PARTY and Society
Dalam suatu negara yang
menerapkan sistem demokrasi, rakyat memiliki fungsi sebagai subjek yang
menentukan, misalnya dalam proses pemilihan umum, rakyat punya hak untuk
menentukan siapa menurutnya yang pantas untuk dipilih; tentu yang dipilih
disini ialah mereka yang sudah disiapkan dan disahkan oleh suatu sistem yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh komisi pemilihan umum. Dalam tataran teknis,
sistem ini menjamin rakyat mempunyai legitimasi dalam menentukan aspirasi
kepemimpinan yang dicita-citakannya. Tidak hanya itu, diantara mereka bahkan
terlibat aktif menjaring dukungan untuk calonnya, saya termasuk beberapa kali
menjadi simpatisan salah satu calon, kadang kita tidak melihat partainya, itu
kurang penting, meskipun ada-lah satu atau dua partai yang secara pribadi
kurang sreg, entah karena ideology atau slogan-slogannya, ataupun karena partai
bersangkutan punya sejarah yang kurang baik, tapi toh secara umum mereka
sama-sama partai.
Setidaknya untuk kasus Indonesia,
secara umum partai tetaplah partai, no ideology,
no regeneration, and no function, hehe. Maafkan, yang terakhir itu bohong,
partai di Indonesia tentu saja memiliki fungsi yang vital sangat, sebab partai
kan pilar demokrasi, dan karena itu keberadaanya tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan suatu negara, bahkan dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Dalam
teori fungsionalisme-nya Durkheim, dijelaskan sistem dan sub sistem, bahwa
masyarakat disatukan dalam suatu struktur dengan turunan yang tiap-tiapnya
memiliki fungsi. Seperti tubuh manusia yang terdiri dari macam-macam organ yang
satu sama lain saling berhubungan erat, jika salah satu kehilangan fungsinya,
maka akan memiliki dampak pada sub sitem atau organ lainnya, nah partai disini
kira-kira jantungya-lah, kebayang-kan kalau sampai mengalami disfungsi? Hehe.
Ini musim pilkada, tingkat kabupaten
dan provinsi yang secara serentak dilakukan dihampir seluruh wilayah Republik
Indonesia Tercinta (RCT) without I. saya sendiri tinggal di Banten, kabupaten Serang
tepatnya, alamat yang sebenarnya tidak spesifik untuk ukuran saya sebagai orang
kampung yang kampungan, ya namanya juga kampungan, bukan bagian dari proses
globalisasi jadi tidak terbiasa menjelaskan secara runtut, detail, sistematis,
atau apalah itu, saya juga kurang faham. Dan lagi, tulisan ini juga tidak punya
tujuan yang jelas, kebiasaan saya begitu. Saya hanya turut berpartisipasi berbagi
kegembiraan berdemokrasi, ini momen yang tepat untuk bersuka cita, sebab pada
hari inilah rakyat Indonesia benar-benar menjadi subjek untuk sekali lagi menentukan
siapa dan apa saja yang dikehendaki dalam konteks wacana kepemipinan daerah,
walah barusan saya ngomong apa ya.
Kata “benar-benar menjadi subjek”
diatas kok seperti diletakan dalam posisi yang sangat-sangat istimewa? Iya saya
juga kurang tau kenapa ybs menulis begitu, mungkin karena ini benar-benar
istimewa, menyangkut momen yang langka, sebagaimana halnya hari raya yang hanya
satu tahun sekali, kalau parameternya waktu, ini (pilkada) bahkan lebih dahsyat
keistimewaanya, karena hanya ketemu sekali dalam lima tahun. kiranya pantaslah
kalau perasaan rakyat saat ini tengah berbunga-bunga, tapi sayang kok dari
semalam tidak terdengar suara-suara petasan yang biasa membahana pada
momen-momen istimewa, oh iya mungkin demikian sakralnya sehingga butuh kekhusyukan.
Fungsi simbolik
Judul diatas ialah pantulan dari
nilai penting partai dalam konsep negara. Saya suka nyinyir dengan pendapat
orang yang mendiskreditkan partai, sebab orang seperti itu tidak mengerti
partai, jangankan mengerti, mengenal saja tidak, itu sebabnya orang yang
merendahkan partai sama dengan tidak mengenalnya, tidak memahaminya, dan tentu
tidak mencintainya. Jadi tolonglah luangkan kelonggran waktu dinegara yang
serba longgar ini untuk mengenal partai lebih jauh, sebab tak kenal tak
kenyang, hemm, maksudnya tak sayang.
Partai merupakan satu-satunya kebenaran dalam demokrasi, ini jangan
ditolak, ini adagium. Partai sebagai wadah lahirnya kepemimpinan disemua leve patut
dihormati keberadaanya. sebab fungsi mereka mendistribusikan tugas kepada
kader-kadernya sangat jelas, meskipun kebanyakan bersifat deterministik.
Pada saat pilkada, meskipun
kebanyakan orang melihat orangnya atau calonnya, tapi tidak akan ada calon
tanpa partai, meskipun ada juga yang independen, tapi kebanyakan mereka diusung
partai. Rakyat tidak begitu peduli dengan partainya, yang ia lihat melulu soal
calonnya. Padahal dalam konteks politik rahim sicalon ialah partai. Karena
partai yang melakukan seleksi, sebelum menentukan, dan partai mengatur proses
sedemikian rupa bagaimana menyiapkan kader sebagai pemimpin disemua level
seperti disebutkan tadi. Saya kira ke-alpa-an rakyat yang mengesampingkan
partai dan lebih melihat figur bukan merupakan konsekuensi dunia demokrasi, ini
tidak lain karena sifat kepahlawanan partai yang rela kepopulerannya diambil
alih oleh individu. Tadi itu, mereka capek-capek memproduksi individu, malah
individu yang dicintai juga terkenal dan bukan sebaliknya.
Adakalanya pahlawan memang
benar-benar tersembunyi, ia rela tidak disanjung, tugasnya hanyalah ada ketika
dibutuhkan, dan berlalu tanpa pamrih apapun. Demikian juga dengan partai,
apabila ada seorang bupati maupun presiden yang sangat dicintai rakyatnya,
mereka lupa dari partai mana ia berasal. Dalam konteks kepemimpinan ini bisa
dibenarkan, karena setelah mereka jadi gubernur, bupati maupun presiden mereka
harus melepaskan atribut partainya, mereka miliki rakyat sepenuhnya. Baru
ketika ybs purna tugas, ia kembali menjadi milik partai. Yang jadi pertanyaan apakah partai-partai di
Indonesai sudah sedemikian mencerna dan mempraktekan hakikat keberadaanya? Atau
justru partai di Indonesia sama sekali tidak memiliki konsep dan tujuan
sebagaimana melakukan reproduksi nilai-nilai dasar kebangsaan dan memproduksi
nilai baru yang terbukti berguna?
Kita mesti sadar bahwa apapun selain
tuhan semua adalah alat, apakah itu partai, negara, bahkan surga skalipun.
Namun sarana untuk membangun konsep diri sudah ada, sarana untuk membangun
partai juga ada, demikian untuk membangun negara-pun sudah ada, sebab sistem
apapun namanya yang mengisinya itu manusia, negara tidak begitu penting ketika
yang mengisinya hewan, sistem sebaik apapun sama sekali tidak berguna jika
si-kerbau yang menjalankannya. Orang kita ini untuk memperbaiki negara sulitnya
bukan main, beberapa kali melakukan pemilihan umum tapi begitu-begitu saja,
yang diributkan sistem-sistem dan sistem, yang miskin mereproduksi
kemiskinannya, yang kaya mereproduksi kekayaannya, demikian juga yang bodoh. Dalam
bahasa sederhana, kita ini untuk maju satu langkah saja susah sekali.
Kedataran berfikir
Negara kita ini sudah mendewakan
sistem sedemikian rupa, dan lupa meletakan pada tempat yang seharusnya,
pemikiran kita sumbangkan pada sistem dan membiarkannya bekerja, dari situ kita
merasa tidak usah berfikir lagi. Disini saya tidak menekankan pada uapaya-upaya
bersifat metodologis, atau yang dipahami sebagai buku petunjuk dalam praktik
bernegara yang tepat. Sebaliknya, seharusnya kita mencurahkan pada rasionalitas
terhadap upaya ilmiah, sebuah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia
yang berfikir bahwa realitas adalah lebih dinamis ketimbang sistem, maka
penekanannya terletak pada sejauhmana jangkauan pemikiran manusia untuk
mengatasinya bukan pada sejauhmana sistem mengatasinya. Emha ainun najib pernah
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan Indonesia kontemporer ialah itu-itu saja!
Ini bukan soal partai, juga bukan
soal negara semata, tapi human being ialah
kata kuncinya. Kitalah yang harus memacu perbaikan lewat pikiran dan
tindakan-tindakan yang mengarah pada skala kolektiv. Pemilihan umum seagung
apapun konsepnya tetap melahirkan kepemipinan yang begitu-begitu saja, partai
sekuat apapun memegang ideology akan tidak berguna jika kadernya mengarahkan
tindakan hanya pada benda mati. Hampir tidak ditemukan individu didalam partai
yang katanya sangat penting dalam konsep bernegara ini memiliki tindakan sosial
yang mengarah pada kepentingan orang banyak. Semua harus ditopang dengan cara
sederhana tanpa hentinya melakukan ilmu pembelajaran dan yurisprudensi,
sistematisasi administrasi yang mencakup keluasan konsep penyelenggaraan
pemerintahan, dan menyingkirkan keserakahan personal dalam membangun
kesejahteraan umum. Penggalan kalimat belakangan demikian klise, saya juga
malas mencantutnya, tapi tuntutan ilmu pengetahuan yang itu-itu saja ya memang
begitu.
Kaitanya dengan pemilihan, saya
tergolong orang yang optimis bahwa semakin kedepan pagelaran hajat demokrasi
akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, rakyat sudah sedemikian jenuh. Jika bukan
karena kerja keras media dalam memanas-manasi atau lebih tepatnya mengangkangi publik
dengan slogan seolah-olah rakyat benar-benar butuh pemimpin baru-lah apalah,
toh di Indonesia yang ada hanya merah ketika pagi tapi jadi putih saat siang,
lalu jadi hitam jelang sore, malamnya jadi kelabu, Its “branding” guys. Branding?
Berarti monyet juga bisa dijadikan manusia dong? Ya bisa, tapi tidak se ekstrim
itulah.
Pencitraan sedang marak-maraknya,
media jadi pelopor desain tersebut, outputnya rakyat akan secara berangsur-angsur
kehilangan selera memilih calon pemimpin yang ideal, ini sangat disayangkan
tapi alat ukur mengantarkannya pada situasi tersebut. Memang selain rasulullah
tidak ada lagi sosok pemimpin yang azzijun alaihi ma anitum haritsum alaikum
bil mu'minina roufur rohim, yakni yang hatinya penuh kasih sayang, dan berat
terhadap penderitaan rakyat dan umatnya. Pada akhirnya tidak ada lagi yang penting
selain terus menerus berhubungan dengan tuhan dan meneladani rasulullah sebagai
mahluk mutiara terbaik ciptaannya, diluar itu, semuanya harus disikapi
biasa-biasa saja. Jangan risau bupati berganti, gubernur ganti, presiden ganti,
atau negara sekalipun, karena kita bukan menggantungkan diri kepada semua itu,
sekaya dan seberpengaruh apapun kapasitasnya. Ok lah keep calm.
No comments:
Post a Comment