oleh : Hasan Sadeli
Suatu peradaban lahir dan ditransmisikan lewat proses-proses sosial demikianlah Blum Camerun dan Barnes berteori dalam karyanya History of Western World. Dimasalalu negara penakluk, yang umumnya memiliki peradaban lebih tinggi dapat mentrasmisikan peradabannya kepada bangsa primitif. Karya-karya tentang sejarah perkembangan politik di barat banyak diadopsi dari peradaban yang ada sebelumnya, dikatakan bahwa barat sekarang berhutang budi pada peradaban Yunani-Romawi, sebagaimana halnya Yunani-Romawi berhutang pada Mesopotamia, Persia, Mesir dan Kreta. Warisan peradaban yang dimaksud ialah tentang pandangan hidup, individualisme, menomorsatukan akal (rasio), kebebasan dan sekulerisme.
Disatu
sisi, pandangan barat dewasa ini
terbentuk dari empirisme Yunani-Romawi khususnya dalam bidang pengembangan
pengetahuan yang melahirkan eksperimentasi dan spekulasi mendasar diberbagai
bidang penemuan. Di sisi lain, Romawi mewariskan tradisi tentang sistem hukum,
pemikiran dan lembaga politik sampai praktiknya yang banyak terlihat dari apa
yang dipraktikan oleh negara-negara seperti Jerman, Italia, Swis, Belanda, dan
Perancis. Faktanya, negara-negara tersebut dalam sejarahnya dikenal sebagai
negara penakluk, ini sekaligus akan memberi dampak pada negara-negara yang
dijajahnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara-negara bekas
jajahannya akan ikut mempraktekan warisan kuat peradaban Romawi. Bagaimana
tidak, Belanda menerapkan teori hukum di Indonesia yang diperoleh dari Kode
Civil Napoleon dan itu merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi.
Dalam
bidang politik, Romawi memberikan pemahaman kepada Barat tentang teori
imperium. Teori ini banyak berbicara mengenai kekuasaan serta otoritas negara,
dimana kedaulatan dan kekuasaan ialah perwujudan dari kekuatan rakyat yang
telah didelegasikan kepada penguasa negara. Rakyat memiliki hak-hak yang sama (equal rights) dan itu merupakan puncak
piramida kekuasaan yang esensial. Dalam kerangka pemikiran ini, saya melihat
rakyat demikian diagungkan namun disisi lain resiko penyalahgunaan dapat
terjadi kapan saja dimana saja oleh para penguasa yang sejatinya dititipkan
wewenang. Lebih-lebih apa yang menjadi realitas politik dibarat pada abad
pertengahan membiaskan tafsiran mengenai teori imperium karena disaat itu
gereja tampil tidak hanya sebagai institusi teologis, namun menjangkau sistem
sosial-politik.
Kekuasaan
dan negara merupakan wacana politik. Dan karena itu dalam dunia politik lahir
banyak pengetahuan baru tentang filosofi, sistem, serta struktur yang
melahirkan karakteristik beragam dan dinamis. Bagaimana pemikiran politik
mengembangkan gagasan kontrak sosial (du
contrac social) sebagaimana yang dipopulerkan oleh JJ Rousseau, Locke dan
juga Hobbes sebagai kerangka yang secara historis dapat dilacak sekali lagi
dari warisan peradaban Romawi. Kontrak sosial sebagai satu konfigurasi dari
adanya realitas dan potensialitas pengingkaran yang dilakukan oleh penguasa
negara. Potensialitas penyalahgunaan wewenang sangat tinggi, itu sebabnya lahir
Trias Politica untuk menyeimbangkan dan
membatasi kekuasaan negara serta jalannya pemerintahanan.
Negara
merupakan lembaga politik, tidak bisa dikatakan sebagai lembaga ekonomi, atau
lembaga sosial secara utuh. Kalau dibuat model hierarki, keluarga ialah unit
terkecil dari lembaga politik, berlanjut ke unit Desa, distrik, Provinsi dan
tertinggi ialah negara. Mengingat tingginya maqom yang dimiliki negara, maka
negara dianggap sebagai lembaga politik yang paling berdaulat, tapi tentu
jangan disalah artikan dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Negara sebagai
hasil karya politik harus memiliki cita-cita yang mulia untuk seluruh
rakyatnya, entah itu mensejahterakan rakyatnya, membahagiakannya atau apapun
saja itu, jika tidak maka besar kemungkinan yang sejahtera ialah penguasanya (state authority) atau mereka yang ada
dilingkaran kekuasaan, meski belum tentu kesejahteraan yang dimiliki oleh para
penguasa menjadi jaminan kebahagiaan. Sementara itu, praktik politik serta
sistem yang dianut berbagai negara didunia dewasa ini mengedepankan demokrasi
sebagai yang paling rasional diantara model lainnya.
Menukik Politik Indonesia
Kalau berbicara mengenai Indonesia, seberapa lama kita berpolitik, apa capain-capain yang telah kita peroleh sebagai sebuah negara berdaulat? Apakah keberhasilan politik kita ditandai dengan terbebasnya dari belenggu penjajahan? Adakah setelahnya kita dijamin untuk tidak dijajah lagi misalnya oleh bangsa sendiri? barangkali perlu diajukan rumusan sebagai berikut : model politik yang dianut di Indonesia ini diadopsi dari mana? Barat-kah? Kerajaan-kerajaan Nusantara-kah? Kalau kita bicara barat itu dari luar, sementara kalau datangnya dari akar budaya politik kerajaan di nusantara berarti original, lalu bagaimana dengan Islam? Kenapa islam, apa Indonesia mayoritas muslim? Mengapa bicara politik bawa-bawa Islam bawa Barat dan bawa Nusantara segala?
Dari
pertanyaan-pertanyaan diatas sungguh jawaban persisnya saya tidak mengetahui,
dibutuhkan analisis serta kajian mendalam dari berbagai disiplin ilmu bagi yang
meminatinya. Sebab akan dibutuhkan banyak kata untuk menjelaskannya. Tapi
barangkali begini, rumusan yang tepat ialah sejauh mana kita telah
mengidentifikasi suatu permasalahan agar menemukan patern untuk kita perjelas
pemetaannya. Karena bicara politik akan sangat bersentuhan dengan premis budaya,
kehidupan sosial, serta sejarah perkembangannya. Ini saya simplifikasi supaya
kita menemukan akar persoalan yang kita hadapi hari ini dengan formula yang
sedang kita terapkan, apakah cukup efektif, apakah sesuai dengan akar
sosiokultural kita ataukah kita hanya berusaha menerapkan barang baru yang kita
sangka cocok buat kita.
Saya
iseng berteori dengan mengatakan politik itu menawarkan prinsip dialektika yang
dinamis-universal dan alamiah. Bahwa partai di negeri ini bersifat segmentatif,
ada partai yang dikenal bercorak Islam, ada partai yang melekat menamai dirinya
demokratis, ada partai tua yang dikenal menguasai sistem, dan lain-lain. Itu
menandakan diferensiasi dari entitas politik di Indonesia. Entitas politik itu
mendelegasikan wakilnya dan melebur menjadi lembaga politik berskala massif
bernama negara yang di Indonesia lebih populer dengan pemerintah. Sebab
paradigma sistem politik di Indonesia sendiri memungkinkan untuk kaburnya
pengertian dan pembedaan antara negara dan pemerintah. Untuk melihat perbedaan
ini anda bisa ambil contoh Jerman misalnya, yang kalau bicara pemerintah berarti
merujuk pada jabatan politis, yang dipilih dalam pemilu dan secara berkala
diganti.
Sementara
di Jerman ada Pegawai negeri/birokrat/pegawai publik yang hanya patuh pada
konstitusi dan sebagai eksekutor dari UU, sementara di kita, eksekutor UU
disebut pemerintah. Mereka juga dikenal sebagai adminitrasi negara (Verwaltung), yang memahami konstitusi
dan mentaatinya. Itu sebabnya mereka sebagai pelaksana UU berkewajiban langsung
bersentuhan dengan publik, institusi-institusi seperti kepolisian, dinas-dinas
itulah yang disebut administrasi negara atau negara dan mereka bersifat tetap
menjalankan sistem. Jangan heran jika melihat Belgia selama lebih dari 500 hari
dari pertengahan 2010 sampai akhir 2011 tanpa pemerintahan tapi birokrasi
mereka dalam melayani publik berjalan dengan baik. Kalaulah di Indonesia apa
bisa begitu? Kita ini sangat pemerintahsentris, entah dimana posisi
sesungguhnya negara dikita ini.
Mengedukasi Politik
Tulisan sederhana ini saya maksudkan untuk melihat bahwa
Kesibukan-kesibukan di Tahun Politik
Tahun 2024 adalah tahun politik. Yakni tahun yang paling sibuk bagi semua kontestan Pemilu beserta para pendukungnya. Pada tahun itu, nasib orang-orang yang ngaleg dan nyapres ditentukan. Pada tahun itu juga kaos-kaos tipis berlogo partai akan banyak dipakai oleh ragam kalangan mulai dari pedagang sayur, penjual eskrim keliling, sopir, kernet, masinis becak, petani, nelayan dan anak turun profesi lainnya.
Di tahun itu pula para batang pohon (di pinggir jalan) dimohon kerelaannya dalam berbagi kambium dengan paku dan sehelai pamflet para caleg. Di tahun itu jumlah pengamat politik akan bertambah secara eksponensial. Kita semua tidak perlu nonton tv untuk menyaksikan analisa dari para pemerhati politik. Karena tema politik bergeser ke luar
Politik ialah kata yang
bermakna luas. Jangan bicara politik hanya pada segmen jelang pemilu, atau
hanya mempelajari perilaku pemilih, tingkat partisipasi disetiap perhelatan, atau
maraknya politik uang, atau kalau PDI-P berkuasa akan begini, Golkar akan
begitu, lalu rahasia umum bahwa hanya pengusaha atau mereka yang bermodal yang
akan memenangkan pemilu, dan seterusnya dan seterusnya. Saya tidak mengatakan
itu tidak penting, tapi akan lebih baik kalau kita bicara politik ya sekali-sekali komprehensif lah.
Sebab politik ialah juga pemahaman dan perilaku kita, politik tidak hanya
bicara kontestasi, ia bisa terdiri dan melahirkan begitu banyak pola dan
struktur.
Umpamanya
politik ini restoran, ia menyajikan menu yang cukup populer pasca perang Dunia
II katakan namanya demokrasi, lalu demokrasi punya pisau dan alat memasak
berupa pemilu, pemilu yang ditawarkan oleh menu demokrasi ini menjamin setiap
warga negara berhak memilih dan dipilih, pemilu ialah tempat memilih pemimpin
dan selanjutnya merumuskan untuk bersatu dalam lembaga politik besar yang
disebut negara. Setiap kebijakan negara yang dibuat diberbagai bidang tidak
lain ialah kebijakan politik. Jadi makna politik bisa korelatif dan indikatif
dengan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari mulai dari urusan pendidikan, pertanian,
infrastruktur, sampai urusan dapur. Jadi mulai dari landasan filosofis, sistem,
penyelenggaran, sampai cita-cita luhur negara bangsa ialah alur dari pekerjaan
politik. Jadi tahap demi tahap dari alur ini harus menemukan koherensi dalam
konfigurasi pembelajaran politik.
Kalau
orang bicara pembelajaran politik, itu tidak berarti yang menjadi objek ialah
rakyat (konstituen/pemilih) dan subjek ialah mereka yang dipilih, pembelajaran
berlaku bagi semua kalangan apapun posisinya. Sebab jangan-jangan yang justru
mengerti politik ialah mereka yang mendelegasikan, dan yang tidak faham politik
ialah mereka yang diberikan amanah, dengan alasan karena budaya politik di
Indonesia sudah sedemikian konsumtif. Kalau ini ini terus berlangsung dan
sepertinya akan semakin parah sebaiknya orang jangan banyak mengeluh, apalagi
putus asa memikirkan nasib bangsa kedepan gara-gara suramnya aktivitas politik
disemua level. Sebab meski dengan dalih ilmiah sekalipun anda kemukakan alasan,
akan sulit bahkan percuma, ya tadi itu sebabnya, orang yang diamanahi tidak
lebih faham dari yang memberikannya amanah. Lebih-lebih jika posisi amanah itu
ia gunakan untuk kepentingannya sendiri.
Kalau
sudah begitu langkah baiknya kita tidak usah menaruh banyak harapan pada
pemerintahan hari ini, supaya kepala kita tidak jamuran. Namun harapan yang
sedikit itu kita aspirasikan pada pemerintah agar mengimplementasikan
pembelajaran politik lewat kurikulum saja sudah. Soal lain-lain biarkan
pemerintah hari ini dan pemerintahan dua sampai tiga periode akan datang
semau-maunya bertindak, tidak usah dimasukan dalam hati, tanggapi dengan
kepekaan secara wajar, kita biasa-biasa saja dan memang sudah biasa. Pancarkan
optimisme pada generasi muda usia30an ide-ide serta gagasan yang positif
tentang pembelajaran politik dan pada generasi yang masih hijau yakni mereka
yang masih duduk dibangku sekolah. Kita menaruh ikhtiar dan harapan pada
generasi Indonesia yang bermoral dan terdidik dengan baik.
Karena
pembelajaran politik pada usia dini
sangatlah penting. Anak-anak harus diberi pengertian di sekolah atau umpan
tentang apa saja kegiatan mereka disekolah yang berkenaan dengan kegiatan
politik, bahwa mata pelaran yang mereka pelajari berkaitan dengan standarisasi kurikulum
milik negara, sekolah gratis, serta segala fasilitas lainnya merupakan hasil
kebijakan politik. Generasi muda sejak dini diberikan pemahaman bahwa
berpolitik itu alamiah, dan politik itu baik. Yang tidak baik ialah orang-orang
yang berkaitan dengannya yang memberikan imej bahwa politik itu kotor. Ini
bukan kuliah politik, saya sama sekali bukan ahlinya, tapi saya suka
berpolitik, orang yang pesimis dengan politik saya ingin katakan memang tidak
semua hal diurusi dan bisa disentuh oleh politik, tapi tidak ada salahnya untuk
memahami bahwa ada begitu banyak hal
yang bersentuhan langsung dengan politik. Karena politik bukan hanya
urusan Presiden, menteri, DPR, Ormas, atau apapun saja, politik ialah
tanggungjawab bersama, apakah ia ulama, pelajar, petani, pedagang, buruh,
tukang ojek, para baluk, singkatnya politik ialah tanggungjawab bersama, bahkan
bagi yang paling membenci politik sekalipun ia tetap bertanggungjawab, jadi
jangan buang-buang energi untuk membenci.