Romawi berhutang pada Mesopotamia, Persia, Mesir dan Kreta. Warisan peradaban yang dimaksud ialah tentang pandangan hidup, individualisme, menomorsatukan akal (rasio), kebebasan dan sekulerisme.  
Disatu sisi, pandangan  barat dewasa ini terbentuk dari empirisme Yunani-Romawi khususnya dalam bidang pengembangan pengetahuan yang melahirkan eksperimentasi dan spekulasi mendasar diberbagai bidang penemuan. Di sisi lain, Romawi mewariskan tradisi tentang sistem hukum, pemikiran dan lembaga politik sampai praktiknya yang banyak terlihat dari apa yang dipraktikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia, Swis, Belanda, dan Perancis. Faktanya, negara-negara tersebut dalam sejarahnya dikenal sebagai negara penakluk, ini sekaligus akan memberi dampak pada negara-negara yang dijajahnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara-negara bekas jajahannya akan ikut mempraktekan warisan kuat peradaban Romawi. Bagaimana tidak, Belanda menerapkan teori hukum di Indonesia yang diperoleh dari Kode Civil Napoleon dan itu merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi.
Dalam bidang politik, Romawi memberikan pemahaman kepada Barat tentang teori imperium. Teori ini banyak berbicara mengenai kekuasaan serta otoritas negara, dimana kedaulatan dan kekuasaan ialah perwujudan dari kekuatan rakyat yang telah didelegasikan kepada penguasa negara. Rakyat memiliki hak-hak yang sama (equal rights) dan itu merupakan puncak piramida kekuasaan yang esensial. Dalam kerangka pemikiran ini, saya melihat rakyat demikian diagungkan namun disisi lain resiko penyalahgunaan dapat terjadi kapan saja dimana saja oleh para penguasa yang sejatinya dititipkan wewenang. Lebih-lebih apa yang menjadi realitas politik dibarat pada abad pertengahan membiaskan tafsiran mengenai teori imperium karena disaat itu gereja tampil tidak hanya sebagai institusi teologis, namun menjangkau sistem sosial-politik.
Kekuasaan dan negara merupakan wacana politik. Dan karena itu dalam dunia politik lahir banyak pengetahuan baru tentang filosofi, sistem, serta struktur yang melahirkan karakteristik beragam dan dinamis. Bagaimana pemikiran politik mengembangkan gagasan kontrak sosial (du contrac social) sebagaimana yang dipopulerkan oleh JJ Rousseau, Locke dan juga Hobbes sebagai kerangka yang secara historis dapat dilacak sekali lagi dari warisan peradaban Romawi. Kontrak sosial sebagai satu konfigurasi dari adanya realitas dan potensialitas pengingkaran yang dilakukan oleh penguasa negara. Potensialitas penyalahgunaan wewenang sangat tinggi, itu sebabnya lahir Trias Politica untuk menyeimbangkan dan membatasi kekuasaan negara serta jalannya pemerintahanan.  
Negara merupakan lembaga politik, tidak bisa dikatakan sebagai lembaga ekonomi, atau lembaga sosial secara utuh. Kalau dibuat model hierarki, keluarga ialah unit terkecil dari lembaga politik, berlanjut ke unit Desa, distrik, Provinsi dan tertinggi ialah negara. Mengingat tingginya maqom yang dimiliki negara, maka negara dianggap sebagai lembaga politik yang paling berdaulat, tapi tentu jangan disalah artikan dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Negara sebagai hasil karya politik harus memiliki cita-cita yang mulia untuk seluruh rakyatnya, entah itu mensejahterakan rakyatnya, membahagiakannya atau apapun saja itu, jika tidak maka besar kemungkinan yang sejahtera ialah penguasanya (state authority) atau mereka yang ada dilingkaran kekuasaan, meski belum tentu kesejahteraan yang dimiliki oleh para penguasa menjadi jaminan kebahagiaan. Sementara itu, praktik politik serta sistem yang dianut berbagai negara didunia dewasa ini mengedepankan demokrasi sebagai yang paling rasional diantara model lainnya.

Menukik Politik Indonesia  

Kalau berbicara mengenai Indonesia, seberapa lama kita berpolitik, apa capain-capain yang telah kita peroleh sebagai sebuah negara berdaulat? Apakah keberhasilan politik kita ditandai dengan terbebasnya dari belenggu penjajahan? Adakah setelahnya kita dijamin untuk tidak dijajah lagi misalnya oleh bangsa sendiri? barangkali perlu diajukan rumusan sebagai berikut : model politik yang dianut di Indonesia ini diadopsi dari mana? Barat-kah? Kerajaan-kerajaan Nusantara-kah? Kalau kita bicara barat itu dari luar, sementara kalau datangnya dari akar budaya politik kerajaan di nusantara berarti original, lalu bagaimana dengan Islam? Kenapa islam, apa Indonesia mayoritas muslim? Mengapa bicara politik bawa-bawa Islam bawa Barat dan bawa Nusantara segala?
Dari pertanyaan-pertanyaan diatas sungguh jawaban persisnya saya tidak mengetahui, dibutuhkan analisis serta kajian mendalam dari berbagai disiplin ilmu bagi yang meminatinya. Sebab akan dibutuhkan banyak kata untuk menjelaskannya. Tapi barangkali begini, rumusan yang tepat ialah sejauh mana kita telah mengidentifikasi suatu permasalahan agar menemukan patern untuk kita perjelas pemetaannya. Karena bicara politik akan sangat bersentuhan dengan premis budaya, kehidupan sosial, serta sejarah perkembangannya. Ini saya simplifikasi supaya kita menemukan akar persoalan yang kita hadapi hari ini dengan formula yang sedang kita terapkan, apakah cukup efektif, apakah sesuai dengan akar sosiokultural kita ataukah kita hanya berusaha menerapkan barang baru yang kita sangka cocok buat kita. 
Saya iseng berteori dengan mengatakan politik itu menawarkan prinsip dialektika yang dinamis-universal dan alamiah. Bahwa partai di negeri ini bersifat segmentatif, ada partai yang dikenal bercorak Islam, ada partai yang melekat menamai dirinya demokratis, ada partai tua yang dikenal menguasai sistem, dan lain-lain. Itu menandakan diferensiasi dari entitas politik di Indonesia. Entitas politik itu mendelegasikan wakilnya dan melebur menjadi lembaga politik berskala massif bernama negara yang di Indonesia lebih populer dengan pemerintah. Sebab paradigma sistem politik di Indonesia sendiri memungkinkan untuk kaburnya pengertian dan pembedaan antara negara dan pemerintah. Untuk melihat perbedaan ini anda bisa ambil contoh Jerman misalnya, yang kalau bicara pemerintah berarti merujuk pada jabatan politis, yang dipilih dalam pemilu dan secara berkala diganti.
Sementara di Jerman ada Pegawai negeri/birokrat/pegawai publik yang hanya patuh pada konstitusi dan sebagai eksekutor dari UU, sementara di kita, eksekutor UU disebut pemerintah. Mereka juga dikenal sebagai adminitrasi negara (Verwaltung), yang memahami konstitusi dan mentaatinya. Itu sebabnya mereka sebagai pelaksana UU berkewajiban langsung bersentuhan dengan publik, institusi-institusi seperti kepolisian, dinas-dinas itulah yang disebut administrasi negara atau negara dan mereka bersifat tetap menjalankan sistem. Jangan heran jika melihat Belgia selama lebih dari 500 hari dari pertengahan 2010 sampai akhir 2011 tanpa pemerintahan tapi birokrasi mereka dalam melayani publik berjalan dengan baik. Kalaulah di Indonesia apa bisa begitu? Kita ini sangat pemerintahsentris, entah dimana posisi sesungguhnya negara dikita ini.

Mengedukasi Politik

Tulisan sederhana ini saya maksudkan untuk melihat bahwa 

Kesibukan-kesibukan di Tahun Politik

Tahun 2024 adalah tahun politik. Yakni tahun yang paling sibuk bagi semua kontestan Pemilu beserta para pendukungnya. Pada tahun itu, nasib orang-orang yang ngaleg dan nyapres ditentukan. Pada tahun itu juga kaos-kaos tipis berlogo partai akan banyak dipakai oleh ragam kalangan mulai dari pedagang sayur, penjual eskrim keliling, sopir, kernet, masinis becak, petani, nelayan dan anak turun profesi lainnya. 

Di tahun itu pula para batang pohon (di pinggir jalan) dimohon kerelaannya dalam berbagi kambium dengan paku dan sehelai pamflet para caleg. Di tahun itu jumlah pengamat politik akan bertambah secara eksponensial. Kita semua tidak perlu nonton tv untuk menyaksikan analisa dari para pemerhati politik. Karena tema politik bergeser ke luar 

Politik ialah kata yang bermakna luas. Jangan bicara politik hanya pada segmen jelang pemilu, atau hanya mempelajari perilaku pemilih, tingkat partisipasi disetiap perhelatan, atau maraknya politik uang, atau kalau PDI-P berkuasa akan begini, Golkar akan begitu, lalu rahasia umum bahwa hanya pengusaha atau mereka yang bermodal yang akan memenangkan pemilu, dan seterusnya dan seterusnya. Saya tidak mengatakan itu tidak penting, tapi akan lebih baik kalau kita bicara  politik ya sekali-sekali komprehensif lah. Sebab politik ialah juga pemahaman dan perilaku kita, politik tidak hanya bicara kontestasi, ia bisa terdiri dan melahirkan begitu banyak pola dan struktur.
Umpamanya politik ini restoran, ia menyajikan menu yang cukup populer pasca perang Dunia II katakan namanya demokrasi, lalu demokrasi punya pisau dan alat memasak berupa pemilu, pemilu yang ditawarkan oleh menu demokrasi ini menjamin setiap warga negara berhak memilih dan dipilih, pemilu ialah tempat memilih pemimpin dan selanjutnya merumuskan untuk bersatu dalam lembaga politik besar yang disebut negara. Setiap kebijakan negara yang dibuat diberbagai bidang tidak lain ialah kebijakan politik. Jadi makna politik bisa korelatif dan indikatif dengan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari mulai dari urusan pendidikan, pertanian, infrastruktur, sampai urusan dapur. Jadi mulai dari landasan filosofis, sistem, penyelenggaran, sampai cita-cita luhur negara bangsa ialah alur dari pekerjaan politik. Jadi tahap demi tahap dari alur ini harus menemukan koherensi dalam konfigurasi pembelajaran politik.
Kalau orang bicara pembelajaran politik, itu tidak berarti yang menjadi objek ialah rakyat (konstituen/pemilih) dan subjek ialah mereka yang dipilih, pembelajaran berlaku bagi semua kalangan apapun posisinya. Sebab jangan-jangan yang justru mengerti politik ialah mereka yang mendelegasikan, dan yang tidak faham politik ialah mereka yang diberikan amanah, dengan alasan karena budaya politik di Indonesia sudah sedemikian konsumtif. Kalau ini ini terus berlangsung dan sepertinya akan semakin parah sebaiknya orang jangan banyak mengeluh, apalagi putus asa memikirkan nasib bangsa kedepan gara-gara suramnya aktivitas politik disemua level. Sebab meski dengan dalih ilmiah sekalipun anda kemukakan alasan, akan sulit bahkan percuma, ya tadi itu sebabnya, orang yang diamanahi tidak lebih faham dari yang memberikannya amanah. Lebih-lebih jika posisi amanah itu ia gunakan untuk kepentingannya sendiri.
Kalau sudah begitu langkah baiknya kita tidak usah menaruh banyak harapan pada pemerintahan hari ini, supaya kepala kita tidak jamuran. Namun harapan yang sedikit itu kita aspirasikan pada pemerintah agar mengimplementasikan pembelajaran politik lewat kurikulum saja sudah. Soal lain-lain biarkan pemerintah hari ini dan pemerintahan dua sampai tiga periode akan datang semau-maunya bertindak, tidak usah dimasukan dalam hati, tanggapi dengan kepekaan secara wajar, kita biasa-biasa saja dan memang sudah biasa. Pancarkan optimisme pada generasi muda usia30an ide-ide serta gagasan yang positif tentang pembelajaran politik dan pada generasi yang masih hijau yakni mereka yang masih duduk dibangku sekolah. Kita menaruh ikhtiar dan harapan pada generasi Indonesia yang bermoral dan terdidik dengan baik.
Karena pembelajaran politik  pada usia dini sangatlah penting. Anak-anak harus diberi pengertian di sekolah atau umpan tentang apa saja kegiatan mereka disekolah yang berkenaan dengan kegiatan politik, bahwa mata pelaran yang mereka pelajari berkaitan dengan standarisasi kurikulum milik negara, sekolah gratis, serta segala fasilitas lainnya merupakan hasil kebijakan politik. Generasi muda sejak dini diberikan pemahaman bahwa berpolitik itu alamiah, dan politik itu baik. Yang tidak baik ialah orang-orang yang berkaitan dengannya yang memberikan imej bahwa politik itu kotor. Ini bukan kuliah politik, saya sama sekali bukan ahlinya, tapi saya suka berpolitik, orang yang pesimis dengan politik saya ingin katakan memang tidak semua hal diurusi dan bisa disentuh oleh politik, tapi tidak ada salahnya untuk memahami bahwa ada begitu banyak hal  yang bersentuhan langsung dengan politik. Karena politik bukan hanya urusan Presiden, menteri, DPR, Ormas, atau apapun saja, politik ialah tanggungjawab bersama, apakah ia ulama, pelajar, petani, pedagang, buruh, tukang ojek, para baluk, singkatnya politik ialah tanggungjawab bersama, bahkan bagi yang paling membenci politik sekalipun ia tetap bertanggungjawab, jadi jangan buang-buang energi untuk membenci.