Wednesday 23 September 2015

Teori Kekuasaan Machiavelli



Pendahuluan

Machiaveli adalah anak zaman renaisans, ia lahir pada tahun 1467 dan dibesarkan dikota florence, Italia. Florence merupakan kota yang dinamis dari segi ekonomi karena perniagaanya yang  maju serta didukung sumber daya manusia yang banyak diantaranya para pengusaha. Machiavelli telah banyak menyaksikan perebutan kekuasaan di negerinya.  Ia pernah menjadi diplomat, suatu jabatan yang membuka matanya tentang peristiwa politik didalam dan luar Italia. Saat ia diberhentikan dari jabatan politik selepas Penguasa Lorenzo de Medici kembali berkuasa disitulah saat ia memulai hidupnya menjadi pemikir. Ia mempeersembahkan karya termasyhur dalam buku “Sang Penguasa” yang telah diterjemahkan kedalam puluhan bahasa didunia.

Renaisans telah membangkitkan kembali cita-cita, alam pemikiran, filsafat hidup yang kemudian menstrukturisasi standar-standar dunia modern seperti, optimisme, hedonisme, naturalisme, dan individualisme. 1  Ialah peletak dasar-dasar politik modern dengan mengadopsi kekuasaan sebagai anak kandung yang harus diutamakan diatas segala kepentingan baik nilai, moralitas, dan bahkan agama. Ia menjabarkan teori yang intinya kekuasaan ialah tujuan setiap penguasa, bukan moral, bukan pula agama, semua adalah alat untuk mencapai kekuasaan.  

Hubungan antara Kekuasaan, Moralitas, dan Agama.

Dalam kesempatan ini, saya akan mengulas pandangan Machiavelli lewat karyanya yang monumental “sang penguasa” dengan judul asli (Ill Principe) yang memberi kontribusi terhadap teori seputar cara merebut dan mempertahankan “kekuasaan” sebagai ruh dari buku ini. Machiavelli melihat kekuasaan sebagai tujuan itu sendiri, ia menyangkal bahwa kekuasaan ialah alat untuk mempertahankan nilai-nilai moralitas, dan agama. Sebaliknya, bagi machiavelli Agama dan Nilai-nilai yang justru dijadikan alat untuk memperoleh, memperbesar dan melanggengkan kekuasaan. Dalam “The Prince”  Machiavelli menekankan pentingnya melakukan tindakan-tindakan baik terpuji maupun tidak terpuji (Kekerasan) asal tujuan bisa tercapai. Dengan lain perkataan, Machiavelli mengajarkan kepada sang penguasa untuk menjadikan apa saja fasilitasnya bagi tercapainya kekuasaan sebagai tujuan satu-satunya yang harus dimuliakan.

Letak penting pemerintah berfungsi mempertahankan serta mengembangkan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan integral dan esensial sebagai fondasi dalam bengunan kekuasaan. Ditegaskannya bahwa penguasa bukan merupakan personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Lebih lanjut Machiavelli menguraikan perbedaan antara prinsip-prinsip moral, etika, dengan ketatanegaraan. Moral dan tata susila adalah suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan ketatanegaraan adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bidang politik tidak perlu memperhatikan bidang moral. Tujuan politik oleh machiavelli dianggap lebih nyata dari tujuan moral dan negara harus mengejar tujuan-tujuan nyata.

Mengenai Mempertahankan Kekuasaan

Jika seorang penguasa telah berhasil menduduki singgasananya, pertama-tama ia harus menimpakan penderitaan itu hanya untuk sekali, dan jangan mengulang-ngulang penderitaan itu setiap hari, dengan cara itu ia dapat menenangkan pikiran rakyat dan akan menarik mereka berpihak kepadanya kalau dibicarakan mengenai manfaat tindakannya. Seandainya ia menerapkan penderitaan secara terus-menerus maka ia akan tidak merasa aman menghadapinya. Kekerasan harus dilakukan sekali saja. Rakyat akan segera melupakan penderitaannya dan tidak akan menentang lagi. Perlahan-lahan raja harus menunjukan kebaikan kepada rakyatnya, dengan demikian rakyat akan mengalami masa yang lebih baik.2

Pendapat lain Machiavelli, menyangkut sikap-sikap yang dipilih seorang penguasa ialah kolaborasi antara kebaikan dan kebengisan (kalau perlu). Namun machiavelli sendiri mengatakan akan lebih baik jika Raja (penguasa) memiliki semua daftar sikap baik agar tidak hanya dikagumi rakyat melainkan agar namanya abadi. Raja hendaknya, jika mungkin menghindari tindakan-tindakan tidak terpuji yang tidak berbahaya; tetapi kalau tidak mungkin ia tidak perlu khawatir karenanya. Namun raja tidak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dlakukan demi keselamatan negara.3  Bisa saja seorang raja menurutnya bertindak kejam atau bahkan masuk kedalam tindakan kejahatan. Raja atau seorang penguasa harus memiliki sifat seperti “Rubah” agar tahu bahaya, dan bersikpa seperti singa untuk menakuti.


Tanggapan Pribadi mengenai  stigma “Guru yang mengejarkan Kejahatan”

Jika umumnya orang yang berasal dari jaman setelah Machiavelli, memposisikannya sebagai “Gurunya Kejahatan” maka haruslah terlebih dahulu dilakukan identifikasi personal dari fakta-fakta lingkungan sebelum dan selama ia hidup. Karena itu akan sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran machiavelli sebagaiman tertuang dalam Sang Penguasa. Meskipun pada akhirnya kita akan melihat bahwa buah pemikirannya akan sangat berbahaya apabila dipergunakan oleh penguasa yang memiliki bakat bengis. Namun demikian, perlu pencernaan mendalam sebelum kita memposisikan diri untuk menilai Machiavelli sebagai Gurunya Kejahatan atau bukan.
Apabila Machiavelli dikategorikan sebagai “Teacher Of Evil” yakni guru yang mengajarkan kejahatan. Alasan yang melatarbelakanginya ialah bahwa segala sesuatu apabila dipandang sebagai alat semata-mata karena kekuasaan  pada gilirannya akan melahirkan “negara kekuasaan” bukan “negara bangsa”. Sudut pandang saya mengomentari Machiavelli yang menjadikan Moralitas, Nilai-Nilai sebagai alat untuk mencapai kekuasaan sangatlah wajar karena seperti dikemukakan diatas bahwa kekuasaan dalam arti mengelola negara atau kerajaan merupakan bagian pokok dari urusan umum rakyat, sementara Moral merupakan harapan yang oleh Machiavelli dianggap kurang banyak berinteraksi dengan masalah-masalah rakyat, tetapi bisa saja kita beranggapan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Yang menyedihkan ialah bahwa yang dipraktekan oleh banyak negara bangsa didunia bahkan hingga dewasa ini sadar atau tidak merupakan model kembar dari ajaran machiavelli yang meletakan kekuasaan diatas segalanya. Bedanya ialah machiavelli benar-benar mewajarkannya secara eksplisit, sementara yang lain diam-diam mempraktekannya. Masa ketika machiavelli hidup ialah masa transisi pemikiran dari terkungkung oleh dogma gereja masa pertengahan kearah pemikiran liberal, sehingga penekanan konteks sudut pandang terhadap apa yang diajarkan machiavelli akan sulit kita terima tanpa terlebih dahulu mempelajari latarbelakang lingkungan dan zamannya.

Referensi

1.      Burns, Edward Marshall , World Civilization, New York: W.W. Norton Company, 1964, hal.516

2.      Machiavelli, Sang Penguasa, Surat Seorang Negarawan Kepada Pemimpin Republik , Jakarta: Gramedia., 1987 Hal : 38-39

No comments:

Post a Comment