Pendahuluan
Pada
awal 1970an, dalam rangka pembuatan film berjudul marabunta yang berlokasi di Kota Surabaya, diperlukan sebuah
adegan perkelahian dikuburan yang angker. Kru film memutuskan untuk memakai
makam Kembang Kuning yang notabene makan terbesar disurabaya, makam yang
terletak dibagian barat surabaya ini diperuntukan bagi orang eropa, cina, dan
pribumi. Alih-alih mendapatkan suasana sepi dan angker, mereka justru ditonton
oleh para penghuni komplek pemakaman kembang kuning. Manusia-manusia yang
menonton pengambilan gambar untuk film itu ialah kelompok penduduk miskin kota yang
tersisih dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di
kota surabaya. Ketika mereka tidak mampu melawan orang yang hidup, maka jalan
satu-satunya adalah dengan mengalahkan orang yang mati, yang dalam pikiran
rasional tidak mungkin melakukan perlawanan. Ini adalah salah satu dari
beberapa realita tentang perebutan ruang dikota yang sudah melembaga dengan
keras.
Konsep
perebutan ruang kota seperti yang dikemukakan oleh Dieter , melihat kota
sebagai ruang yang sudah dibagi-bagi kedalam bidang kecil yang masing-masing
sudah diakui oleh individu maupun kelompok. Perubahan struktur diperkotaan melahirkan
transplosi, yakni suatu perluasan mendadak dari masyarakat kota. Transplosi
mendorong terciptanya kompetisi untuk mendapatkan tempat tinggal. Konsentrasi
penduduk dikota-kota besar di negara-negara dunia ketiga sejak awal abad ke 20
sanaga tinggi, seiring dengan pertumbuhan kota tersebut menjadi kota industri. sayangnya,
pertumbuhan penduduk yang besar tidak sebanding dengan pertumbuhan
industrialisasi. Para ahli menyebut fenomena tersebut dengan pseudo urbanisasi
atau urbanisasi semu. Kondisi semacam itu pada gilirannya melahirkan
pengangguran, setengah pengangguran, dan pekerjaan keliru. Mereka ialah
orang-orang miskin yang menjadi beban kota tersebut, lahirnya orang-orang
miskin diperkotaan dan terbatasnya ruang kota hanya memunculkan problem baru
menyangkut ketersediaan ruang hidup untuk mereka. Eksistensi rakyat miskin
dikota merupakan paradoks kota, karena disisi lain kota dianggap menghasilkan
peradaban, namun ternyata masih juga memproduksi kekumuhan, bibit anarkisme,
dan seterusnya.
Liberalisasi ekonomi
Dalam
kasus kota-kota di Indonesia, berbagai kebijakan yang memiliki muatan untuk
membagi ruang secara fisik hanya diberlakukan dipedesaan, karena konteks
pembagian ruang tersebut lebih bersifat agraris. Paradoks kota mulai mengemuka
saat liberlisasi ekonomi mulai menggejala diperkotaan, liberalisasi ekonomi
negara didunia ketiga tidak dapat dipisahkan dengan sejarah imperialisme dan
kolonialisme barat. Eksploitasi kolonial telah menyebabkan kota kota dianggap sebagai
bagian dari alat untuk mendatangkan keuntungan. Modernisasi dikota-kota
merupakan upaya penjajah untuk mencari keuntungan melalui industrialisasi dan
perdagangan. Kota-kota di pulau jawa pada awal abad 20 mulai mengalami berbagai
persoalan ketika terjadi perubahan yang amat drastis dari kota tradisional ke
kota kolonial. Liberalisasi ekonomi pasca diundangkannya UU Agraria dan Gula
pada tahun 1870 telah meningkatkan perdagangan dan industri, sehingga
meningkatkan jumlah penduduk dikota.
Melonjaknya
orang-orang eropa yang menetap dikota-kota Indonesia merupakan faktor penentu
lahirnya modernisasi kota di Indonesia. orang dari desa berbondong-bondong
datang ke kota untuk mencari penghidupan baru yang lebih menjanjikan sebagai
akibat dari kemiskinan di pedesaan, sekaligus melahirkan imajinasi-imajinasi
baru bagi kaum pendatang. Perubahan drastis terjadi saat indonesia mengalami
masa peperangan terutama pasca proklamasi kemerdekaan, seperti ketika kota
Surabaya di serang sekutu pada Oktober dan November 1945. Perang besar ini
telah menyebabkan ribuan penduduk termasuk pemerintah kota dan provinsi harus
menyelamatkan diri kedaerah yang lebih aman diluar kota. Ketika perang usai,
gerakan untuk masuk ke kota berlangsung kembali, bahkan dalam jumlah yang lebih
besar dibanding saat penduduk kota keluar untuk mengungsi. Sejak zaman kolonial
hingga kemerdekaan, baik pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia, tidak
pernah mengantisipasi kenaikan jumlah penduduk di perkotaan yang sangat cepat
tersebut.
Pada
awal abad ke 20, para perancang kota bahkan merancang dan mengangankan kota
Batavia hanya untuk 900 ribu orang saja. Kecilnya jumlah penduduk yang
diharapkan tinggal dikota mengindikasikan, bahwa kota pada masa kolonial
dirancang untuk kepentingan kolonial dan komunitas barat, bukan untuk
kepentingan penduduk secara umum. Akibat yang ditimbulkan ialah masalah
pemukiman, terutama ketika arus perpindahan besar dari desa ke kota
berlangsung. Lahirlah pemukiman-pemukiman kumuh, mengingat para pendatang yang
tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah yang memadai, dan sebagian lainnya
bahkan harus rela hidup tanpa pemikiman sama sekali. hal-hal tersebut
melahirkan problem-problem yang lebih luas, mencakup banyak dimensi, yang oleh
Hernando De Soto bersifat Informal. Dari sisi sisitem perekonomian wujud
informal tersebut antaralain, pedagang asongan, pemulung, pedagang kakai lima,
dsb. Pemukiman miskin juga menghasilkan transportasi bersifat informal seperti tukang becak, tukang
ojeg, taksi gelap, dsb. Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informal
diperkotaan mengindikasikan bahwa sistem yang ada tidak dirancang untuk
menerima para pendatang dalam skala besar karena ruang yang terbatas.
Perebutan Ruang Kota Di
Surabaya
Pada
1960, kota surabaya ditetapkan sebagai gemeente,
berdasarkan Staatsblad Nomor 149 tanggal 1 april 1906. Yang merupakan
implementasi dari undang-undang desentralisasi de wt houdende decentralitatie van het bestuur in Negderlands-Indie yang
disahkan pada 23 juli 1903. Status baru tersebut menetapkan kota surabaya
sebagai sebuah pemerintahan otonom dan tidak terlalu bergantung pada pemerintah
pusat. Di surabaya, status penduduk yang tinggal ditanah partikelir adalah
sebagai kawula dari para tuan tanah, yang tidak memiliki hak atas tanah yang
mereka tempati. Sewaktu-waktu mereka bisa saja diusir. Sejak 1910, kasus
pengusiran penduduk yang tinggal diatas tanah partikelir telah menjadi isu
sentral dikota Surabaya yang kemudian memicu aksi protes besar-besaran penduduk
Bumiputra pada 1915. Pasca pengakuan kedaulatan oleh belanda, terutama ketika
belanda mengingkari masalah Irian Barat di KMB memunculkan sentimen masyarakat
terhadap oarang-orang eropa, kebencian tersebut diekspresikan dengan berbagai
cara, penduduk eropa merasa takut dan gelombang pemulanagn orang-orang belanda
meningkat. Pemulangan itu dilakuakan oleh pemerintah Indonesia, sehingga
mengurangi penduduk eropa dikota tersebut, namun pada saat yang sama justru
gelombang penduduk berdatangan kesurabaya tak tertahankan dari luar kota.
Perebutan
ruang-ruang privat di surabaya terjadi secara sistematis. Para penduduk yang
tinggal diatas tanah pertikelir yang sejak tahun 1916 telah melayangkan protes
dan perlawanan-perlawanan. Sidang yang dimenangkan oleh penduduk dipengadilan atas
gugatan terhadap para tuan tanah yang merugikan mereka. Para penduduk berani
melakukan gugatan karena diantaranya mereka didukung oleh Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Persengketaan
antara penduduk yang menempati tanah partikelir dengan tuan tanah terus berlangsung,
perlawanan tersebut dilakuakn salah satunya dengan tidak membayar pajak sampai
lima tahun yang secara hukum kadaluarsa sehingga tidakbisa ditagih.
Dijelaskan
bahwa dikuasainya tanah-tanah partikelir secara privat oleh para tuan tanah
menjadi kondisi penting dari perlawanan rakyat miskin di Surabaya. Penguasaan
tanah-tanah partikelir oleh segelinitir orang telah menciptakan ‘negara dalam
negara,’ karena para pemilik tanah partikelir diperbolehkan membuat sistem dan
aturan sendiri yang disebut dengan hak pertuanan.Tanah partikelir sendiri
terbagi menjadi dua, yakni tanah landerijen yang ditujukan
untuk perkebunan, serta tanah merdekan yang diberikan kepada
kampung atau desa tertentu karena memiliki keistimewaan-keistimewaan
tertentu.Pada bagian ini, Basundoro menjelaskan dengan rinci batas-batas dari
masing-masing kepemilikan tanah partikelir ini.
Para
penghuni yang tinggal di atas tanah partikelir secara perlahan mulai digusur
dan dengan demikian, mulai melakukan perlawanan atasnya.Gerakan perlawanan ini
datang bersamaan dengan munculnya kesadaran kebangsaan di kalangan masyarakat
bumiputera.Hal ini menjadi pendorong kuat perjuangan dan perlawanan masyarakat
dalam merebut ruang untuk bermukim sebagai hak dasar mereka. Perlawanan dan
perebutan ruang dengan cara pendudukan ini dipimpin oleh beberapa tokoh dari
Serikat Islam, salah satu partai politik progresif pada masa itu, yakni
Prawirodiharjo dan Pak Siti alias Sadikin. Mereka berkeliling dari kampung ke
kampung untuk mempropagandakan perlawanan.Tuan tanah ketakutan dan perlawanan
tidak bisa dihentikan oleh polisi maupun pemerintah setempat.Mereka pun
menggugat dan sidang Landraad memenangkan guagatan
mereka.Namun, para penghuni tanah pertikelir menggugat balik dan memenangkan
gugatan balik tersebut.
Gerakan
para penghuni tanah partikelir ini menjadi gerakan perjuangan rakyat Surabaya
terbesar di awal abad ke-20, yang ditandai dengan luasnya pemberitaan mengenai
gerakan ini di berbagai harian pada saat itu, seperti Oetoesan Hindia.Gugatan
hukum yang telah dimenangkan tak membuat penggusuran atas para penghuni
tanah-tanah partikelir berhenti dilakukan.Rakyat miskin terus terusir dari
tempat yang telah mereka tinggali selama puluhan tahun.Kondisi mereka tinggal
sangat mengenaskan dan rumah-rumah kumuh mereka yang berdiri di tengah Kota
Surabaya menjadi ironi tersendiri. Di sisi lain, gemeente seringkali
berpihak kepada para pemilik tanah partikelir dan memilih berhadap-hadapan
dengan bumiputera.
Penguasaan
Ruang Publik oleh Rakyat Miskin,’ Basundoro menjelaskan ruang-ruang publik
seperti jalan, trotoar, hingga makam yang diambil alih dan dijadikan ruang
privat, termasuk tempat tinggal dan tempat berjualan. Sambil menunjukkan
berbagai arsip primer berupa foto, Basundoro menunjukkan bahwa keberadaan
rumah-rumah semi permanen di pinggir jalan merupakan kondisi yang umum ditemui
di Kota Surabaya pada tahun 1930-an. Selain itu, rumah-rumah gubuk yang
menempel di rumah orang lain, hingga pemakaman yang dijadikan tempat tinggal,
merupakan kondisi yang umum ditemui di Surabaya pada waktu itu. Sementara itu,
kontrol gemeente sebagai pemerintah kota yang dibentuk oleh
pemerintahan kolonial, terhadap pemukiman-pemukiman liar yang dibangun di
jalan, dan bahkan di makam pada saat itu, ditunjukkan dengan adanya
penertiban-penertiban. Kondisi kota yang bersih dari pemukiman-pemukiman rakyat
miskin yang kumuh, seperti yang kita rasakan hingga kini, merupakan kehendak
dari gemeente pada waktu itu.
Kesimpulan
Apa
yang terjadi di Kota Surabaya pada tahun-tahun 1900-1960 tersebut merupakan
gambaran penting atas apa yang terjadi pada rakyat miskin di berbagai kota di
Indonesia. Kepemilikan tanah secara privat dan tindakan-tindakan eksploitatif
oleh segelintir orang, menjadi penyebab utama tergusurnya rakyat miskin dari
masa ke masa yang masih terus terjadi. Kita dapat membandingkannya dengan masa
sekarang, dimana rakyat miskin tersingkir dari ruang-ruang kota dan hanya
mendapat sedikit tempat, sementara kelas atas menguasai tanah yang luas dan
selalu mendapat perlindungan dari pemerintah. Pemerintah kota yang kita lihat
sekarang ini, yang menghendaki kota yang bersih dari pemukiman-pemukiman liar
yang kumuh pun, merupakan kelanjutan gemeente pada awal abad
ke-20.
Seperti
yang diutarakan tadi, terbatasnya ruang kota membawa konsekuensi bahwa
penggunaan ruang yang berlangsung secara terus menerus akan melibatkan
ketegangan diantara sejumlah kelompok kepentingan karena tingginya permintaan
akan ruang baik oleh perorangan maupun kelompok tertentu. Oleh karena itu,
konflik yang menyangkut penggunaan suatu lokasi tertentu dapat timbul dengan
mudah. Pemukiman adalah kebutuhan bersifat primer, maka dalam konteks ini,
masyarakat miskin dikota harus siap bersaing untuk mendaptkannya. Salah satu
kota di Indonesia yang menjadi ajang perebutan ruang yang masif adalah kota
Surabaya.
Faktanya
memang pada akhir abad ke-19 Surabaya telah menjadi kota terbesar di Indonesia
dengan pusat perekonomian yang dinamis. Sebuah catatan perjalanan yang dibuat
oleh seorang warga asal semarang ketika berkunjung ke surabaya menyebutkan
bahwa surabaya merupakan kota tercantik di Hindia Belanda, namun ia
menyayangkan bahwa dibanyak tempat banyak orang-orang miskin yang tidak
mempunyai tempat tinggal, mereka membangun rumah manakala matahari tenggelam
dan membongkarnya lagi saat matahari terbit.
No comments:
Post a Comment