Machiaveli
adalah anak zaman renaisans, ia lahir pada tahun 1467 dan dibesarkan dikota
florence, Italia. Florence merupakan kota yang dinamis dari segi ekonomi karena
perniagaanya yang maju serta didukung
sumber daya manusia yang banyak diantaranya para pengusaha. Machiavelli telah
banyak menyaksikan perebutan kekuasaan di negerinya. Ia pernah menjadi diplomat, suatu jabatan
yang membuka matanya tentang peristiwa politik didalam dan luar Italia. Saat ia
diberhentikan dari jabatan politik selepas Penguasa Lorenzo de Medici kembali
berkuasa disitulah saat ia memulai hidupnya menjadi pemikir. Ia
mempeersembahkan karya termasyhur dalam buku “Sang Penguasa” yang telah
diterjemahkan kedalam puluhan bahasa didunia.
Renaisans
telah membangkitkan kembali cita-cita, alam pemikiran, filsafat hidup yang
kemudian menstrukturisasi standar-standar dunia modern seperti, optimisme,
hedonisme, naturalisme, dan individualisme. 1 Ialah peletak dasar-dasar politik modern
dengan mengadopsi kekuasaan sebagai anak kandung yang harus diutamakan diatas segala
kepentingan baik nilai, moralitas, dan bahkan agama. Ia menjabarkan teori yang
intinya kekuasaan ialah tujuan setiap penguasa, bukan moral, bukan pula agama,
semua adalah alat untuk mencapai kekuasaan.
Hubungan antara
Kekuasaan, Moralitas, dan Agama.
Dalam
kesempatan ini, saya akan mengulas pandangan Machiavelli lewat karyanya yang
monumental “sang penguasa” dengan judul asli (Ill Principe) yang memberi kontribusi terhadap teori seputar cara
merebut dan mempertahankan “kekuasaan” sebagai ruh dari buku ini. Machiavelli
melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, ia menyangkal bahwa kekuasaan
ialah alat untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, dan agama. Sebaliknya,
bagi machiavelli Agama dan Nilai-nilai yang justru dijadikan alat untuk memperoleh,
memperbesar dan melanggengkan kekuasaan. Dalam “The Prince” Machiavelli
menekankan pentingnya melakukan tindakan-tindakan baik terpuji maupun tidak
terpuji (Kekerasan) asal tujuan bisa tercapai. Dengan lain perkataan,
Machiavelli mengajarkan kepada sang penguasa untuk menjadikan apa saja
fasilitasnya bagi tercapainya kekuasaan sebagai tujuan satu-satunya yang harus
dimuliakan.
Letak
penting pemerintah berfungsi mempertahankan serta mengembangkan kekuasaan,
karena itu dibutuhkan kekuatan integral dan esensial sebagai fondasi dalam
bengunan kekuasaan. Ditegaskannya bahwa penguasa bukan merupakan personifikasi
dari keutamaan-keutamaan moral. Lebih lanjut Machiavelli menguraikan perbedaan
antara prinsip-prinsip moral, etika, dengan ketatanegaraan. Moral dan tata
susila adalah suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan
adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu,
bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral. Tujuan politik oleh
machiavelli dianggap lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar
tujuan-tujuan nyata.
Mengenai Mempertahankan
Kekuasaan
Jika
seorang penguasa telah berhasil menduduki singgasananya, pertama-tama ia harus
menimpakan penderitaan itu hanya untuk sekali, dan jangan mengulang-ngulang
penderitaan itu setiap hari, dengan cara itu ia dapat menenangkan pikiran
rakyat dan akan menarik mereka berpihak kepadanya kalau dibicarakan mengenai
manfaat tindakannya. Seandainya ia menerapkan penderitaan secara terus-menerus
maka ia akan tidak merasa aman menghadapinya. Kekerasan harus dilakukan sekali
saja. Rakyat akan segera melupakan penderitaannya dan tidak akan menentang
lagi. Perlahan-lahan raja harus menunjukan kebaikan kepada rakyatnya, dengan
demikian rakyat akan mengalami masa yang lebih baik.2
Pendapat
lain Machiavelli, menyangkut sikap-sikap yang dipilih seorang penguasa ialah
kolaborasi antara kebaikan dan kebengisan (kalau perlu). Namun machiavelli
sendiri mengatakan akan lebih baik jika Raja (penguasa) memiliki semua daftar
sikap baik agar tidak hanya dikagumi rakyat melainkan agar namanya abadi. Raja
hendaknya, jika mungkin menghindari tindakan-tindakan tidak terpuji yang tidak
berbahaya; tetapi kalau tidak mungkin ia tidak perlu khawatir karenanya. Namun
raja tidak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan melakukan kejahatan,
kalau kejahatan itu perlu dlakukan demi keselamatan negara.3 Bisa saja seorang raja menurutnya bertindak
kejam atau bahkan masuk kedalam tindakan kejahatan. Raja atau seorang penguasa
harus memiliki sifat seperti “Rubah” agar tahu bahaya, dan bersikpa seperti
singa untuk menakuti.
Tanggapan Pribadi
mengenai stigma “Guru yang mengejarkan
Kejahatan”
Jika
umumnya orang yang berasal dari jaman setelah Machiavelli, memposisikannya
sebagai “Gurunya Kejahatan” maka haruslah terlebih dahulu dilakukan
identifikasi personal dari fakta-fakta lingkungan sebelum dan selama ia hidup.
Karena itu akan sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran machiavelli
sebagaiman tertuang dalam Sang Penguasa. Meskipun pada akhirnya kita akan melihat
bahwa buah pemikirannya akan sangat berbahaya apabila dipergunakan oleh
penguasa yang memiliki bakat bengis. Namun demikian, perlu pencernaan mendalam
sebelum kita memposisikan diri untuk menilai Machiavelli sebagai Gurunya
Kejahatan atau bukan.
Apabila
Machiavelli dikategorikan sebagai “Teacher
Of Evil” yakni guru yang mengajarkan kejahatan. Alasan yang
melatarbelakanginya ialah bahwa segala sesuatu apabila dipandang sebagai alat
semata-mata karena kekuasaan pada gilirannya
akan melahirkan “negara kekuasaan” bukan “negara bangsa”. Sudut pandang saya
mengomentari Machiavelli yang menjadikan Moralitas, Nilai-Nilai sebagai alat untuk
mencapai kekuasaan sangatlah wajar karena seperti dikemukakan diatas bahwa
kekuasaan dalam arti mengelola negara atau kerajaan merupakan bagian pokok dari
urusan umum rakyat, sementara Moral merupakan harapan yang oleh Machiavelli
dianggap kurang banyak berinteraksi dengan masalah-masalah rakyat, tetapi bisa
saja kita beranggapan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Yang menyedihkan ialah
bahwa yang dipraktekan oleh banyak negara bangsa didunia bahkan hingga dewasa
ini sadar atau tidak merupakan model kembar dari ajaran machiavelli yang
meletakan kekuasaan diatas segalanya. Bedanya ialah machiavelli benar-benar
mewajarkannya secara eksplisit, sementara yang lain diam-diam mempraktekannya. Masa
ketika machiavelli hidup ialah masa transisi pemikiran dari terkungkung oleh
dogma gereja masa pertengahan kearah pemikiran liberal, sehingga penekanan konteks
sudut pandang terhadap apa yang diajarkan machiavelli akan sulit kita terima
tanpa terlebih dahulu mempelajari latarbelakang lingkungan dan zamannya.
Referensi
1. Burns,
Edward Marshall , World Civilization,
New York: W.W. Norton Company, 1964, hal.516
2. Machiavelli,
Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan
Kepada Pemimpin Republik , Jakarta: Gramedia., 1987 Hal : 38-39
No comments:
Post a Comment