Wednesday 23 September 2015

Merebut Ruang Kota “Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an”. CV Marjin Kiri. 2013. Karya purnawan Basundoro.

oleh : hasan sadeli 



Pendahuluan

Pada awal 1970an, dalam rangka pembuatan film berjudul marabunta yang berlokasi di Kota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian dikuburan yang angker. Kru film memutuskan untuk memakai makam Kembang Kuning yang notabene makan terbesar disurabaya, makam yang terletak dibagian barat surabaya ini diperuntukan bagi orang eropa, cina, dan pribumi. Alih-alih mendapatkan suasana sepi dan angker, mereka justru ditonton oleh para penghuni komplek pemakaman kembang kuning. Manusia-manusia yang menonton pengambilan gambar untuk film itu ialah kelompok penduduk miskin kota yang tersisih dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di kota surabaya. Ketika mereka tidak mampu melawan orang yang hidup, maka jalan satu-satunya adalah dengan mengalahkan orang yang mati, yang dalam pikiran rasional tidak mungkin melakukan perlawanan. Ini adalah salah satu dari beberapa realita tentang perebutan ruang dikota yang sudah melembaga dengan keras.

Konsep perebutan ruang kota seperti yang dikemukakan oleh Dieter , melihat kota sebagai ruang yang sudah dibagi-bagi kedalam bidang kecil yang masing-masing sudah diakui oleh individu maupun kelompok.  Perubahan struktur diperkotaan melahirkan transplosi, yakni suatu perluasan mendadak dari masyarakat kota. Transplosi mendorong terciptanya kompetisi untuk mendapatkan tempat tinggal. Konsentrasi penduduk dikota-kota besar di negara-negara dunia ketiga sejak awal abad ke 20 sanaga tinggi, seiring dengan pertumbuhan kota tersebut menjadi kota industri. sayangnya, pertumbuhan penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan industrialisasi. Para ahli menyebut fenomena tersebut dengan pseudo urbanisasi atau urbanisasi semu. Kondisi semacam itu pada gilirannya melahirkan pengangguran, setengah pengangguran, dan pekerjaan keliru. Mereka ialah orang-orang miskin yang menjadi beban kota tersebut, lahirnya orang-orang miskin diperkotaan dan terbatasnya ruang kota hanya memunculkan problem baru menyangkut ketersediaan ruang hidup untuk mereka. Eksistensi rakyat miskin dikota merupakan paradoks kota, karena disisi lain kota dianggap menghasilkan peradaban, namun ternyata masih juga memproduksi kekumuhan, bibit anarkisme, dan seterusnya.

Liberalisasi ekonomi

Dalam kasus kota-kota di Indonesia, berbagai kebijakan yang memiliki muatan untuk membagi ruang secara fisik hanya diberlakukan dipedesaan, karena konteks pembagian ruang tersebut lebih bersifat agraris. Paradoks kota mulai mengemuka saat liberlisasi ekonomi mulai menggejala diperkotaan, liberalisasi ekonomi negara didunia ketiga tidak dapat dipisahkan dengan sejarah imperialisme dan kolonialisme barat. Eksploitasi kolonial telah menyebabkan kota kota dianggap sebagai bagian dari alat untuk mendatangkan keuntungan. Modernisasi dikota-kota merupakan upaya penjajah untuk mencari keuntungan melalui industrialisasi dan perdagangan. Kota-kota di pulau jawa pada awal abad 20 mulai mengalami berbagai persoalan ketika terjadi perubahan yang amat drastis dari kota tradisional ke kota kolonial. Liberalisasi ekonomi pasca diundangkannya UU Agraria dan Gula pada tahun 1870 telah meningkatkan perdagangan dan industri, sehingga meningkatkan jumlah penduduk dikota.

Melonjaknya orang-orang eropa yang menetap dikota-kota Indonesia merupakan faktor penentu lahirnya modernisasi kota di Indonesia. orang dari desa berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih menjanjikan sebagai akibat dari kemiskinan di pedesaan, sekaligus melahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaum pendatang. Perubahan drastis terjadi saat indonesia mengalami masa peperangan terutama pasca proklamasi kemerdekaan, seperti ketika kota Surabaya di serang sekutu pada Oktober dan November 1945. Perang besar ini telah menyebabkan ribuan penduduk termasuk pemerintah kota dan provinsi harus menyelamatkan diri kedaerah yang lebih aman diluar kota. Ketika perang usai, gerakan untuk masuk ke kota berlangsung kembali, bahkan dalam jumlah yang lebih besar dibanding saat penduduk kota keluar untuk mengungsi. Sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan, baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut.

Pada awal abad ke 20, para perancang kota bahkan merancang dan mengangankan kota Batavia hanya untuk 900 ribu orang saja. Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggal dikota mengindikasikan, bahwa kota pada masa kolonial dirancang untuk kepentingan kolonial dan komunitas barat, bukan untuk kepentingan penduduk secara umum. Akibat yang ditimbulkan ialah masalah pemukiman, terutama ketika arus perpindahan besar dari desa ke kota berlangsung. Lahirlah pemukiman-pemukiman kumuh, mengingat para pendatang yang tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah yang memadai, dan sebagian lainnya bahkan harus rela hidup tanpa pemikiman sama sekali. hal-hal tersebut melahirkan problem-problem yang lebih luas, mencakup banyak dimensi, yang oleh Hernando De Soto bersifat Informal. Dari sisi sisitem perekonomian wujud informal tersebut antaralain, pedagang asongan, pemulung, pedagang kakai lima, dsb. Pemukiman miskin juga menghasilkan transportasi  bersifat informal seperti tukang becak, tukang ojeg, taksi gelap, dsb. Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informal diperkotaan mengindikasikan bahwa sistem yang ada tidak dirancang untuk menerima para pendatang dalam skala besar karena ruang yang terbatas.

Perebutan Ruang Kota Di Surabaya

Pada 1960, kota surabaya ditetapkan sebagai gemeente, berdasarkan Staatsblad Nomor 149 tanggal 1 april 1906. Yang merupakan implementasi dari undang-undang desentralisasi de wt houdende decentralitatie van het bestuur in Negderlands-Indie yang disahkan pada 23 juli 1903. Status baru tersebut menetapkan kota surabaya sebagai sebuah pemerintahan otonom dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah pusat. Di surabaya, status penduduk yang tinggal ditanah partikelir adalah sebagai kawula dari para tuan tanah, yang tidak memiliki hak atas tanah yang mereka tempati. Sewaktu-waktu mereka bisa saja diusir. Sejak 1910, kasus pengusiran penduduk yang tinggal diatas tanah partikelir telah menjadi isu sentral dikota Surabaya yang kemudian memicu aksi protes besar-besaran penduduk Bumiputra pada 1915. Pasca pengakuan kedaulatan oleh belanda, terutama ketika belanda mengingkari masalah Irian Barat di KMB memunculkan sentimen masyarakat terhadap oarang-orang eropa, kebencian tersebut diekspresikan dengan berbagai cara, penduduk eropa merasa takut dan gelombang pemulanagn orang-orang belanda meningkat. Pemulangan itu dilakuakan oleh pemerintah Indonesia, sehingga mengurangi penduduk eropa dikota tersebut, namun pada saat yang sama justru gelombang penduduk berdatangan kesurabaya tak tertahankan dari luar kota.

Perebutan ruang-ruang privat di surabaya terjadi secara sistematis. Para penduduk yang tinggal diatas tanah pertikelir yang sejak tahun 1916 telah melayangkan protes dan perlawanan-perlawanan. Sidang yang dimenangkan oleh penduduk dipengadilan atas gugatan terhadap para tuan tanah yang merugikan mereka. Para penduduk berani melakukan gugatan karena diantaranya mereka didukung oleh Sarekat Islam  pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Persengketaan antara penduduk yang menempati tanah partikelir dengan tuan tanah terus berlangsung, perlawanan tersebut dilakuakn salah satunya dengan tidak membayar pajak sampai lima tahun yang secara hukum kadaluarsa sehingga tidakbisa ditagih.

Dijelaskan bahwa dikuasainya tanah-tanah partikelir secara privat oleh para tuan tanah menjadi kondisi penting dari perlawanan rakyat miskin di Surabaya. Penguasaan tanah-tanah partikelir oleh segelinitir orang telah menciptakan ‘negara dalam negara,’ karena para pemilik tanah partikelir diperbolehkan membuat sistem dan aturan sendiri yang disebut dengan hak pertuanan.Tanah partikelir sendiri terbagi menjadi dua, yakni tanah landerijen yang ditujukan untuk perkebunan, serta tanah merdekan yang diberikan kepada kampung atau desa tertentu karena memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu.Pada bagian ini, Basundoro menjelaskan dengan rinci batas-batas dari masing-masing kepemilikan tanah partikelir ini.
Para penghuni yang tinggal di atas tanah partikelir secara perlahan mulai digusur dan dengan demikian, mulai melakukan perlawanan atasnya.Gerakan perlawanan ini datang bersamaan dengan munculnya kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat bumiputera.Hal ini menjadi pendorong kuat perjuangan dan perlawanan masyarakat dalam merebut ruang untuk bermukim sebagai hak dasar mereka. Perlawanan dan perebutan ruang dengan cara pendudukan ini dipimpin oleh beberapa tokoh dari Serikat Islam, salah satu partai politik progresif pada masa itu, yakni Prawirodiharjo dan Pak Siti alias Sadikin. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung untuk mempropagandakan perlawanan.Tuan tanah ketakutan dan perlawanan tidak bisa dihentikan oleh polisi maupun pemerintah setempat.Mereka pun menggugat dan sidang Landraad memenangkan guagatan mereka.Namun, para penghuni tanah pertikelir menggugat balik dan memenangkan gugatan balik tersebut.

Gerakan para penghuni tanah partikelir ini menjadi gerakan perjuangan rakyat Surabaya terbesar di awal abad ke-20, yang ditandai dengan luasnya pemberitaan mengenai gerakan ini di berbagai harian pada saat itu, seperti Oetoesan Hindia.Gugatan hukum yang telah dimenangkan tak membuat penggusuran atas para penghuni tanah-tanah partikelir berhenti dilakukan.Rakyat miskin terus terusir dari tempat yang telah mereka tinggali selama puluhan tahun.Kondisi mereka tinggal sangat mengenaskan dan rumah-rumah kumuh mereka yang berdiri di tengah Kota Surabaya menjadi ironi tersendiri. Di sisi lain, gemeente seringkali berpihak kepada para pemilik tanah partikelir dan memilih berhadap-hadapan dengan bumiputera.

Penguasaan Ruang Publik oleh Rakyat Miskin,’ Basundoro menjelaskan ruang-ruang publik seperti jalan, trotoar, hingga makam yang diambil alih dan dijadikan ruang privat, termasuk tempat tinggal dan tempat berjualan. Sambil menunjukkan berbagai arsip primer berupa foto, Basundoro menunjukkan bahwa keberadaan rumah-rumah semi permanen di pinggir jalan merupakan kondisi yang umum ditemui di Kota Surabaya pada tahun 1930-an. Selain itu, rumah-rumah gubuk yang menempel di rumah orang lain, hingga pemakaman yang dijadikan tempat tinggal, merupakan kondisi yang umum ditemui di Surabaya pada waktu itu. Sementara itu, kontrol gemeente sebagai pemerintah kota yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial, terhadap pemukiman-pemukiman liar yang dibangun di jalan, dan bahkan di makam pada saat itu, ditunjukkan dengan adanya penertiban-penertiban. Kondisi kota yang bersih dari pemukiman-pemukiman rakyat miskin yang kumuh, seperti yang kita rasakan hingga kini, merupakan kehendak dari gemeente pada waktu itu.

Kesimpulan

Apa yang terjadi di Kota Surabaya pada tahun-tahun 1900-1960 tersebut merupakan gambaran penting atas apa yang terjadi pada rakyat miskin di berbagai kota di Indonesia. Kepemilikan tanah secara privat dan tindakan-tindakan eksploitatif oleh segelintir orang, menjadi penyebab utama tergusurnya rakyat miskin dari masa ke masa yang masih terus terjadi. Kita dapat membandingkannya dengan masa sekarang, dimana rakyat miskin tersingkir dari ruang-ruang kota dan hanya mendapat sedikit tempat, sementara kelas atas menguasai tanah yang luas dan selalu mendapat perlindungan dari pemerintah. Pemerintah kota yang kita lihat sekarang ini, yang menghendaki kota yang bersih dari pemukiman-pemukiman liar yang kumuh pun, merupakan kelanjutan gemeente pada awal abad ke-20.

Seperti yang diutarakan tadi, terbatasnya ruang kota membawa konsekuensi bahwa penggunaan ruang yang berlangsung secara terus menerus akan melibatkan ketegangan diantara sejumlah kelompok kepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baik oleh perorangan maupun kelompok tertentu. Oleh karena itu, konflik yang menyangkut penggunaan suatu lokasi tertentu dapat timbul dengan mudah. Pemukiman adalah kebutuhan bersifat primer, maka dalam konteks ini, masyarakat miskin dikota harus siap bersaing untuk mendaptkannya. Salah satu kota di Indonesia yang menjadi ajang perebutan ruang yang masif adalah kota Surabaya.

Faktanya memang pada akhir abad ke-19 Surabaya telah menjadi kota terbesar di Indonesia dengan pusat perekonomian yang dinamis. Sebuah catatan perjalanan yang dibuat oleh seorang warga asal semarang ketika berkunjung ke surabaya menyebutkan bahwa surabaya merupakan kota tercantik di Hindia Belanda, namun ia menyayangkan bahwa dibanyak tempat banyak orang-orang miskin yang tidak mempunyai tempat tinggal, mereka membangun rumah manakala matahari tenggelam dan membongkarnya lagi saat matahari terbit.


No comments:

Post a Comment