Oleh : Hasan Sadeli
Pendahuluan
Studi
tentang sejarah perekonomian di Indonesia dapat dikatakan masih berumur muda
dibanding dengan studi sejarah sosial dan politik. Sejarah perekonomian di
Indonesia mulai mendapatkan tempatnya pada awal dekade 80an.
Indonesia relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara
di Asia lainnya seperti India dan Cina (sekarang Tiongkok) yang tetlebih dahulu
memulai studi mengenai perekonomian.
Berbagai
kajian tentang sejarah perekonomian Indonesia khususnya pada zaman kolonial
mulai dibahas pada tahun 1983, yakni saat konferensi yang mengetengahkan
sejarah perkonomian Indonesia pada masa kolonial diselenggarakan oleh
Australian National University. Dalam
diskusi tersebut banyak disajikan kondisi perekonomian Indonesia dari pra
kolonial sampai pada dampak kolonialisme terhadap perekonomian Indonesia.
Dikatakn bahwa, ruang lingkup pembahasan meliputi sejarah perekonomian pra
kolonial oleh Anthony Reid, Sistem Tanam Paksa Oleh R.E Elson dan dan Robert
Van Neil, Land Reform oleh Jan Breman, Desa sebagai unit adminiistratif oleh
Tjondronegoro, penilaian kembali tentang konsep involusi oleh J.A.C Mackie,
serta dampak kolonialisme Belanda di Indonesia oleh Anggus Madison dan Douglas
Paauw. Makalah-makalah yang satu sama
lain terpisah akhirnya dihimpun dalam buku Indonesian
Economic History in The Dutch Colonial Era , buku tersebut diterbitkan oleh
Yale University dan disunting oleh Anne Booth, O’Maley dan Anna Weidemann.
Perkembangan
studi perekonomian di Indonesia selaras dengan perhatian para sejarawan
indonesia yang pada mulanya masih disibukan dengan orientasi untuk
mengedepankan penulisan sejarah yang bersifat Indonesiasentris pada
tahun 1957 ketika seminar sejarah nasional ke-sati dilakasanakan. Sementara
itu, persfektif yang lebih luas tentang penulisan sejarah di Indonesia mulai
berkembang saat seminar sejarah nasional ke-dua diselenggarakan pada tahun 1982
dengan melakukan pendekatan-pendekatan ilmu sosial terhadap kajian sejarah (Socio Scientic Aproach) sehingga dapat
dikatakan sebagai suatu periode baru dalam penulisan sejarah di Indonesia.
Dapat
dipahami bahwa era perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia baru dimulai
pada sekitar dekade 80an mengingat khasanah tentang penerapan ilmu-ilmu sosial
terhadap kajian ilmu sejarah baru dimulai pada tahun 1982. Pada tahun-tahun
berikutnya, studi tentang sejarah perekonomian di Indonesia berkembang seiring
dengan kesadaran akan pentingnya menggali sebab-sebab, proses serta dampak yang
ditimbulkan pasca aea kolonialisme di Indonesia.
Faktor-faktor
pendukung yang melatarbelakangi perkembangan studi sejarah perekonomian di
Indonesia ialah dibukanya arsip tentang adiministrasi pemerintah kolonial di
Belanda dan Indonesia untuk umum. Hal tersebut memicu para sejarwan untuk lebih
jauh meneliti tentang aspek-aspek perekonomian di Indonesia pada masa kolonial
terutama saat sistem tanam paksa diterapkan di Indonesia, dengan begitu para
sejarawan mampu mengungkap fakta-fakta tentang berlangsungnya sistem tersebut
dan meletakannya dalam posisi penting sebab tanam paksa dianggap sebagai suatu
kebijakan yang menimbulkan dampak mendasar dalam kondisi sosial serta ekonomi
masyarakat Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Data-data
statistik yang menghinpun gambaran perekonomian di Indonesia sebenarnya mulai
dinisiasi oleh mantan kepala Biro Pusat Statistik (Central Kantoor voor de Statistiek) Hindia Belanda P. Creutzberg
dalam usaha untuk melakukan kompilasi data statistik tentang sejarah
perekonomian di Indonesia. Urgensi studi mengenai sejarah perekonomian
sampai-sampai membuat India menjadikan studi tentang sejarah perekonomian
mereka sebagai rujukan dalam membangun ekonomi dinegara tersebut. Namun
demikian, karya mengenai studi sejarah perekonomian tidak sebanyak sejarah yang
mengetengahkan persoalan politik sosial, hal ini karena kapasitas sejarawan
yang kurang menguasai/mengolah penggunaan data statistik sebagai data yang
penting dalam mengkaji sejarah perekonomian.
Telaah kondisi ekonomi
petani pada masa Tanam Paksa di Jawa.
Sistem
Tanam Paksa (Cultur Stelsel) yang
dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 mengakibatkan kemiskinan
struktural terutama bagi kalangan petani dipulau Jawa oleh sebab tuntutan memenuhi
kas pemerintah Belanda. hasilnya ialah datangnyab kemakmuran bagi pemerintahan
belanda dari ekspor hasil bumi di hindia belanda sejak Tanam Paksa diterapkan.
Meskipun sumber-sumber mengenai periode tanam paksa dianggap kurang lengkap,
seperti terbatasnya informasi yang mengulas secara utuh mengenai kondisi
ekonomi masyarakat Jawa terutama yang terdapat dalam arsip yang umumnya
merupakan kumpulan laporan pertanggungjawaban. Selain itu subjektifitas dari
sumber-sumber yang memuat informasi periode tersebut tidak bisa dihindari
mengingat adanya tarik-menarik kepentingan dalam membentengi program tersebut
dari kritik yang dilancarkan oleh kaum liberalis.
Kemiskinan dan
kemakmuran pada masa Tanam Paksa
Apa
yang tersisa dari pelaksanaan sistem tersebut segera akan diketahui akibatnya.
Para penduduk dipedesaan melakukan perpindahan besar-besaran untuk menghindari
kerja keras menjadi salah satu sebab umum yang diderita kaum petani pedesaan
pada periode tersebut. Keutungan yang dirasakan terbatas pada golongan
bangsawan dari Cina, India, atau Arab, sementara golongan pribumi ialah mereka
yang memiliki status sosial sebagai pejabat ditingkat desa hingga residen.
Perpindahan penduduk membuat tanah-tanah kosong sehingga membuat kaya para
warga yang tidak meninggalkan desa. Namun sekali lagi, keuntungan tersebut
bersifat terbatas. Betapapun sumber yang menerangkan kondisi ekonomi petani dianggap
samar, namun apa yang mendorong mereka (para petani) meninggalkan desa menjadi
alasan mendasar untuk mengungkap betapa golongan yang melakukan perpindahan
tersebut tidak mendapatkan kelayakan didesanya, seperti konsep “hijrah” sebagai
jalan yang ditempuh untuk memperbaiki hidup.
Meningkatnya
produksi dan laba yang menopang kerajaan belanda seluruhnya bersumber dari
hasil Tanam Paksa. Komoditas yang dihasilkan seperti Kopi, Tebu, Lada, Teh dan
lain-lain memperlihatkan adanya kebutuhan sepihak pemerintah kolonial saja.
Kopi sebagai komoditas yang mendatangkan keutungan siginfikan, sementara
tanaman tersebut hanya hidup disekitar daerah dengan suhu rendah yakni daerah
dataran tinggi. Padahal umumnya masyarakatIndonesia saat itu tinggal didataran
rendah sebagai petani. Jarak yang ditempuh tentu cukup jauh, dimadiun misalnya,
para petani harus berjalan sejauh 7 km, itu yang terendah apabila dibandingkan
dengan cirebon yang sampai menempuh 12 km. Kondisi memaksa petani untuk tinggal
digubuk-gubuk darurat mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh apabila harus
pulang-pergi. Kemudian komoditas penting lainnya ialah Tebu dan nila yang
membuat petani harus membuka irigasi untuk lahan yang sebetulnya ditanami padi
sebagai kebutuhan pokok.
Kendala-kendala
yang banyak dialami oleh para petani Jawa memperlihatkan suatu kegetiran luar
biasa pada masa Tanam Paksa. Belum lagi durasi jam kerja pada masa itu 4 atau 5
kali lebih lama dari jam kerja biasanya, atau sebelum tahun 1830 para petani
tidak pernah bekerja selama itu. Hal ini bukan saja membuat petani teralienasi
dari aktifitas sosial, namun lebih memperihatinkan ialah stamina mereka yang
harus terkuras tanpa mendapatkan hasil yang sepadan. adanya musim tanam yang
tidak seperti biasa sebagai akibat dari tanamn-tanaman yang menjadi prioritas
tanam paksa telah menggeser posisi padi, sayuran, atau jagung sebagai
bahan-bahan yang kebutuhannya bersifat mendasar.
Disisi
lain, akibat yang ditimbulkan oleh tanam paksa membuat pendapatan masyarakat
Jawa meningkat, beberapa contoh peningkatan tersebut terdapat di Pasuruan dan
Surabaya tempat dimana tumbuhnya sektor ekonomi lokal berupa para pedagang
swasta, bahkan didaerah kedu, kediri, dan pekalongan (Jawa Tengah) terjadi
taraf kesejahteraan masyarakat, seperti pembayaran pajak yang bahkan sebelum
waktunya. Semarang sebagai salah satu residen yang mengalami kehancuran ekonomi
dengan cepat memulihkan perekonomian bahkan dengan salah satu yang termakmur di
Jawa. Dikatakan bahwa telah terdapat pemerataan dalam peningkatan taraf perekonomian dipulau Jawa pada tahun 1858-1868.
Angka-angka statistik yang memperlihatkan
peningkatan pajak, pembayaran panen, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Secara umum dianggap suatu peningkatan kesejahteraan yang dialami para petani.
Konklusi
Apa
yang terjadi di Jawa pada masa berlangsungnya sistem Tanam Paksa mengakibatkan
kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat petani Jawa. Kemakmuran hanyalah
dirasakan oleh sebagian kecil masyarakat saja, adapun data yang menunjukan
telah terjadinya kemakmuran sangat meragukan. Karena peningkatan taraf perekonomian hanya didasarkan pada aspek
perdagangan yang semakin tumbuh, sektor swasta tersebut tentu bukan proyeksi
yang jelas untuk mengasosiasikan kemajuan perdagangan sebagai ekses dari sistem
Tanam Paksa. Selain itu, bisa saja mereka yang tidak tahan dengan kondisi di
pedesaan yang mengadu nasib dan menghindari kerasnya hidup sebagai petani yang
imbalannya jauh dari nilai kerja itu sendiri.
Artinya,
ada yang tersisa di desa. Mereka yang tinggal disana tetap mengalami har-i-hari
yang berat, kelompok petani yang mau tidak mau, sadar atau tidak telah
memberikan daya upayanya hanya untuk kepentingan golongan elite saja. Sementara
jangankan upah yang sepadan, mereka bahkan harus kehilangan kemakmuran dari sektor
petanian seperti padi, jagung sebagai bahan kebutuhan pokok.
Itikad
baik pemerintah kolonial misalnya dalam memberi suntikan modal sangatlah
sedikit bahkan tidak efektif. Sudah pasti keberhasilan yang dirasakan oleh
pemerintah Kolonial pada masa Tanam Paksa tidak berbanding lurus dengan kondisi
ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Karena betapapun banyaknya mereka yang
hijrah kedaerah-daerah ramai seperti karesidenan, semata-mata hanya untuk
menghindari kerja paksa saat itu. Selain itu, kemiskinan struktural yang
terjadi diperkotaan dewasa ini tidak lain adanya eksodus dari warga dipedesaan
yang datang kedaerah kota yang umumnya merupakan daerah karesidenan. Karena
kota pada prinsipnya ditegakan oleh pemerintah kolonial didesain untuk kelas
menengah keatas. Sementara para petani dipedesaan sekali lagi, menjalani
hari-hari yang kelam mungkin terkelam selama masa hidupnya.